Al-QUR’AN merupakan sumber penggalian dan pengembangan ajaran Islam. Untuk melakukan penggalian dan pengembangan dipersyaratkan suatu kualifikasi dan keyakinan kuat untuk menghasilkan pemahaman yang tepat mengenai perilaku kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Pengembangan ilmu ekonomi Islam yang bersumber dari al-Qur’an mempunyai peluang yang sama dengan pengembangan keilmuan lainnya. Sayang, ilmu ini dirasakan tertinggal, walaupun kebutuhan terhadap suatu sistem ekonomi baru yang lebih menjanjikan kesejahteraan dan kemaslahatan sudah sangat mendesak. Dengan demikian pengembangan ilmu ekonomi Islam menjadi sesuatu yang bersifat dharuriyah.
Sebagai
sebuah metodologi, tafsir ekonomi al-Qur’an memberi peluang bagi pengembangan
ilmu ekonomi Islam. Model ini mempunyai tahapan kerja sebagai berikut: pertama,
menginventarisasi ayat-ayat yang terkait dengan permasalahan ekonomi yang akan
dibahas, baik berdasar pada kata kunci maupun pada kandungan ayat secara umum
maupun khusus. Kedua, menafsirkan ayat-ayat tersebut baik berdasar urutan ayat
dalam mushaf atau berdasar urutan turunnya surat. Ketiga, model penafsiran yang
digunakan adalah maodlui dengan corak
adabi al-ijtima’i wal-iqtishadiyyah. Keempat, melakukan konstektualisasi
dalam realitas perekonomian.
Tulisan ini akan membahas
tentang aplikasi tafsir ekonomi dalam masalah produksi dan konsumsi. Pilihan
atas masalah ini didasarkan pada kebutuhan terhadap suatu pola produksi dan
konsumsi yang seimbang dalam tatanan perekonomian. Produksi dan
konsumsi merupakan masalah problematis tetapi strategis dalam menentukan
keseimbangan perekonomian. Jika pola konsumsi tinggi maka, otomatis membutuhkan
produktivitas yang tinggi pula. Sebaliknya bila pola konsumsi rendah
mengakibatkan lemahnya produksi dan distribusi, bahkan menurunkan kinerja dan
roda perekonomian. Namun tingginya pola konsumsi dan produksi dapat menyebabkan
ketidakseimbangan pasar, menimbulkan penyakit-penyakit ekonomi seperti inflasi,
instabilitas harga di pasaran, penimbunan bahan kebutuhkan pokok dan lain-lain.
Secara bertahap akan dibahas produksi dan kemudian konsumsi. Tahapan pembahasan
ini tidak dimaksudkan sebagai urutan pola baku dalam perekonomian, karena pada
dasarnya dalam ekonomi Islam, jumlah produksi tidak ditentukan semata-mata oleh
ukuran kebutuhan pola konsumsi masyarakat, melainkan didasarkan pada kebutuhan
terhadap kemaslahatan masyarakat.
Produksi
Dalam ekonomi Islam, produksi mempunyai motif kemaslatan,
kebutuhan dan kewajiban. Demikian pula, konsumsi. Perilaku produksi merupakan
usaha seseorang atau kelompok untuk melepaskan dirinya dari kefakiran. Menurut Yusuf Qardhawi
(1995), secara eksternal perilaku produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
setiap individu sehingga dapat membangun kemandirian ummat. Sedangkan motif
perilakunya adalah keutamaan mencari
nafkah, menjaga semua sumber daya (flora-fauna dan alam sekitar), dilakukan
secara profesional (amanah & itqan) dan berusaha pada sesuatu yang halal.
Karena itu dalam sebuah perusahaan misalnya, menurut M.M. Metwally asumsi-asumsi produksi, harus dilakukan untuk barang halal dengan proses
produksi dan pasca produksi yang tidak menimbulkan ke-madharatan. Semua
orang diberikan kebebasan untuk melakukan usaha produksi.
Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic
considerations) itulah, menurut
Muhammad Abdul Mannan,
pertimbangan perilaku produksi tidak semata-mata didasarkan pada permintaan
pasar (given demand conditions). Kurva permintaan pasar tidak dapat
memberikan data sebagai landasan bagi suatu perusahaan dalam mengambil keputusan
tentang kuantitas produksi. Sebaliknya dalam sistem konvensional, perusahaan
diberikan kebebasan untuk berproduksi, namun cenderung terkonsentrasi pada output
yang menjadi permintaan pasar (effective demand), sehingga dapat
menjadikan kebutuhan riil masyarakat terabaikan.
Dari
sudut pandang fungsional, produksi atau proses pabrikasi (manufacturing)
merupakan suatu aktivitas fungsional yang dilakukan oleh setiap perusahaan
untuk menciptakan suatu barang atau jasa sehingga dapat mencapai nilai tambah (value
added). Dari fungsinya demikian, produksi meliputi aktivitas produksi
sebagai berikut; apa yang diproduksi, berapa kuantitas produksi, kapan
produksi dilakukan, mengapa suatu produk
diproduksi, bagaimana proses produksi dilakukan
dan siapa yang memproduksi?
Berikut
akan dijelaskan sekilas mengenai ketujuh aktivitas produksi.
1.
Apa yang diproduksi
Terdapat dua
pertimbangan yang mendasari pilihan jenis dan macam suatu produk yang akan
diproduksi; ada kebutuhan yang harus dipenuhi masyarakat(primer, sekunder,
tertier) dan ada manfaat positif bagi perusahan dan masyarakat (harus memenuhi
kategori etis dan ekonomi)
2.
Berapa kuantitas yang
diproduksi; bergantung kepada motif dan resiko
Jumlah pruduksi
dipengaruhi dua faktor; intern dan
ekstern; faktor intern meliputi; sarana dan prasarana yang dimiliki perusahan,
faktor modal, faktor sdm, faktor sumber daya lainnya. Adapun faktor ekstern
meliputi adanya jumlah kebutuhan masyarakat, kebutuhan ekonomi, market share
yang dimasuki dan dikuasai, pembatasan hukum dan regulasi.
3.
Kapan produksi dilakukan
Penetapan waktu produksi, apakah akan mengatasi kebutuhan
eksternal atau menunggu tingkat kesiapan
perusahaan.
4.
Mengapa suatu produk
diproduksi
a.alasan ekonomi
b. alasan sosial dan
kemanusiaan
c.
alasan politik
5.
Dimana produksi itu
dilakukan
a.kemudahan memperoleh suplier bahan dan alat-alat produksi
b. murahnya sumber-sumber
ekonomi
c.
akses pasar yang efektif
dan efisien
d. biaya-biaya lainnya yang
efisien
6.
Bagaimana proses
produksi dilakukan: input- proses – out
put - out come
7.
Siapa yang memproduksi;
negara, kelompok masyarakat, indovidu
Dengan demikian masalah barang apa yang harus diproduksi
(what), berapa jumlahnya (how much), bagaimana memproduksi (how),
untuk siapa produksi tersebut (for whom), yang merupakan pertanyaan umum
dalam teori produksi tentu saja merujuk pada motifasi-motifasi Islam dalam
produksi.
Bagaimanakah,
al-Qur’an memberikan landasan bagi aktivitas produksi? Secara spesifik di
antara ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan sumber nilai dan pesan mengenai
tema ini adalah Qs al-Baqarah(2): 22,
an-Nahl(16): 5-9,10-11, 14,18, 65,66,67,68, 69,70, 80,81 al-Maidah(5): 62-64.
Dari urutan surat-suratnya, dalam mushaf al-Qur’an ayat-ayat di atas terdiri
atas; al-Baqarah(2): 22, QS
al-Maidah(5): 62-64, an-Nahl(16): 5-9,10-11, 14,18, 65,66,67,68, 69,70, 80,81.
