DOWNLOAD RINGKASAN MATERI SEJARAH TENTANG PEMBELAJARAN SEJARAH DAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN

Written By putrajunio on Monday, June 16, 2014 | 4:29 AM

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pembelajaran sejarah sebenarnya memiliki makna yang strategis. Pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk membantu  mengembangkan potensi dan kepribadian  peserta didik melalui pesan-pesan sejarah  agar menjadi warga bangsa yang arif dan bermartabat. Sejarah dalam hal ini merupakan totalitas dari aktivitas manusia di masa lampau (Walsh, 1967), dan sifatnya dinamis. Maksudnya, bahwa masa lampau itu bukan sesuatu final,   tetapi bersifat terbuka dan terus berkesinambungan dengan masa kini dan yang akan datang. Karena itu sejarah dapat diartikan sebagai  ilmu yang meneliti dan mengkaji secara sistematis dari keseluruhan perkembangan masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau dengan segala aspek kejadiannya, untuk  kemudian dapat memberikan penilaian sebagai pedoman penentuan keadaan sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang.
       Lebih jauh pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan sebuah teater di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keteladanan yang sudah ada. Sejarah  akan mendidik manusia untuk memahami “sangkan paran “ dan keberadaan dirinya (Soedjatmoko, 1986) sehingga dapat memperkuat identitas diri dan identitas nasional, atau identitas sebagai suatu bangsa. Dalam kaitan ini maka pembelajaran sejarah  berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikap jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai suatu bangsa (Soedjatmoko, 1986). Taufik Abdullah (1974) menegaskan bahwa kesadaran sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman A.M., 2005). Dalam konteks ini pada diri manusia sebenarnya ada dua dimensi, yakni dimensi kekhalifahan dan dimensi kehambaan.
       Dengan pemahaman tersebut,  pembelajaran sejarah dituntut paling tidak dapat mengaktualisasikan dua hal yakni: (1) pendidikan dan pembelajaran intelektual, (2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society  yang demokratis dan bertanggungjawab kepada masa depan bangsa (Djoko Suryo, 1991). Hal yang pertama menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan faktual, namun dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis, mampu menarik kesimpulan,  memahami makna dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan.  Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana, penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran sejarah.  Sementara itu hal yang  kedua menunjuk pada pembelajaran sejarah yang berorientasi pada pendidikan kemanusiaan yang memperhatikan nilai-nilai luhur, norma-norma, dan aspek kemanusiaan lainnya.
       Dengan mengembangkan dua hal : pendidikan intelektual dan pendidikan moral atau  pendidikan kemanusiaan, maka arah pembelajaran sejarah diharapkan dapat mencapai tujuan yang menopang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sejarah akan dapat melandasi pendidikan kecerdasan intelektual, sekaligus ikut mendasari pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan emosional bahkan kecerdasan spiritual dalam rangka meningkatkan martabat manusia Indonesia. Dalam pelaksanaan di sekolah, tujuan  pembelajaran sejarah tersebut terkait dengan  adanya tujuan yang dikenal dengan istilah instructional effects dan tujuan yang “mengikutiatau tujuan lebih lanjut yang disebut nurturant effects (uraian selengkapnya lih.dalam Sardiman AM.,2005). Mencermati rumusan tersebut, nampak jelas bahwa di samping aspek kognitif, dimensi afektif menempati porsi yang cukup penting dalam tujuan pembelajaran sejarah. Namun dalam kenyataannya timbul kritik bahwa pendidikan kita cenderung intelektualistik dan lebih banyak bersifat kognitif.
        Begitu juga dalam pembelajaran sejarah masih cukup memprihatinkan. Pembelajaran sejarah lebih banyak hafalan dan bersifat kognitif.  Akibatnya pembelajaran sejarah tidak mampu menjangkau kepada aspek-aspek moralitas, menyangkut kecerdasan emosional dan spiritual. Pembelajaran sejarah kita masih jarang yang mampu memasuki wilayah ranah afektif, seperti sikap arif, menumbuhkan semangat kebangsaan, bangga terhadap bangsa dan negerinya, apalagi sampai memahami hakikat dirinya sebagai manifestasi kesadaran sejarah yang paling tinggi, sehingga memunculkan sikap dan tindakan sebagaimana dicontohkan oleh para pejuang dan pahlawan kita.

