Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat
kompleks. Salah satu inovasi paling radikal yang disebabkan oleh pendidikan
adalah meningkatnya ambisi pribadi. Pendidikanlah yang membuat jutaan anak
petani di negara-negara berkembang menilai rendah profesi sebagai petani dan
bermigrasi ke daerah perkotaan untuk mendapatkan pekerjaan yang dinilai lebih
menjanjikan, baik dari segi ekonomi maupun prestise sosial. Mereka pergi
meninggalkan desa-desa subsistem untuk memburu pekerjaan yang mereka nilai lebih
pantas buat mereka, meskipun harus bermigrasi jauh meninggalkan kampung halaman
dan basis sosio-kultural mereka.
Namun, tingkat pendidikan dan keterampilan yang tidak
memadai sering membuat mereka gagal dan perburuan mereka ke wilayah perkotaan
sering berakhir dengan kekecewaan. Untuk mempertahankan ambisi dan atau
menghindari rasa malu pulang kampung dengan kegagalan, banyak diantara mereka
yang memaksakan diri tinggal di kota meskipun harus mengarungi hidup dengan
kondisi seadanya. Hal ini tampak jelas dalam kehidupan para buruh yang tinggal
disekitar wilayah Jakarta Bogor Tanggerang Bekasi (Jabotabek). Banyak di antara
mereka yang hidup dengan upah rendah dan tinggal dirumah sewaan yang sangat
sederhana. Akibatnya, semakin hari semakin banyak warga perkotaan yang
menyandang perdikat pengangguran. Kelompok pengangguran ini sering kali menjadi
“dinamit politik” yang dengan mudah dapat dipicu olah kelompok-kelompok politik
tertentu untuk mendapatkan keuntungan politik. Para buru sering kali menjadi elemen
utama dalam berbagai unjuk rasa politik.
Masalah pengangguran menjadi ujian penting bagi pemerintah
di negara-negara-negara berkembang. Mereka dituntut untuk mengimbangi
keberhasilan pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja. Di satu pihak, ekspansi
pendidikan turut serta melahirkan instabilitas karena pendidikan melahirkan
tuntutan yang sering kali tidak dapat dijawab oleh sistem politik. Dipihak
lain, tersedianya pendidikan yang cukup disemua jenjang adalah persyaratan yang
diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik. Hanya dengan sumber daya
manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai pemerintah dan
birokrasinya dapat memenuhi tuntutan publik, dan hanya publik yang terdidik
yang dapat diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa
(nation building).
Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada
semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Misalnya,
filsafat pendidikan disuatu negara sering kali merupakan refleksi prinsip ideologis
yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya filsafat pendidikan
nasional adalah artikulasi peadagogis dari nilai-nilai yang terdapat pada
Pancasila dan Undang-Udang Dasar 1945 pada dataran kebijakan, sangat sulit
memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah
disuatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada pemerintah
tersebut. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) menulis sebagai berikut :
A government’s education policy reflects, and sometimes
betrays, its view of society or political creed. The formulation of policy,
being a function of government, is essentially part of the political process,
as are the demands made on goverments by the public for its revision (kebijakan
pendidikan suatu pemerintahan merefleksikan dan terkadang merusak pandangannya
terhadap masyarakat atau keyakinan politik. Sebagai fungsi pemerintahan,
formulasi kebijakan secara esensial merupakan bagian dari proses politik,
sebagai tuntutan-tuntutan publik terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan.
Pada gilirannya, implementari dari suatu kebijakan
pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan pendidikan
berdampak langsung pada akses, minat, dan kepentingan pendidikan para
stakeholder pendidikan, terutama orang tua dan peserta didik, dan masyarakat
pada umumnya. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) mencatat empat aspek. Kehidupan
masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan – kebijakan pendidikan yang
dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial, ide-ide, dan
sikap. Mereka menulis
And the implementation of education policy has political
consequences by affecting, among other things, types and levels of employment,
social mobility, and the ideas and attitudes of population (dan implementasi
kebijakan pendidikan memiliki berbagai konsekuensi politik dengan mempengaruhi
antara lain jenis dan jenjang pekerjaan, mobilitas sosial, dan ide-ide dan
sikap-sikap masyarakat).
Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik
dalam suatu masyarakat terus meningkat, seiring dengan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam masyarakat tersebut. Di negara-negara berkembang, dinamika
tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan dinegara-negara
tersebut terjadi lebih intens. Intensitas perubahan tersebut sangat nyata dalam
proses yang menghantarkan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Abernethy
dan Coombe (1965 : 287) mengamati hal-hal berikut ini.
In general, the political significance of education in
contemporary societies increases with the degree of change a society in
undergoing. The massive changes which developing countries have already
experienced and those, whether induced of not, which are in process, render all
the more conspicous the reciprocal relationship between politics and education
in these areas (secara umum, signifikansi politik pendidikan dalam masyarakat
kontemporer meningkat dengan derajat perubahan yang sedang berlangsung dalam
masyarakat. Perubahan-perubahan besar yang telah dialami oleh negara-negara
berkembang dan perubahan-perubahan, baik yang disengajar atau tidak disengaja,
yang sedang berproses, semuanya memperlihatkan hubungan timbal balik antara
politik dan pendidikan).
Kutipan di atas paling tidak menggambarkan tiga hal. Pertama,
eratnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia politik. Kedua, besarnya
pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik
masyarakat. Ketiga, besarnya peran persekolahan modern dalam keruntuhan
kolonilalisme. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) menulis sebagai berikut :
Impressive evidence of this relationship (between education
and politics) may be found in the progress of colonies towards independence.
The contribution of western education to the eclipses of western colonialism is
now fairly well understood, at least schematically (bukti impresif tentang
hubungan (antara pendidikan dan politik) dapat dilihat pada perjalanan
negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Kontribusi pendidikan Barat terhadap
keterpurukan kolonialisme barat saat ini ckup dimengerti, paling tidak secara
skematik).
Para penghancur kolonialisme adalah para pemimpin yang didik
disekolah-sekolah kolonial. Abernethy dan Coombe (1965 : 287) menambahkan
penjelasan sebagai berikut :
The crux of the matter is that the sucessive generations of
who becoma nationalist leaders had attended colonial schools and metropolitan
universities. The values, the vocabulary, and the organizational methods the
derived from the political traditions of the west were employed, successfully
in the long run, in combating colonial rule (inti persoalan adalah dari
generasi ke generasi para pemimpin nasionalis adalah mereka yang mengenyam
pendidikan di sekolah-sekolah kolonial dan universitas-universitas
metropolitan. Nilai-nilai, kosa kata, dan metode-metode organisasi yang mereka
contoh dari tradisi politik di barat mereka terapkan dan sukses dalam jangka
waktu lama untuk menyerang penguasa kolonial).
Besarnya peran sistem persekolahan dalam meruntuhkan
kolonialisme terlihat jelas dalam pengalaman bangsa Indonesia. Pada satu sisi,
kebijakan politik pemerintah kolonial, politik etis, misalnya, telah memperluas
akses pendidikan bagi kaum pribumi, khususnya para aktivitas nasionalis. Pada
sisi lain, bekal pendidikan yang diperoleh telah memperluas wawasan sosial
politik mereka dan pada saat yang sama memperkuat sentimen kebangsaan mereka.
Wawasan dan sentimen kebangsaan itulah yang kemudian memacu aktivitas politik
mereka dan menumbuhkan semangat perlawanan mereka terhadap pemerintah kolonial
pada waktu itu.
Pemerintah kolonial pada waktu itu tentu saja berharap bahwa
bekal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan loyalitas tokoh-tokoh
pribumi. Namun, kenyataan berkata lain, tokoh-tokoh tersebut justru berkembang
menjadi figur utama dalam gerakan nasionalis yang menggugat kolinialisme.
Inilah yang terjadi pada sosok Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan
tokoh-tokoh nasionalis lainnya. Terlepas dari berbagai implikasi sosial politik
yang menyertainya, pengalaman pendidikan dan kiprah politik tokoh-tokoh
nasionalis tersebut mempertegas eratnya hubungan antara pendidikan dan politik.
0 comments :
Post a Comment