PENDAHULUAN
Dalam dunia yang serba modern seperti
sekarang ini, tidaklah ada suatu negera yang dapat mengasingkan diri dari
pergaulan internasional.
Pergaulan antar negera-negara yang
berdaulat dan merdeka sudah barang tentu harus diatur. Perhubungan-perhubungan hukum
pada umumnya yang telah ada di antara negara-negara itu, telah diatar dalam
himpunan peraturan-peraturan yang disebut “hukum antar negara”. Sebagai
modernisasi dari nama lain yaitu “hukum bangsa-bangsa” yang merupakan
terjemahan lurus dari nama-nama seperti volkerrect, droit de gens, law of
nations, dan volkenrecht yang kesemuanya barasal dari istilah Romawi: ius
gentium. Modernisasi nama itu membawa pula perubahan dalam artinya, yang
kemudian hanya ditunjukkan kepada himpunan peraturan-peraturan yang bersangkutan
saja; dengan perkataan lain lambat laun berubahlah tugasnya, sehingga dapatlah
kini dikatakan bahwa hukum antar negara adalah hukum yang mengatur pergaulan
internasional. Dalam pada ini tidaklah dapat dibantah-bantah lagi, bahwa
kepentingan bersama dari semua negara seperti perdamaian, keamanan, keadilan,
kemakmuran, cooperation dan sebagainya, menghendaki dengan mutlak adanya sopan
santun dalam pergaulan antar negara yang merupakan peraturan-peraturan hukum.
Demikian pula halnya yang dikehendaki
oleh negara-negara burhubungan dengan tugasnya sebagai pemungut pajak. Maka
dicarilah kini olehnya salah satu undang-undang kesepakatan kerjasama yang erat
dalam lapangan-lapangan perpajakan.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Pajak Internasional
Pengertian hukum pajak ini dapat
dibagi menjadi tiga bagian dari pendapat ahli hukum pajak, yaitu:
- Menurut pendapat Prof. Dr. Rochmat Soemitro, bahwa hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang terdiri atas kaedah, baik berupa kaedah-kaedah nasional maupun kaedah yang berasal dari traktat antar negara dan dari prinsif atau kebiasaan yang telah diterima baik oleh negera-negara di dunia, untuk mengatur soal-soal perpajakan dan di mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing.
- Menurut pendapat Prof. Dr. P.J.A. Adriani, hukum pajak internasional adalah suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur dalam UU Nasional mengenai pemajakan terhadap orang-orang luar negeri, peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak ganda dan traktat-traktat.
- Sedangkan menurut pendapat Prof. Mr. H.J. Hofstra, hukum pajak internasional sebenarnya merupakan hukum pajak nasional yang di dalamnya mengacu pengenaan terhadap orang asing.
Persoalan yang terjadi dalam hukum
pajak ini ialah apakah hukum pajak nasional akan diterapkan atau tidak? Hukum
pajak internasional juga merupakan norma-norma yang mengatur perpajakan karena
adanya unsur asing, baik mengenai objeknya maupun subjeknya.
B. Kedaulatan Hukum Pajak Internasional
Berbicara masalah Hukum Pajak
Internasional, khususnya Hukum Pajak Internasional Indonesia secara umum dapat
dikatakan barlaku terbatas hanya pada subjeknya dan objeknya yang berada di
wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak
bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan
dikenakan pajak berdasarkan UU Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak
Internasional dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar
wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan
ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia.
UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam
pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan
dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh
adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh
di Indonesia.
Dalam hukum antar negara terdapat
suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap
negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya
sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas
dari pengaruh kekuasaan negara lain. Sesuai dengan asas yang dimaksud di muak,
maka kedaulatan pemajakan sebagai spesial dari gengsi kedaulatan negera dapat
dinyatakan sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam
lapangan pajak.
C. Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional
Prof. Dr. Rochmat Soemito dalam
bukunya “Hukum Pajak Indonesia, menyebutkan bahwa ada bebarapa sumber hukum
pajak internasional, yaitu:
- Hukum Pajak Nasional atau Unilateral yang mengandung unsur asing.
- Trakat, yaitu kaedah hukum yang dibuat menurut perjanjian antar negara baik secara bilateral maupun multilateral.
- Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-pajak internasional.
Sedangkan dalam buku “Pengantar Ilmu
Hukum Pajak” karangan R. Santoso Brotodihardjo, S.H. menyatakan bahwa
sumber-sumber formal dari hukum pajak internasional, yaitu:
- Asas-asas yang terdapat dalam hukum antar negara
- Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain.
- Traktat-traktat (perjanjian) dengan negera lain, seperti:
a. Untuk meniadakan atau menghindarkan pajak
berganda.
b. Untuk mengatur pelakuan fiskal terhadap
orang-orang asing.
c. Untuk mengatur soal pemecahan laba di dalam hal
suatu perusahaan atau seseorang mempunyai cabang-cabang atau sumber-sumber
pendapatan di negara asing.
D. Terjadinya Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda internasional umumnya
terjadi karena pada dasarnya tidak ada hukum internasional yang mengatur hal
tersebut sehingga terjadi bentrokan hukum antar dua negara atau lebih.