MEMBANGUN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN.
       Pembelajaran sejarah, akan mengembangkan aktivitas peserta didik untuk melakukan telaah berbagai peristiwa, untuk kemudian dipahami dan diinternalisasikan kepada dirinya sehingga melahirkan contoh  untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian peristiwa itu antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti  keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme dan patriotisme (lih. Kabul Budiyono, 2007). Beberapa nilai ini  dapat digali dan dikembangkan melalui pembelajaran sejarah yang bermakna . Untuk itu memang sangat dituntut adanya kreativitas dari para guru sejarah. Para guru sejarah harus menggali dan mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
       Di dalam pelajaran sejarah banyak pokok bahasan atau topik-topik yang mengandung nilai-nilai kesejarahan tersebut. Misalnya ketika sedang membahas periode  penjajahan, sangat tepat untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hak-hak individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Bagaimana perlawanan yang dilancarkan oleh Sultan Agung, oleh Pangeran Diponegara, oleh Cut Nyak Dhien. Tokoh-tokoh ini berjuang tanpa pamrih demi kebebasan tanah tumpah darahnya, demi membela rakyat yang menderita akibat kekejaman kaum penjajah. Harta, jiwa dan raga dipertaruhkan demi tegaknya harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa Berbagai bentuk perjuangan ini  secara dikotomis dapat  diaktualisasikan  nilai-nilai kemerdekaa.  “ Kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Satu kalimat dari Pembukaan UUD 1945 ini secara kreatif dapat dibahas satu atau dua kali pertemuan. Para peserta didik diajak untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan diri, nilai-nilai perikemanusiaan dan nilai keadilan untuk kemudian menjadi bagian dari sikap dan perilakunya. Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta didik agar meresapi bahwa tindakan kaum penjajah di bumi Nusantara sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadalilan sebagai hak-hak asasi manusia.  Hak-hak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh.  Padahal Tuhan menciptakan setiap bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama, kecuali karena kadar keimanannnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topikpada periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus diyakinkan kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku dholim karena menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat diaktualisasikan konsep jihad, “dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga adalah pahalanya.”
       Pembahasan topik-topik yang berkenaan dengan periode pergerakan nasional, guru perlu menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di antara pluralisme atau keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Tuhan telah menciptakan ini semua sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa. Tuhan telah mengajarkan kepada kita bahwa diciptakan-Nya manusia bersuku-suku dan golongan-golongan agar kita saling mengenal dan menjalin tali silaturakhim. Kalau sudah demikian maka dengan didorongkan oleh keinginan luhur yakni cita-cita ingin merdeka, maka terwujudlah persatuan dan kebersamaan. Usaha untuk mewujudkan persatuan ini berhasil dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa: Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi simbol kebersamaan dalam keanekaragaman dan sekaligus memberikan semangat untuk menggalang persatuan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sumpah Pemuda adalah ujud nyata dari silaturakhim nasional, “dan barang siapa yang mau menghidup-hidupkan silaturakhim maka akan dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya.” Inilah konsep nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai keagaaman yang oleh Toynbee dikatakan sebagai nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai universal agama-agama atas (higher religions) (lih. A. Syafii Maarif, 1989).  Nasionalisme yang tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral keagamaan, dapat terjebak pada dua kecenderungan. Pertama, nasionalisme yang sekuler, ekstrim berlebihan yang dapat melahirkan chauvinisme. Bentuk nasionalisme inilah yang dikritik oleh Toynbee, karena telah menyebabkan berkobarnya  PD II yang menghancukan peradaban manusia. Kedua, nasionalisme yang lemah sehingga menjadikan pendukungnya tidak memiliki kebanggaan nasional dan jati diri bangsa. Yang kedua ini sangat erat kaitannya dengan model pembelajaran yang hanya kognitif. Guru secara kreatif dapat membahas materi ini, misalnya dengan topik “Telaah Teks Sumpah Pemuda”
       Selanjutnya untuk membahas topik-topik yang terkait dengan materi ajar pada periode kemerdekaan, guru dapat mengaktualisasikan dan menanamkan nilai-nilai esensial yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan, kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab, patriotisme, masalah kepemimpinan dan keteladanan, yang telah dipertunjukkan oleh para pejuang dan pahlawan nasional kita. Agar lebih menumbuhkan kesadaran dan merangsang emosi peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat membelajarkan peserta didik untuk menelaah biografi tokoh pejuang atau pahlawan tertentu, misal Bung Karno, Bung Hatta, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX untuk mendapatkan nilai-nilai kejuangan, kepemimpinan dan keteladanan.  
       Pembelajaran topik-topik dan nilai-nilai pada periode kemerdekaan itu akan lebih “dahsyat” (sangat bermakna), apabila guru secara kreatif mau memberi sentuhan dan atau menggunakan perspektif spiritualisme atau nilai-nilai moral. (Uraian di atas sebenarnya sudah banyak disinggung). Contoh ilustrasi tentang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia sebagai ciptaan Tuhan. Karena itu wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan segala daya, dengan penuh pengorbanan baik jiwa, raga maupun harta. Dengan semboyan “merdeka atau mati” dan disertai dengan semangat jihad, bangsa Indonesia akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sebuah kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hal yang sangat asasi dan tahapan sangat penting bagi eksistensi suatu bangsa.

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Ditulis Oleh : putrajunio ~ The Secret Blog

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul DOWNLOAD RINGKASAN MATERI SEJARAH TENTANG PEMBELAJARAN SEJARAH DAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN yang ditulis oleh The Secret Blog yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 4:29 AM

0 comments :

Post a Comment

The Secret Blog © 2014. All Rights Reserved.
SEOCIPS Areasatu