Adapun
dari tipologi surat Makkiyah dan Madaniyah; surat
an-Nahl tergolong surat
Makkiyyah yaitu surat
al-Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi Muhammad melakukan Hijrah ke Madinah,
dan surat al-Baqarah
dan termasuk golongan surat
Madaniyyah. Dari pengelompokan itu, maka kita dapat memulai pembahasan dari surat an-Nahl dan
kemudian membahas ayat pada surat
Madaniyah yaitu surat al-Baqarah(2): 22, dan al-Maidah (5):
62-64
Qs an-Nahl(16): 5-9,
5. Dan dia Telah menciptakan binatang ternak
untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat,
dan sebahagiannya kamu makan.
6. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah
padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
melepaskannya ke tempat penggembalaan.
7. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri
yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran
(yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang,
8. Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bigal dan
keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
9. Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang
lurus, dan di antara jalan-jalan ada yang bengkok. dan Jikalau dia menghendaki,
tentulah dia memimpin kamu semuanya (kepada jalan yang benar).
an-Nahl(16):10-11,
10. Dia-lah, yang Telah menurunkan air hujan dari
langit untuk kamu, sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan)
tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu.
11. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan
itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang memikirkan.
an-Nahl(16):14,
14. Dan Dia-lah, Allah yang
menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang
segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
an-Nahl(16):65- 70,
65. Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan)
dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi
orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).
66. Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu
benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa
yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah,
yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
67. Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat
minuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
68. Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah:
"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di
tempat-tempat yang dibikin manusia",
69. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)
buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari
perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di
dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
memikirkan.
70. Allah menciptakan kamu, Kemudian mewafatkan
kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah
(pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
80. Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu
sebagai tempat tinggal dan dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah)
dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu
berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu
onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai)
sampai waktu (tertentu).
81. Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung
dari apa yang Telah dia ciptakan, dan dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal
di gunung-gunung, dan dia jadikan bagimu Pakaian yang memeliharamu dari panas
dan Pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah
menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).
62. Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka
(orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram.
Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka Telah kerjakan itu.
63. Mengapa orang-orang alim mereka,
pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan
memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang Telah mereka kerjakan itu.
64. Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan
Allah terbelenggu", Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan
merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang Telah mereka katakan itu. (Tidak
demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; dia menafkahkan sebagaimana
dia kehendaki. dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di
antara mereka. dan kami Telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara
mereka sampai hari kiamat. setiap mereka menyalakan api peperangan Allah
memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai
orang-orang yang membuat kerusakan.
Dari paparan terjemahan dalam kedua surat di atas, dapat
diambil pelajaran bahwa setelah kita sebagai pelaku ekonomi mengoptimalkan
seluruh sumber daya yang ada di sekitar kita (dalam ayat-ayat diatas; binatang
ternak, pegunungan; tanah perkebunan, lautan dengan kekayaannya, ingat lagi
pandangan al-Qur’an tentang harta benda yang disebut sebagai Fadlum
minallah) sebagai media untuk kehidupan di dunia ini, lalu kita diarahkan
untuk melakukan kebaikan-kebaikan kepada
saudara kita, kaum miskin, kaum kerabat dengan cara yang baik tanpa kikir dan
boros. Pada surat al-Isra(17):
30 Allah menegaskan; Dia lah yang menjamin atau telah menyediakan rezeki untuk
manusia. Di sinilah manusia tinggal berusaha secara optimal sebagai media untuk
meraih rezeki itu.
Sifat
ekonom muslim dengan demikian dalam perilaku produksi selayaknya mengikuti
gambaran pada surat
an-Nahl. Pada ayat ke lima
di atas, yang mengandung makna bahwa kegiatan produksi dilakukan secara
berkesinambungan tanpa melakukan kerusakan. Hal ini terlihat dari penggunaan
fi’il mudhari’. Produsen muslim sama sekali sebaiknya tidak tergoda oleh
kebiasaan dan perilaku ekonom-ekonom yang bersifat seperti digambarkan pada surat al-Maidah di atas
yaitu menjalankan dosa, memakan harta terlarang, menyebarkan permusuhan,
berlawanan dengan sunnatullah, dan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Walau
bagaimanapun, secanggih alat untuk menghitung nikmat Allah pasti tidak akan
menghitungnya. Dengan demikian mengambil pelajaran dan berguru kepada alam
merupakan bagian dari aplikasi syukur
atas nikmat Allah yang tiada pernak terhitung itu;
18.
