selamat siang sobat blogger dimanapun anda berada, terutama
sahabat sesama dou mbojo baik yang berada diwilayah daerah mbojo sendiri maupun
yang berada di luar daerah mbojo. Sebagai warga dana mbojo yang tercinta,
tentunya sudah tidak diragukan lagi akan kecintaanya terhadap daerah kelahiran
kita.
Banyak cerita dan kisah-kisah menarik yang bisa kita
pelajari dari peninggalan para pejuang-pejuang dana mbojo, salah satunya
tentang cerita rakyat yang pernah terjadi. Berikut saya akan mengulas kembali
beberapa cerita rakyat bima yang paling populer sampai sekarang. Nach ini bagus
buat anak-anak generasi sekarang harus tahu nich.
Berikut beberapa cerita rakyat dana mbojo yang terpopuler
sampai dengan saat sekarang :
LAWATA
(Sarangge )Nama Lawata tentu tidak asing lagi bagi msyarakat
Bima maupun NTB. Karena nama Pantai yang indah di pintu masuk Kota Bima ini
memang sudah sejak lama menjadi obyek wisata andalan bagi Kota Bima. Nama
Lawata pun menjadi salah satu nama kompleks pemukiman warga-warga Bima yang ada
di mataram. Yaitu di sebelah barat Gomong.
Kenapa dinamakan Lawata ? dan Siapa yang memberi nama itu ?
Dalam buku Legenda Tanah Bima sebagaimana ditulis Alan Malingi, Lawata pertama
kali diperkenalkan oleh para Ncuhi kepada salah seorang musafir dari Jawa yang
dijuluki Sang Bima. Pada saat itu, Sang Bima dengan istrinya yang merupakan
puteri salah seorang Ncuhi di Tambora berkunjung ke Istana Ncuhi Dara di pusat
Kota. Upacara penyambutan oleh para Ncuhi berlangsung cukup meriah. Ribuan
orang menggelar Tarian Adat menjemput kedatangan orang yang dijuluki Sang Bima
itu. Karena banyaknya orang yang menjemput, pantai yang membentang di sebelah
timur teluk Bima itu pun deberi nama DEWA SEPI. Dewa berarti Tari. Sepi berarti
banyak.
Ketika akan memasuki Istana Ncuhi Dara di Gunung Dara (
Sebelah Selatan Terminal Dara Bima sekarang ), Para Ncuhi yang dipimpin Ncuhi
Dara menyambut kedatangann Orang Yang Dijuluki Bima itu di tepian pantai. Lalu
para Ncuhi mempersilahkan tamunya itu untuk duduk-duduk di pantai itu seraya
berkata “ Ake Lawang Ita “Lawang( Pinta Gerbang/Pintu masuk). Ita berarti Tuan.
Lawang Dalam bahasa Sangsekerta berarti pintu masuk. Sedangkan Ita adalah
Bahasa Bima yang berarti anda atau tuan.
Pada perkembangan selanjutnya nama Lawang Ita itu berubah menjadi LAWATA
yang berarti pintu gerbang bagi siapapun yang masuk dan menginjakkan kaki di
Kota Bima.
Saat ini Pemerintah Kota Bima terus membenahi Pantai Lawata
untuk menjadi salah satu obyek wisata pantai andalan di kota Bima dengan
membangun berbagai fasilitas seperti Rumah makan terapung, perlengkapan
berenang, panggung hiburan rakyat serta sederetan penataan lainnya. (Alan)
ASAL MULA KAMPUNG
TOLO BALI
Masa kesultanan Bima telah berlangsung lebih dari tiga abad.
Pada masa itu perkembangan Islam cukup pesat. Pendidikan Islam dan Alqur’an
diberlakukan merata ke seluruh negeri yang dimulai dari pelataran Istana hingga
ke pelosok dusun dan desa. Lantunan Ayat-ayat
suci Alqur’an terdengar dari sudut-sudut kampung, di surau dan masjid-masjid
terutama ba’da magrib sambil menanti masuknya waktu shalat Isya.
