BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia perjalanan diartikan, perihal (cara, gerakan),
yakni berjalan atau berpergian dari suatu tempat menuju tempat untuk suatu
tujuan. Secara istilah, perjalanan sebagai aktifitas seseorang untuk keluar
ataupun meninggalkan rumah dengan berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai
sarana transportasi yang mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud
ataupun tujuan tertentu.
Dalam istilah fiqh,
kata safar diartikan dengan, keluar bepergian meninggalkan
kampung halaman dengan maksud menuju suatu tempat dengan jarak tertentu yang
membolehkan seseorang yang bepergian untuk menqashar sholat.
Pada zaman Rasulullah,
melakukan perjalanan telah menjadi tradisi masyarakat Arab. Dalam Al Qur’an
Surah Al Quraisy yang disebut di atas, Allah mengabadikan tradisi masyarakat
Arab yang suka melakukan perjalananpada musim tertentu untuk berbagai
keperluan. Karena itu tidak heran jika Islam sebagai satu-satunya agama yang
mengatur kegiatan manusia dalam melakukan perjalanan, mulai dari masa persiapan
perjalanan, ketika masih berada dirumah, selanjutnya pada saat dalam perjalanan
dan ketika sudah kembali pulang dari suatu
Dalam kehidupan modern, seiring dengan kemajuan pola hidup
serta tingkat kesibukan seseorang melakukan perjalanan jauh (safar) merupakan
bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Hal
ini juga telah berlaku pada masa Rasulullah Saw., oleh sebab itu Islam melalui
Rasulullah Saw. telah memberikan tuntunan yang terinci tentang akhlak dalam
perjalanan, mulai dari persiapan, dalam perjalanan dan sampai ketika sudah
kembali dari perjalanan itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian pada latar belakang di atas, maka
penulis menetapkan rumusan permasalahan yang menjadi inti pembahasan dalam
makalah ini, yakni sebagai berikut :
a.
Apa pengertian Akhlak dalam
perjalanan ?
b.
Bagaimana bentuk akhlak dalam
perjalanan ?
c.
Apa Nilai Positif Akhlak dalam
Perjalanan ?
d.
Ada Berapa
Permasalahan Penting Dalam Safar ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akhlak dalam Perjalanan
Secara etimologi, dalam bahasa Arab Perjalanan disebut
dengan rihlah-safrah-masirah. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia Perjalanan diartikan perihal (cara, gerakan) berjalan
atau bepergian dari suatu tempat menuju tempat lain untuk suatu tujuan.
Secara terminologi Perjalanan didefinisikan
sebagai "aktivitas seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah
dengan berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai sarana transportasi yang
mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun tujuan
tertentu"
B.
Bentuk Akhlak dalam Perjalanan
Melakukan perjalanan yang diajarkan
dalam Islam bertujuan untuk mencari ridha Allah, sebagaimana disinyalir oleh
Rasulullah Saw. dalam sabdanya :
"Tidak seorang keluar meninggalkan rumahnya, kecuali
di pintu rumahnya ada panji. Sebuah di tangan malaikat dan sebuahnya lagi di
tengan setan. Kalau tujuannya kepada apa yang diridhai (disenangi) Allah
Azza wa Jalla, maka dia diikuti malaikat dengan panjinya sampai dia pulang ke
rumahnya. Apalagi tujuannya yang dimurkai Allah, maka setan dengan panjinya
mengikutinya sampai dia pulang ke rumahnya." (HR.Ahmad).
Terdapat beberapa perjalanan yang dianjurkan oleh Islam, di
antaranya:
- Pergi Haji
- Umrah
- menyambung silaturahmi
- menuntut ilmu
- berdakwah
- berperang di jalan Allah
- mencari karunia Allah.
Di
samping itu perjalanan berfungsi untuk menyehatkan kondisi jasmani dan rohani
dari kelelahan dan kepenatan karena rutinitas sehari-hari.
Supaya
umatnya selalu dalam ridha Allah, Islam telah mengajarkan beberapa tuntunan
adab dan etika dalam melakukan perjalanan, yaitu sebagai berikut :
- Sebelum Perjalanan
- Bermusyawarah dan Shalat Istikharah. Islam menganjurkan kebapa orang yang berniat dan hendak melakukan perjalanan jauh (safar), agar melakukan musyawarah dengan keluarga sebelum ia berangkat.
- Mengembalikan Hak dan Amanat kepada Pemiliknya. Jika niat melakukan perjalanan telah menjadi keputusan, maka yang harus dilakukan adalah : a). Melunasi hutang-hutang; b). Berpesan kepada keluarga tentang hutang-piutang; c). Mengembalikan hak dan amanat (titipan) kepada yang berhak.
- Membawa Enam Benda yang Disunahkan Rasulullah Saw., Dalam melakukan perjalanan, dianjurkan membawa enam macam benda, yaitu : gunting, siwak, tempat celak, tempat air untuk minum, istinja' dan wudhu'.