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dengan
demikian, menurut Muhammad Abdul Mannan,
berdasarkan pertimbangan kemashlahatan (altruistic considerations)
perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi permintaan pasar (given
demand conditions). Karena
kurva permintaan pasar tidak cukup memberikan data untuk sebuah perusahaan
mengambil keputusan. Dalam system konvensional, perusahaan diberikan kebebasan
untuk berproduksi, namun cenderung lebih terkonsentrasi pada output yang memang
menjadi permintaan pasar (effective demand), dimana kebutuhan riil dari
masyarakat tidak dapat begitu saja mempengaruhi prioritas produksi sebuah
perusahaan.
Memang diakui
pula bahwa dalam Islam orientasi keuntungan menjadi salah satu tujuan dari
aktifitas produksi, namun rambu-rambu syariah membuat corak prilaku produksi
tidak seperti yang dibangun system konvensional. Perilaku produksi yang ada pada
konvensional terfokus pada maksimalisasi keuntungan (profit oriented).
Boleh saja pada suatu kondisi (pada satu pilihan output dengan konsekwensi
harga tertentu) oleh konvensional dinilai tidak optimal, tapi berdasarkan nilai
kemashlahatan baik bagi perusahaan maupun lingkungannya (pertimbangan kebutuhan
masyarakat, kemandirian negara dll), hal ini dapat di katakan optimal.
Menurut Mannan,
keseimbangan output sebuah perusahaan hendaknya lebih luas, sebagai perwujudan
perhatian perusahaan terhadap kondisi pasar. Pendapat ini didukung oleh M.M.
Metwally, bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh
variable tingkat keuntungan (level of profits) tapi juga oleh variable
pengeluaran yang bersifat charity atau good deeds. Demikian pula menurut Ghazali bahwa dalam
perilaku produksi dan konsumsi bertujuan mencapai posisi muzakki dengan
berusaha mendapatkan harta sebanyak yang kita mampu, namun tetap
membelanjakannya di jalan Allah SWT. Ini dilakukan dengan semangat hidup hemat dan
tidak bermewah-mewah. Dengan kata lain perilaku produksi dan konsumsi adalah
perilaku yang bertujuan menjauhi posisi fakir, sesuai dengan peringatan
Rasulullah SAW bahwa kefakiran mendekatkan manusia pada kekufuran.
Konsumsi
Terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam
yang diisyaratkan dalam al Qur’an:
1.
Hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from
wasteful and luxurius living), yang bermakna bahwa, tindakan ekonomi
diperuntukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan hidup(needs) bukan pemuasan
keinginan (wants).
2. Implementasi zakat (implementation
of zakat) dan mekanismenya pada tataran negara merupakan obligatory
zakat system bukan voluntary zakat system. Selain zakat terdapat
pula instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak,
shadaqah, wakaf, dan hadiah.
3. Penghapusan Riba (prohibition
of riba); menjadikan system bagi hasil (profit-loss sharing) dengan
instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (credit
system) termasuk bunga (interest rate).
4. Menjalankan
usaha-usaha yang halal (permissible conduct), jauh dari maisir dan
gharar; meliputi bahan baku,
proses produksi, manajemen, out put produksi hingga proses distribusi dan
konsumsi harus dalam kerangka halal.
Dari
empat prinsip demikian, terlihat model perilaku muslim dalam menyikapi harta.
Harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk menumpuk pahala demi
tercapainya falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Harta merupakan pokok
kehidupan (an-Nisa(4) :5) yang merupakan karunia Allah
(an-Nisa(4) :32. Islam memandang segala yang ada di di atas bumi dan
seisinya adalah milik Allah SWT, sehingga apa yang dimiliki manusia hanyalah
amanah. Dengan nilai
amanah itulah manusia dituntut untuk menyikapi harta benda untuk mendapatkannya
dengan cara yang benar, proses yang benar dan pengelolaan dan pengembangan yang
benar pula.
