INFORMASI DUNIA PENDIDIKAN TENTANG UJIAN NASIONAL DAN PERMASALAHAN DI DALAMNYA

Written By putrajunio on Monday, April 14, 2014 | 11:28 PM


Heboh pemberitaan media massa tentang Ujian Nasional (UN) akhir-akhir ini, tak lepas dari permasalahan pendidikan kita pada umumnya. UN yang semula dimaksudkan untuk mencapai standar kemampuan siswa, justru memunculkan berbagai persoalan.

UN merupakan bagian dari penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada Pasal 35 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Namun, penyelenggaraan UN sering dipersoalkan, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1): ”Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Dalam forum rapat-rapat DPR, perdebatan yang terjadi adalah adanya ketentuan bahwa UN menjadi penentu kelulusan siswa, sedangkan dalam kenyataan, belum semua siswa di Indonesia memiliki kualitas yang sama.

UN 2010/2011 telah diselenggarakan dengan formula baru. Formula baru tersebut menggunakan sistem penilaian terpadu, yaitu menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah (NS). Nilai Sekolah adalah gabungan nilai ujian sekolah ditambah nilai rapor semester 1-4. Nilai gabungan NS dengan UN tersebut ditetapkan minimal 5,5 dimana masing-masing memiliki bobot: UN 60% dan NS 40%. Formula baru ini menjadikan UN ulangan ditiadakan dan juga menguntungkan pemerintah, karena dapat mengifisiensi waktu dan anggaran. Sistem kelulusan UN 2011 mengacu pada Permendiknas No. 46 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UN. Namun demikian, walau telah menggunakan formula baru yang lebih longgar, ternyata masih saja ada penyimpangan dan kecurangan. Selain kebocoran soal, penyelenggaraan UN 2011 juga ditandai adanya pencontekan massal yang sangat tidak etis dalam dunia pendidikan, apalagi menyangkut peserta didik yang masih anak-anak.

Berbicara masalah UN, kita perlu menoleh ke masa Orde Baru. Pada tahun 1971, pemerintah Orde Baru mengganti “Ujian” dengan EBTA. Sekolah diberi kewenangan penuh untuk meluluskan siswanya. Hasilnya luar biasa, hampir semua sekolah berhasil meluluskan siswanya seratus persen. Hal itu menimbulkan protes banyak kalangan, karena diduga EBTA penuh kecurangan. Pada tahun 1983 EBTA diganti dengan Ebtanas. Namun, di masa Orde Baru, fasilitas sarana dan prasarana pendidikan kondisinya lebih terkontrol karena masih menggunakan sistem sentralisasi pendidikan. Bahkan Presiden saat itu menggalakkan program SD Inpres dan lain-lain, yang begitu memperhatikan kebutuhan pendidikan hingga ke pelosok-pelosok. Walau belum tentu dapat menjangkau dan memenuhi kebutuhan secara sempurna, namun keberadaan sekolah sampai titik terjauh dapat dipantau oleh pemerintah.

Memasuki masa reformasi, dunia pendidikan tetap saja diselimuti berbagai persoalan yang membelit, yang berdampak pada kualitas lulusan dan pendidikan secara keseluruhan. Standardisasi pendidikan yang ada sekarang lebih baik dibanding pada era Orde Baru meskipun tidak se-ideal harapan pembangunan pendidikan jangka panjang. Kita tidak memiliki dokumen perbandingan standarisasi pendidikan dari masa awal pendirian NKRI dengan pendidikan terkini. Nama UN juga sering berubah, dari tiga presiden terakhir saja, nama UN telah berubah beberapa kali. Ujian Nasional (UN), Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) dengan Nilai EBTANAS Murni (NEM). Ada juga EBTA, Ujian Akhir Sekolah (UAS). Penggunaan nama yang berubah-ubah menunjukkan terjadi perubahan pula atas formula yang dipakai.

Kebijakan Otonomi Daerah yang lahir pada masa reformasi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebenarnya ikut membuat pendidikan Indonesia makin memprihatinkan. Otonomi Daerah, hanya memindahkan permasalahan pendidikan dari pusat ke daerah. Kualitas pendidikan semakin sulit berkembang, karena pendidikan ikut dijadikan objek politik para elit daerah. Salah satu contoh adalah penetapan Kepala Dinas Pendidikan oleh Kepala Daerah, yang seringkali tanpa didasarkan pada kapabilitas seseorang, melainkan hanya karena kedekatan secara politik. Akibatnya pendidikan dikelola secara serampangan karena orang yang berada di pucuk pimpinan pendidikan di daerah bukan orang yang memahami tugasnya. Kualitas guru di daerah rata-rata juga kurang baik, karena rekrutmen dilakukan secara tidak profesional. Penerimaan calon guru dengan kolusi sudah dianggap umum, dan belum jelas akreditasinya.

Masalah krusial yang juga menjadi bagian dari pendidikan adalah masalah sarana dan prasarana pendidikan yang tidak lebih baik. Besarnya dana pendidikan tidak sebanding dengan peningkatan kualitas pendidikan, sementara birokrasi pendidikan makin ketat dan rumit. Anggaran Pendidikan 20% (APBN dan APBD) yang telah ditetapkan oleh konstitusi dan UU, semula dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan pendidik, hingga kini ternyata belum dapat diimplementasikan secara seimbang. Keadaan tersebut kemudian membuat kita berpikir, apakah tidak lebih baik jika dilakukan sentralisasi pendidikan di tengan kebijakan otonomi daerah sekarang ini, atau sekurang kurangnya sentralisasi terhadap tenaga pengajar/guru.

Evaluasi
Evaluasi terhadap keseluruhan proses penyelenggaraan pendidikan diamanatkan pada Pasal 57 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang berbunyi: “(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan; (2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan”. Oleh karena itu, setiap langkah evaluasi hendaknya didasarkan pada prinsip untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya, dengan demikian, setiap evaluasi adalah upaya untuk mencapai kualitas pendidikan yang lebih baik.

Evaluasi yang sangat mendesak untuk dilakukan saat ini adalah:
[1] Evaluasi penyelenggaraan UN (harus terus dicari formula terbaik untuk penyelenggaraan UN yang jujur);
[2] Evaluasi manajemen pendidikan (dari desentralisasi menuju sentralisasi kembali, untuk menjauhkan pendidikan dari kegiatan politik praktis para elit kuasaan daerah);
[3] Kualitas pendidikan (untuk meningkatkan kualitas pengajaran dari guru kepada murid);
[4] Kualitas sarana dan prasarana pendidikan (untuk menunjang pengajaran dalam rangka mencapai hasil belajar yang optimal); dan
[5] Peningkatan kesejahteraan pendidik (bagi yang belum menikmati sertifikasi, agar para pendidik tenang dalam bekerja, dan agar mereka lebih dihormati karena tak berkesan kekurangan).

Evaluasi terhadap kelima unsur tersebut sangat penting diprioritaskan, karena kelima unsur tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam pencapaian kualitas pendidikan Indonesia secara keseluruhan 

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Ditulis Oleh : putrajunio ~ The Secret Blog

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul INFORMASI DUNIA PENDIDIKAN TENTANG UJIAN NASIONAL DAN PERMASALAHAN DI DALAMNYA yang ditulis oleh The Secret Blog yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 11:28 PM

0 comments :

Post a Comment

The Secret Blog © 2014. All Rights Reserved.
SEOCIPS Areasatu