Elizabeth B. Hurlock (1978) mengatakan bahwa pola kepribadian
merupakan suatu penyatuan struktur yang multidimensi terdiri atas “Konsep
Diri (self-concept)” sebagai inti atau pusat gravitasi kepribadian dan
“Sifat-sifat (traits)” sebagai struktur yang mengintegrasikan
kecenderungan pola-pola respon.
1. Konsep Diri (Self-concept)
Konsep Diri (Self-concept) ini dapat diartikan
sebagai (a) persepsi, keyakinan, perasaan, atau sikap seseorang tentang dirinya
sendiri; (b) kualitas penyikapan individu tentang dirinya sendiri; dan (c)
suatu sistem pemaknaan individu tentang dirinya sendiri dan pandangan orang
lain tentang dirinya.
Konsep Diri (Self-concept) ini memiliki tiga komponen, yaitu:
(a) perceptual atau physical self-concept, citra seseotang tentang
penampilan dirinya (kemenarikan tubuh atau bodinya), seperti: kecantikan,
keindahan, atau kemolekan tubuhnya; (b) conceptual atau psychological
self-concept, konsep seseorang tentang kemampuan (keunggulan) dan
ketidakmampuan (kelemahan) dirinya, dan masa depannya, serta meliputi kualitas
penyesuaian hidupnya: honesty, self-confidence, independence, dan courage;
dan (c) attitudinal, yang menyangkut perasaan seseorang tentang dirinya,
sikapnya terhadap keberadaan dirinya sekarang dan masa depannya, sikapnya
terhadap keberhargaan, kebanggaan, dan kepenghinaannya. Apabila seseorang sudah
masuk masa dewasa, komponen ketiga ini juga terkait dengan aspek-aspek:
keyakinan, nilai-nilai, idealita, aspirasi, dan komitmen terhadap way of
life hidupnya.
Dilihat dari jenisnya, Konsep Diri (Self-concept) ini
terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
- The Basic Self-concept. Jane menyebutnya “real-self”, yaitu konsep seseorang tentang dirinya sebagaimana adanya. Jenis ini meliputi : persepsi seseorang tentang penampilan dirinya, kemampuan dan ketidakmampuannya, peranan dan status dalam kehidupannya, dan nilai-nilai, keyakinan, serta aspirasinya.
- The Transitory Self-concept. Ini artinya bahwa seseorang memiliki “self-concept” yang pada suatu saat dia, memegangnya, tetapi pada saat lain dia melepaskannya. “self-concept” ini mungkin menyenangkan tapi juga tidak menyenangkan. Kondisinya sangat situasional, sangat dipengaruhi oleh suasana perasaan (emosi), atau pengalaman yang lalu.
- The Social Self-concept. Jenis ini berkembang berdasarkan cara individu mempercayai orang lain yang mempersepsi dirinya, baik melalui perkataan maupun tindakan. Jenis ini sering juga dikatakan sebagai “mirror image”. Contoh: jika kepada seorang anak dikatakan secara terus-menerus bahwa dirinya “naughty” (nakal), maka dia akan mengembangkan konsep dirinya sebagai anak yang nakal. Perkembangan konsep diri sosial seseorang dipengaruhi oleh jenis kelompok sosial dimana dia hidup, baik keluarga, sekolah, teman sebaya, atau masyarakat. Jersild mengatakan bahwa apabila seorang anak diterima, dicintai, dan dihargai oleh orang-orang yang berarti baginya (yang pertama orang tuanya, kemudian guru, dan teman) maka anak akan dapat mengembangkan sikap untuk menerima dan menghargai dirinya sendiri. Namun apabila orang-orang yang berarti (signifant others) itu menghina, menyalahkan, dan menolaknya, maka anak akan mengembangkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri.