Sebaliknya dalam
perspektif konvensional, harta merupakan asset yang menjadi hak pribadi.
Sepanjang kepemilikan harta tidak melanggar hukum atau undang-undang, maka
harta menjadi hak penuh si pemiliknya. Dengan demikian perbedaan Islam dan
konvensional tentang harta, terletak pada perbedaan cara pandang. Islam cenderung melihat harta berdasarkan flow
concept sedangkan konvensional memandangnya berdasarkan stock concept.
Adiwarman membahas harta,
dimasukan dalam pembahasan uang dan kapital. Menurut beliau uang dalam Islam
adalah public goods yang bersifat flow concept sedangkan kapital
merupakan private goods yang bersifat stock concept. Sementara
itu menurut konvensional uang dan kapital merupakan private goods.
Namun pada tingkatan
praktis, prilaku ekonomi (economic behavior) sangat ditentukan oleh
tingkat keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang yang kemudian
membentuk kecenderungan prilaku konsumsi dan produksi di pasar. Dengan demikian
dapat disimpulkan tiga karakteristik perilaku ekonomi dengan menggunakan
tingkat keimanan sebagai asumsi.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat individualistis.
- Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan rasionalisme.
Demikian pula dalam
konsumsi, Islam memposisikan
sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju
falah (kebahagiaan dunia dan akherat). Motif berkonsumsi dalam Islam
pada dasarnya adalah mashlahah (public interest or general human good)
atas kebutuhan dan kewajiban.
Sementara itu
Yusuf Qardhawi
menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, di antaranya; konsumsi
atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak
bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Dengan
demikian aktifitas konsumsi merupakan salah satu aktifitas ekonomi manusia yang
bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka
mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akherat (falah),
baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya
maupun untuk amal shaleh bagi sesamanya. Sedangkan pada perspektif
konvensional, aktifitas konsumsi sangat erat kaitannya dengan maksimalisasi
kepuasan (utility). Sir John R. Hicks menjelaskan tentang
konsumsi dengan menggunakan parameter kepuasan melalui konsep kepuasan (utility)
yang tergambar dalam kurva indifference (tingkat kepuasan
yang sama). Hicks mengungkapkan bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan
hidupnya melalui aktifitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal
menggunakan tingkat pendapatannya (income sebagai budget constraint).
Dalam al-Qur’an
ajaran
tentang konsumsi dapat diambil dari kata kulu dan isyrabu
terdapat sebanyak 21 kali. Sedangkan
makan dan minumlah (kulu wasyrabu) sebanyak enam kali. Jumlah ayat
mengenai ajaran konsumsi, belum termasuk derivasi dari akar kata akala dan syaraba selain fi’il amar di atas sejumlah 27 kali.
Diantara ayat-ayat konsumsi dalam
al-Qur’an adalah Albaqarah(2): 168, 172, 187, al-Maidah(5): 4, 88, al-An’am(6) 118, 141, 142, al-A’raf(7):31,
160, 161, al-Anfal(8): 69, an Nahl (16): 114, al-Isra(17): 26-28, Toha(20): 54,
81, al-Hajj(22): 28, 36, al-Mukminun(23): 51, Saba(34): 15, at-Tur(52): 19,
al-Mulk (67): 15, al-Haqqah(69): 24, almursalat(77): 43, 46 dan lain-lain.
Dalam tulisan ini hanya akan
difokuskan pada ayat-ayat berikut:
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.
an
Nahl (16): 114
114. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki
yang Telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu
Hanya kepada-Nya saja menyembah.
Pada kedua ayat secara tegas, terdapat prinsip halal dan
baik, prinsip keiadaan mengikuti hawa nafsu, prinsip syukur dan prinsip tauhid.