- Mengajak Istri ataupun Anggota Keluarga. Dalam ber-safar sebaiknya mengikutsertakan istri (bila sudah beristri), agar terhindar dari hal-hal yang bisa menimbulkan godaan setan.
- Wanita Tidak Boleh Pergi Seorang Diri. Islam melarang wanita ber-safar seorang diri (dalam jarak jauh), karena dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dan dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.
- Memilih Kawan Pendamping yang Shaleh. Untuk ber-safar dianjurkan membawa teman yang shaleh, agar dia dapat membantu melakukan hal-hal yang baik dan menjaga untuk terhindar dari kemungkaran.
- Mengakat Pemimpin Rombongan. Apabila ber-safar dengan rombongan, hendaklah mengangkat seorang pemimpin yang bijaksana, adil dan mengetahui permasalahan safar.
- Berpamitan kepada Keluarga dan Handai Tolan serta Mohon Do'a. Sebelum berangkat, seoorang musafir sebaiknya berpamitan dan memberi ucapan selamat tinggal kepada keluarga atau kawan-kawannya.
- Memilih hari Kamis dan Shalat Dua Raka'at sebelum Berangkat. Rasulullah Saw. sering mengawali perjalanannya pada hari Kamis dan ketika akan berangkat melakukan shalat dua rakaat.
- Dalam Perjalanan
- Menolong Kawan Seperjalanan. Rasulullah Saw. dalam ber-safar selalu mengambil posisi paling belakang, agar bisa menuntun yang lemah, menaikkan orang yang lelah berjalan kaki ke atas kendaraan beliau dan berdo'a untuk seluruh rombongan yang mengikuti beliau.
- Tidak Lama Meninggalkan Istri. Bila ber-safar tidak membawa istri, sebaiknya tidak terlalu lama, karena dikhawatirkan akan mengancam kejujuran di antara suami-istri.
- Ketika Sampai dan Kembali dari Perjalanan
- Takbir Tiga Kali dan Berdo'a. Setelah melakukan perjalanan atau dari medan perang, Rasulullah Saw. mengucapkan takbir tiga kali, lalu mengucapkan (artinya) : "Tiada sembahan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi Allah kekuasaan dan pujian dan Dia mampu melakukan segala sesuatu. Kami pulang kembali bertobat, beribadah dan kepada Allah kami bertahmid."
- Jangan Pulang Mendadak. Rasulullah Saw. bila pulang larut malam, beliau tidak langsung mengetuk pintu, tetapi menanti sampai besok pagi.
- Shalat Dua Raka'at. Sekembali dari perjalanan, Rasulullah Saw. memasuki masjid, sgalat dua raka'at dan baru pulang ke rumah. Ketika memasuki rumah beliau mengucapkan istighfar (astaghfirullah hal-'azim).
C.
Nilai Positif Akhlak dalam Perjalanan
Imam Gazali mengatakan bahwa "Bersafarlah,
sesungguhnya dalam safar memiliki beragam keuntungan". Adapun
keuntungan melakukan perjalanan itu adalah :
- Melakukan perjalanan dapat menghibur diri dari kesedihan, kepenatan, kejenuhan dari rutinitas aktivitas atau me-refresh masalah-masalah yang membelenggu.
- Perjalanan merupakan sarana untuk meningkatkan penghasilan. Jika hanya berdiam di rumah tidak akan menemukan betapa luasnya karunia Allah.
- Perjalanan akan menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Baik karena pengamatan ataupun karena berjumpa dengan banyak orang.
- Dengan melakukan perjalanan, seseorang akan lebih mengenal adab kesopanan yang berkembang di suatu komunitas masyarakat.
- Perjalanan akan menambah kawan dan sahabat yang baik serta mulia, karena dalam melakukan perjalanan tentu akan bertemu dengan orang-orang yang beragam.
D.
Beberapa Permasalahan Penting Dalam Safar
1.
Bagi orang yang dalam perjalanan disyareatkan untuk mengqashar shalatnya
semenjak ia keluar dari daerahnya.
2.
Jika telah masuk waktu shalat dan ia dalam keadaan mukim, lalu
ia safar, kemudian ia shalat dalam safarnya, maka apakah ia shalat sempurna atau
qashar ? Jawaban yang benar adalah qashar
3.
Jika dalam perjalanan ia teringat shalat yang mestinya ia
lakukan di saat mukim, maka ia shalat secara sempurna2, dan jika ingat di saat mukim,
shalat yang semestinya ia lakukan dalam safar, maka dalam hal ini terdapat
perselisihan pendapat apakah ia menyempurnakan shalatnya atau mengqashar.
Pendapat yang benar adalah mengqashar (shalat).
4.
Jika seorang musafir shalat di belakang orang yang mukim, maka
ia shalat empat rakaat secara mutlak meski tidak ia dapatkan kecuali tasyahud.
Shalatnya seperti halnya orang yang mukim, empat raka'at.
5.
Jika orang yang musafir shalat bersama jamaah yang mukim, maka
ia mengqashar shalat.