- The Ideal Self-concept. Konsep diri ideal merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diinginkan mengenai dirinya, atau keyakinan tentang apa yang seharusnya mengenai dirinya. Konsep diri ideal ini terkait dengan citra fisik maupun psikhis. Pada masa anak terdapat diskrepansi yang cukup renggang antara konsep diri ideal dengan konsep diri yang lainnya. Namun diskrepansi itu dapat berkurang seiring dengan berkembangnya usia anak (terutama apabila seseorang sudah masuk usia dewasa).
Perkembangan Konsep Diri (Self-concept)
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tertera pada gambar berikut
ini.
2. Sifat-sifat
(Traits)
Sifat-sifat (Traits) ini berfungsi untuk
mengintegrasikan kebiasaan, sikap, dan keterampilan kepada pola-pola berpikir,
merasa, dan bertindak. Sementara konsep diri berfungsi untuk mengintegrasikan
kapasitas-kapasitas psikologis dan prakarsa-prakarsa kegiatan.
Sifat-sifat (Traits) dapat diartikan sebagai aspek
atau dimensi kepribadian yang terkait dengan karakteristik respon atau reaksi
seseorang yang relatif konsisten (ajeg) dalam rangka menyesuaikan dirinya
secara khas. Dapat diartikan juga sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk
mereaksi rangsangan dari lingkungan.
Deskripsi dan definisi Sifat-sifat (Traits) di atas
menggambarkan bahwa Sifat-sifat (Traits) merupakan kecenderungan-kecenderungan
yang dipelajari untuk (a) mengevaluasi situasi dan (b) mereaksi situasi dengan
cara-cara tertentu.
Setiap Sifat-sifat (Traits) mempunyai tiga
karakteristik: (a) Uniqueness, kekhasan dalam berperilaku, (b) likeableness,
yaitu bahwa trait itu ada yang disenangi (liked) dan ada yang tidak
disenangi (disliked), sebab traits itu berkontribusi kepada keharmonisan
atau ketidakharmonisan, kepuasan atau ketidakpuasan orang yang mempunyai traits
tersebut. Traits yang disenangi seperti: jujur, murah hati, sabar, kasih
sayang, peduli, dan bertanggung jawab. Sedangkan yang tidak disenangi seperti:
egois, tidak sopan, ceroboh, pendendam, dan kejam/bengis. Sikap seseorang terhadap
traits ini merupakan hasil belajar dari lingkungan sosialnya; dan (c) consistency,
artinya bahwa seseorang itu diharapkan dapat berperilaku atau bertindak secara
ajeg.
Sama halnya dengan “Konsep Diri (Self-concept)”,
“Sifat-sifat (Traits)” pun dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor
hereditas dan belajar. Faktor yang paling mempengaruhi adalah (a) pola asuh
orang tua, dan (b) imitasi anak terhadap orang yang menjadi idolanya. Beberapa trait
dipelajari secara “trial dan error”, artinya belajar anak lebih bersifat
kebetulan, seperti perilaku agresif dalam mereaksi frustasi. Contohnya: anak
menangis sambil membanting pintu kamarnya, gara-gara tidak dibelikan mainan
yang diinginkannya. Apabila dengan perbuatan agresifnya itu, orang tua akhirnya
membelikan mainan yang diinginkan anak, maka anak cenderung akan mengulangi
perbuatan tersebut. Demikian terjadi pada orang dewasa bersikap kurang percaya
kepada orang lain sehingga menunjukkan perilaku suka protes seperti “unjuk
rasa” sambil berperilaku brutal terhadap ketidakpuasan manajerial perusahaan
atau menuntut kenaikan gaji kepada perusahaan. Para pengunjuk rasa melakukan
aksi protes dengan cara brutal tersebut apabila pada akhirnya dipenuhi oleh
perusahaan maka cara-cara protes demikian akan diulang-ulang untuk
mengintimidasi para pengambil kebijakan.
Anak juga belajar (memahami) bahwa traits atau
sifat-sifat dasar tertentu sangat dihargai (dijunjung tinggi) oleh semua
kelompok budaya secara universal, seperti: kejujuran, respek terhadap hak-hak
orang lain, disiplin, tanggung jawab, dan sikap apresiatif.
0 comments :
Post a Comment