Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan
berbagai fenomena empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut
adalah untuk memperoleh suatu pemahaman yang benar atas fenomena tersebut.
Terdapat kecenderungan yang kuat sejak berjayanya kembali akal pemikiran
manusia adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebanaran,
segala sesuatu penjelasan yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti,
atau diobservasi adalah sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak patut
dipercayai.
Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah
dapat dijawab dengan ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern
manusia, sulit, atau bahkan tidak mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah
Tuhan, Hidup sesudah mati, dan hal-hal lain yang bersifat non – empiris. Oleh
karena itu bila manusia hanya mempercayai kebenaran ilmiah sebagai satu-satunya
kebenaran, maka dia telah mempersempit kehidupan dengan hanya mengikatkan diri
dengan dunia empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang apa itu kebenaran
baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.
Bila dilihat dari gradasi berfikir kebenaran dapat
dikelompokan kedalam empat gradasi berfikir yaitu :
1. kebenaran biasa. Yaitu kebenaran yang dasarnya adalah
common sense atau akal sehat. Kebenaran ini biasanya mengacu pada pengalaman
individual tidak tertata dan sporadis sehingga cenderung sangat subjektif
sesuai dengan variasi pengalaman yang dialaminya. Namun demikian seseorang bisa
menganggapnya sebagai kebenaran apabila telah dirasakan manfaat praktisnya bagi
kehidupan individu/orang tersebut.
2. Kebenaran Ilmu. Yaitu kebenaran yang sifatnya positif
karena mengacu pada fakta-fakta empiris, serta memungkinkan semua orang untuk
mengujinya dengan metode tertentu dengan hasil yang sama atau paling tidak
relatif sama.
3. Kebenaran Filsafat. Kebenaran model ini sifatnya
spekulatif, mengingat sulit/tidak mungkin dibuktikan secara empiris, namun bila
metode berfikirnya difahami maka seseorang akan mengakui kebenarannya. Satu hal
yang sulit adalah bagaimana setiap orang dapat mempercayainya, karena cara
berfikir dilingkungan filsafatpun sangat bervariasi.
4. kebenaran Agama. Yaitu kebenaran yang didasarkan kepada
informasi yang datangnya dari Tuhan melalui utusannya, kebenaran ini sifatnya
dogmatis, artinya ketika tidak ada kefahaman atas sesuatu hal yang berkaitan
dengan agama, maka orang tersebut tetap harus mempercayainya sebagai suatu
kebenaran.
Dari uraian di atas nampak bahwa maslah kebenaran tidaklah
sederhana, tingkatan-tingkatan/gradasi berfikir akan menentukan kebenaran apa
yang dimiliki atau diyakininya, demikian juga sifat kebenarannya juga berbeda.
Hal ini menunjukan bahwa bila seseorang berbicara mengenai sesuatu hal, dan
apakah hal itu benar atau tidak, maka pertama-tama perlu dianalisis tentang
tataran berfikirnya, sehingga tidak serta merta menyalahkan atas sesuatu
pernyataan, kecuali apabila pembicaraannya memang sudah mengacu pada tataran
berfikir tertentu.
Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang
srius, pembicaraan masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan/ilmu,
apakah pengetahuan yang dimiliki seseorang itu benar/valid atau tidak, untuk
itu para akhli mengemukakan berbagai teori kebenaran (Theory of Truth), yang
dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis teori kebenaran yaitu :
1. Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth).
Menurut teori ini kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat
kesesuaian antara suatu pernyataan dengan faktanya (a proposition - or meaning
- is true if there is a fact to which it correspond, if it expresses what is
the case). Menurut White Patrick “truth is that which conforms to fact, which
agrees with reality, which corresponds to the actual situation. Truth, then can
be defined as fidelity to objective reality”. Sementara itu menurut Rogers,
keadaan benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti
yang kita berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya. Contoh : kalau
seseorang menyatakan bahwa Kualalumpur adalah ibukota Malayasia, maka
pernyataan itu benar kalu dalam kenyataannya memang ibukota Malayasia itu
Kualalumpur.
2. Teori Konsistensi (The coherence theory of truth).
Menurut teori ini kebenaran adalah keajegan antara suatu pernyataan dengan
pernyataan lainnya yang sudah diakui kebenarannya, jadi suatu proposisi itu
benar jika sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi lainnya yang benar.
Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada hukum-hukum berfikir yang benar. Misalnya
Semua manusia pasti mati, Uhar adalah Manusia, maka Uhar pasti mati, kesimpulan
uhar pasti mati sangat tergantung pada kebenaran pernyataan pertama (semua
manusia pasti mati).
3. Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut
teori ini kebenaran adalah sesuatu yang dapat berlaku, atau dapat memberikan
kepuasan, dengan kata lain sesuatu pernyataan atau proposisi dikatakan benar
apabila dapat memberi manfaat praktis bagi kehidupan, sesuatu itu benar bila
berguna.
Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya menunjukan
titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi menggunakan kriteria
fakta, oleh karena itu teori ini bisa disebut teori kebenaran empiris, teori
koherensi menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria, sehingga bisa disebut sebagai
kebenaran rasional, sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan sebagai
kriteria, sehingga bisa disebut teori kebenaran praktis.
0 comments :
Post a Comment