6.
Sunnah-sunnah Rawatib yang tidak dilakukan dalam perjalanan
adalah shalat sunnah qabliyah dan ba'diyah Dzuhur, ba'diyah maghrib dan ba'diyah
isya'. Adapun shalat sunnah qabliyah fajar dan shalat witir, maka tetap
dilakukan. Orang yang musafir juga bisa melakukan Shalat Dhuha, shalat sunnah
wudhu dan shalat tahiyatul masjid.
7.
Yang disunnahkan adalah meringankan bacaan surat (dalam shalat) ketika
dalam perjalanan.
8.
Jika ia (orang yang musafir) menjamak shalat, maka hendaknya dikumandangkan
adzan satu kali dan dua kali iqamat. Satu shalat satu iqamat. Ia boleh menjamak
di awal waktu, pertengahannya atau akhirnya. Pada waktu-waktu tersebut adalah
saat untuk menjamak dua shalat.
9.
Menjamak antara dua shalat dalam perjalanan adalah sunnah ketika
Dibutuhkan.
10.
Mereka yang tidak diwajibkan menghadiri shalat jum'at seperti
musafir dan orang yang sedang sakit, maka boleh bagi mereka untuk menunaikan Shalat
Dzuhur setelah tergelincirnya matahari, walaupun imam belum memulai shalat
jum'at.
11.
Musafir boleh melakukan shalat sunnah di atas mobil atau pesawat,
sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalan, dari nabi yang shalat sunnah di
atas hewan tunggangannya.
12.
Setiap orang yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, maka boleh
pula baginya untuk berbuka (tidak berpuasa), dan tidak sebaliknya.
13.
Bepergian di Hari Jum'at adalah dibolehkan.
14.
Dzikir yang diucapkan setelah shalat yang pertama pada shalat
jama' tidak dilakukan.
15.
Tidak disyaratkan dalam safar niat untuk mengqashar (shalat).
16.
Banyak para ulama yang melarang untuk menjama' Shalat Ashar dan Jum'at.
17.
Mengqashar shalat hukumnya adalah sunnah muakkad, ada pula yang mengatakan
wajib.
18.
Dibolehkannya mengqashar shalat adalah umum, baik itu safar
dalam rangka ketaatan maupun maksiat. Inilah pendapat yang benar dan dipilih oleh
Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah).
19.
Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama muhrimnya yaitu
suami atau setiap laki-laki yang sudah baligh, berakal yang haram atasnya
wanita tersebut selamanya, karena nasab maupun sebab yang dibolehkan.
20.
Jika musafir menjama' antara Shalat Maghrib dan Isya' jama'
taqdim, maka baginya telah masuk waktu Shalat Witir. Inilah pendapat yang kuat dari
para ulama, dan tidak perlu menunggu sampai datangnya waktu Shalat Isya.
21.
Jika seorang musafir menjadi makmum dan ia ragu apakah imam orang
yang mukim atau juga musafir, maka pada asalnya seorang makmum diharuskan untuk
menyempurnakan. Tetapi jika si makmum berniat jika imam menyempurnakan shalat,
maka aku juga akan menyempurnakan dan jika imam mengqashar aku juga akan
mengqashar, maka hal itu adalah dibolehkan. Ini adalah bab menggantungkan niat
dan bukan karena keraguan.
22.
Shalat Jum'at tidak diharuskan atas orang musafir yang sedang
tinggal di sebuah negeri selama ia masih berstatus musafir.
23.
Jika orang yang musafir
mendapatkan Shalat Jum'at, maka hal itu mencukupinya dari Shalat Dzuhur
(maksudnya ia tidak perlu Shalat Dzuhur lagi), baik ia mendapatkan dua raka'at
atau satu raka'at (bersama imam), lalu ia sempurnakan. Tetapi jika kurang dari
satu raka'at, maka pendapat yang benar, ia boleh mengqashar .
24.
Jika ia bepergian di Bulan Ramadhan, maka ia boleh berbuka dan
juga boleh berpuasa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perjalanan didefinisikan sebagai
"aktivitas seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah dengan
berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai sarana transportasi yang
mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun tujuan
tertentu"
Supaya umatnya selalu dalam ridha
Allah, Islam telah mengajarkan beberapa tuntunan adab dan etika
dalam melakukan perjalanan, yaitu akhlak Sebelum Perjalanan,Dalam Perjalanan, dan Ketika Sampai dan Kembali dari
Perjalanan.
B.
Saran
Sebelum melakukan perjalanan biasakan untuk memikirkan
tujuannya, apakah perjalanan itu bernilai ibadah dan bermanfaat atau hanya
sia-sia saja. Jika niat melakukan perjalanan tidak jelas, maka sebaiknya
ditangguhkan ataupun dibatalkan. Segala keperluan dan bekal selama perjalanan
harus disiapkan dengan lengkap, jangan biasakan membawa persiapan alakadarnya,
agar nanti tidak menemui kesulitan di perjalanan
0 comments :
Post a Comment