Memasuki abad ke- 17 Dan
18 bisa dikatakan sebagai masa-masa keemasan peradaban Islam di Dana
Mbojo. Guru-guru dan Ulama didatangkan dari Sulawesi dan Sumatra. Merekalah
yang kemudian dikenal di Dana Mbojo sebagai orang-orang Melayu. Pada
perkembangan selanjutnya, para guru dan ulama itu menikah dengan gadis-gadis
Mbojo dan beranak keturunan di Bumi Maja Labo Dahu ini.
Sebagai ungkapan terima kasih Sultan Bima kepada para guru
dan ulama itu, diberikanlah tanah sawah dan ladang untuk mereka garap yang
berloasi di sebelah utara Istana Bima. Tanah-tanah tersebut sebenarnya cukup
subur dan menjanjikan harapan. Namun para guru dan ulama itu menolak tanah
sawah tersebut dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan dan bakat
untuk bercocok tanam. Mereka lebih suka untuk berdagang, menjadi saudagar dan
melaut sambil berdakwah. Akhirnya
mereka mengembalikan secara baik-baik sawah tersebut. Sultan Bima tidak
tersinggung dengan pengembalian itu. Sultan menyadari dan memahami bahwa memang
panggilan hidup mereka adalah sebagai pedagang dan mubalig.
Akhirnya sawah yang dikembalikan itu lama kelamaan menjadi
perkampungan yang bernama TOLO BALI. Tolo berarti Sawah. Bali berarti
dikembalikan. Jadi Tolo Bali itu adalah Sawah yang dikembalikan.
OI WOBO
Konon kisahnya, putera Mahkota Raja Bima ingin melakukan
petualangan. Diawali dari arah barat, menuju ke arah selatan dan berakhir di
arah utara. Namun ia belum berhenti sampai di situ. Sekembalinya di istana, ia
memohon restu kepada ayahandanya.
“ Anakda ingin berpetualangan lagi.” Katanya “ Berikanlah
restu kepada anakda untuk yang terakhir kali.”
“ Aku restui permintaanmu anakda, tetapi kamu harus
berhati-hati dan bawalah bekal serta pengawal yang agak banyak.”
“ Terima kasih ayahanda. Segala titah akan anakda
laksanakan.”
“ Ke arah mana lagi yang ingin kau telusuri?” Sang Raja
ingin tahu.
“ Ke arah timur ayahanda. Saya ingin melihat matahari
terbit, setelah di barat saya sudah melihat matahari terbenam.” Jawabnya sambil
berpamitan pada ayahandanya.
Pada suatu pagi yang cerah, rombongan putera Mahkota mulai
melakukan petualangan. Rombongan itu kelihatannya lebih banyak dari sebelumnya.
Pengawal dan dayang-dayang yang mengikutinya cukup banyak. Bekal yang mereka
bawapun cukup banyak. Namun jalan yang akan mereka tempuh sepertinya sangat
sulit. Banyak bukit-bukit terjal yang harus mereka lewati. Sungai-sungai yang
besar harus mereka lewati. Belum lagi ancaman binatang buas di malam harinya.
Sebelum menuju ke arah timur, mereka terlebih dahulu
melintas ke arah tenggara. Di sana banyak gunung-gunung yang tinggi menjulang
yang harus didaki. Karena sang Putera Mahkota sangat penasaran ingin melihat
matahari terbit. Setelah sekian lama mereka mendaki, tibalah mereka di sebuah
puncak. Puncak gunung itu bernama puncak La Mbitu. Sebuah gugusan pegunungan
yang tertinggi yang bearda di sebelah tenggara tanah Bima.
Di puncak gunung itu mereka bermalam sambil menunggu
matahari terbit. Karena lapar dan haus, maka seluruh perbekalan mereka habiskan
di tempat itu juga.