Velkenbond memberikan pengertian bahwa pajak berganda internasional terjadi
apabila pengenaan pajak dari dua negara atau lebih saling menindih sedemikian
rupa, sehingga orang-orang yang dikenakan pajak di negara-negara yang lebih
dari satu memikul beban pajak yang lebih besar daripada jika mereka dikenakan
pajak di satu negara saja. Beban tambahan yang terjadi tidak semata-mata
disebabkan karena perbedaan tarif dari negara-negara yang bersangkutan,
melainkan karena dua negara atau lebih secara bersamaan memungut pajak atas
objek dan subjek yang sama.
Dari pengertian di atas jelas bahwa
pajak berganda internasional akan timbul karena atas suatu objek pajak dan
subjek pajak yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali sehingga menimbulkan
beban yang berat bagi subjek pajak yang dikenakan pajak tersebut. Selanjutnya
Prof. Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa ada beberapa sebab terjadinya pajak
berganda internasional, yaitu:
- Subjek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negera, yang dapat terjadi karena:
a. Domisili rangkap
b. Kewarganegaraan rangkap
c. Bentrokan atas domisili dan asas kewarganegaraan.
- Objek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama di beberapa negara.
- Subjek pajak yang sama dikenakan pajak di negara tempat tinggal berdasarkan atas wold wide incom, sedangkan di negera domisili dikenakan pajak berdasarkan asas sumber.
E. Cara Penghindaran Pajak Berganda Internasional
Ada dua cara untuk menghindari pajak
berganda internasional, yaitu dengan cara sebagai berikut:
- Cara Unilateral
Cara ini dilakukan dengan memasukkan
ketentuan untuk menghindari pajak berganda dalam UU suatu negara dengan suatu
prosedur yang jelas. Pengguanaan cara ini merupakan wujud kedaulatan suatu
negara untuk mengatur sendiri masalah pemungutan pajak dalam suatu UU.
- Cara Bilateral atau Multilateral
Cara Bilateral atau Multilateral
dilakukan melalui suatu perundingan antar negara yang berkepentingan untuk
menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian yang dilakukan secara
bilateral oleh dua negara, sedangkan multelateral dilakukan oleh lebih dari dua
negara, yang lebih dikenal dengan sebutan traktat atau tax treaty. Proses
terjadinya perjanjian secara bilateral maupun multilateral tentu akan
membutuhkan waktu yang cukup lama karena masing-masing negara mempunyai prinsip
pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri.
F. Perjanjian Dalam Pajak Berganda Internasional
Perjanjian seperti ini kebanyakan
masih berusia muda, dahulu hanya dikenakan persetujuan persahabatan,
persetujuan untuk menetap, persetujuan dagangan dan peretujuan pelayanan yang
kadang-kadang mencakup satu ketentuan yang ada hubungannya dengan beberapa
macam pajak yang kebanyakan mencantumkan klausul tentang keharusan adanya
perlakuan yang sama terhadap penduduk atau penguasa dari negara-negara yang
mengadakan persetujuan.
Prosedur dari perjanjian kolektif
ternyata sukar untuk dilaksanakan karena bermacam-macam ragam, sistem dan asas
perpajakan di berbagai negara, dan karena lambannya prosedur perundingan untuk
tidak berbicara tentang lambannya atau resikonya pengukuhan oleh kepala
negara-negara peserta perjanjian.
Ketentuan-ketentuan penting yang
tercantum dalam perjanjian-perjanjian pajak berganda secara singkat adalah
sebagai berikut:
- Orang-orang yang dapat menikmati keuntungan dari perjanjian-perjanjian.
- Pajak-pajak yang diatur dalam perjanjian.
- Sengketa internasional.
- arti tempa kediaman fiskal.
G. Kedudukan Hukum Perjanjian Perpajakan
Bagaimana kedudukan hukum suatu
perjanjian perpajakan yang diadakan antara Indonesia dengan negara lain? Bila
ditelusuri dasar hukum bisa diadakannya perjanjian perpajakan antar negara,
maka kita kembali pada konstitusi yaitu pasal 11 ayat (1) UUD 1945 beserta
perubahannya. Mengacu pada dasar hukum tersebut, tentu saja akan memerlukan waktu
yang cukup lama. Oleh karenanya, dengan pertimbangan kepraktisan khusus dalam
lalu lintas hukum internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain yang
cukup intensif, maka tidak diperlukan lagi persetujuan DPR tetapi cukup
diberitahukan saja.
Berdasarkan ketentuan Pasal 11 UUD
1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum perjanjian
perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU tentang PPh. Kedudukan
hukum perjanjian perpajakan tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan Nasional.
KESIMPULAN
Hukum Pajak Internasional merupakan
norma-norma yang mengatur perpajakan karena adanya unsur asing, baik mengenai
subjek maupun objeknya. Dan para ahli hukum pajak juga banyak memberikan
definisi tentang hukum pajak internasional salah satunya yaitu; Prof. Dr.
P.J.A. Adriani, seorang ahli yang banyak menulis buku tentang perpajakan.
Kemudian sumber-sumber hukum pajak
internasional terdiri dari:
1. Hukum Pajak Nasional.
2. Traktat
3. Keputusan Hakim Nasional.
Dan kedudukan Hukum Perjanjian
Perpajakan adalah sama dengan UU Nasional seperti UU tentang PPh, kedudukan
hukum tax treaty tidak lebih tinggi dari UU Perpajakan Nasional.
0 comments :
Post a Comment