“ Ampun yang mulia, Seluruh perbekalan sudah tidak ada.”
Salah seorang pengawal datang melapor.
“ Biarlah. Nanti kita akan dapatkan bahan makanan di tengah
jalan.” Sang Putera Mahkota menjawab enteng. Seakan masalah makanan dan minuman
tidak menjadi beban baginya. Lalu pengawal itu pun kembali ke tempatnya.
Ketika sinar keputih putihan bergulir di langit timur, Sang
Putera Mahkota bersama seluruh pengawal dan dayang terbangun. Mereka mengamati
gejala alam yang terjadi dari waktu ke waktu. Tak lama kemudian merahlah laut.
Dan muncullah mata hari seperti sebuah bola besar yang menggelinding. Semakin
lama semakin meninggi. Tak lama kemudian berubah cerah diiringi kicau burung
yang semakin riang.
Setelah melihat matahari terbit, rombongan itu turun dari
puncak La Mbitu. Mereka meluncur ke arah utara. Mereka terus berjalan menuruni
bukit dan lembah yang terjal.Banyak sekali binatang buas yang lalu lalang di
hadapan mereka. Namun binatang-binatang itu tidak mengganggu perjalanan mereka
berkat kesaktian yang dimiliki oleh Sang Putera Mahkota.
Menjelang sore hari rombongan itu tiba di sebuah tempat yang
agak landai. Tempat itu dikelilingi oleh pepohonan yang besar dan berbagai
jenis buah-buahan. Suasana sejuk dan nyaman tampak terasa di tempat itu. Sang
Putera Mahkota memerintahkan seluruh rombongan untuk beristirahat.
Namun sebuah persoalan menghadang. Mereka dilanda kelaparan
dan kehausan yang hebat. Seluruh rombongan lemas tak bertenaga. Mereka
tergeletak di akar-akar pepohonan yang lebat. Sang Putera Mahkota mulai
kebingungan. Dengan sisa tenaga yang ada ia mulai bangkit. Lalu ia memetik
buah-buahan dan pucuk dedaunan di sekitar tempat itu. Ia membagikan kepada
seluruh rombongan. Mereka makan dengan lahap. Namun rasa haus yang belum dapat
terobati.
“ Ampun baginda, setetes air akan sangat berharga bagi
kerongkongan kami.’ Salah seorang pengawal berkata pasrah.
“ Tenang ! Tenang !. Setiap masalah pasti ada jalan
keluarnya.” Demikian Sang Putera Mahkota meyakinkan.
“ Bagaimana caranya Baginda ?” Salah seorang pengawal ingin
tahu.
“ Ambilkan Wobo itu( Wobo adalah sejenis tongkat atau cambuk
yang digunakan untuk memukul Kuda atau binatang lainnya).” Sang Putera Mahkota
menyuruh salah seorang pengawal untuk mengambilnya.
Tak lama kemudian Sang Putera Mahkota memukulkan Wobo itu ke
arah bebatuan dan akar pepohonan di sekitar tempat itu. Lalu keluarlah air yang
segar dan jernih.
“ Minumlah air ini sepuas hati kalian.” Sang Putera Mahkota
memerintahkan.
Lalu seluruh rombongan meminum air itu termasuk Putera
Mahkota. Sejak saat itu Putera Mahkota bersama rombongan tidak beranjak dari
tempat itu. Seiring waktu berlalu mereka mendirikan perkampungan di sekitar
tempat itu. Dan jadilah perkampungan yang besar yang bernama Wawo yang berarti
di atas. Dan mata air yang keluar itu diberi nama dengan OI WOBO. Kini tempat
itu menjadi tempat rekreasi yang sangat menarik. Dan banyak dikunjungi oleh
wisatawan terutama yang menyenangi udara pegunungan.
Sekian semoga bermanfaat.....
0 comments :
Post a Comment