Dengan prinsip-prinsip demikian, maka pola konsumsi seseorang dan juga masyarakat, diarahkan kepada kebutuhan
dan kewajiban berdasakan standar-standar prinsip di atas. Demikian pula, dalam
ayat-ayat berikut;
al-Isra(17):
26-28,
26.
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan
syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
28.
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu
yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas.
Al-A’raf,7 :31-32
31.
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
32.
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja)
di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi
orang-orang yang Mengetahui.
Pada kedua ayat di atas,
terdapat prinsip menjauhkan diri dari kekikiran baik pada diri sendiri maupun
terhadap orang lain. Demikian pula terdapat prinsip proporsionalitas dalam
melakukan aktivitas konsumsi. Dan
prinsip pertanggung jawaban dalam setiap aktivitas konsumsi. Hal ini
berdasar pada ayat al-Mulk(67): 15.
Bagaimanakah,
memproporsionalkan antara kebutuhan dan keinginan dalam aktivitas konsumsi?
Diakui bahwa aktifitas ekonomi berawal dari kebutuhan manusia untuk terus hidup
(survive) di dunia. Segala keperluan untuk bertahan untuk hidup akan
sekuat tenaga diusahakan sendiri, namun ketika keperluan hidup tidak dapat dipenuhi
sendiri menyebabkan adanya berbagai interaksi untuk proses pemenuhan keperluan
hidup manusia. Interaksi inilah yang sebenarnya merepresentasikan interaksi
permintaan dan penawaran, interaksi konsumsi dan produksi, sehingga memunculkan
pasar sebagai wadah interaksi ekonomi.
Pemenuhan keperluan hidup
manusia secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori
Maslow, keperluan hidup berawal dari pemenuhan keperluan yang bersifat dasar (basic
needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya
seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Sayang teori Maslow ini merujuk
pada pola pikir individualistic-materialistik.
Dalam Islam tahapan
pemenuhan keperluan hidup boleh jadi seperti yang Maslow gambarkan, namun pemuasan
keperluan hidup setelah tahapan pertama (kebutuhan dasar) akan dilakukan ketika
secara kolektif yaitu kebutuhan dasar masyarkat sudah pada posisi yang aman.
Ketika, masyarakat sudah terpenuhi kebutuhan dasarnya, maka tidak akan ada
implikasi negatif yang muncul. Dengan demikian diperlukan peran negara dalam
memastikan hal ini. Di akui ada beberapa mekanisme dalam system ekonomi Islam
yang tidak akan berjalan efektif jika tidak ada campur tangan negara.
Parameter kepuasan dalam
ekonomi Islam bukan hanya terbatas pada benda-benda konkrit (materi), tapi juga
tergantung pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal shaleh yang manusia
perbuat. Kepuasan dapat timbul dan dirasakan oleh seorang manusia muslim ketika
harapan mendapat kredit poin dari Allah SWT melalui amal shalehnya
semakin besar. Pandangan ini tersirat dari bahasan ekonomi yang dilakukan oleh
Hasan Al Banna.
Beliau mengungkapkan firman Allah yang mengatakan:
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin.” (QS Lukman(31): 20)
Apa yang diungkapkan
Hasan Al Banna, menegaskan bahwa ruang lingkup keilmuan ekonomi Islam lebih
luas dibandingkan dengan ekonomi konvensional. Ekonomi Islam bukan hanya
berbicara tentang pemuasan materi yang bersifat fisik, tapi juga berbicara
cukup luas tentang pemuasan materi yang bersifat abstrak, pemuasan yang lebih
berkaitan dengan posisi manusia sebagai hamba Allah SWT.
Dari pembahasan keperluan
hidup manusia, penting untuk di bahas perbedaan kebutuhan dan keinginan. Islam
memiliki nilai moral yang ketat dalam memasukkan “keinginan” (wants)
dalam motif aktifitas ekonomi. Mengapa? Dalam banyak ketentuan perilaku ekonomi
Islam, motif “kebutuhan” (needs) lebih mendominasi dan menjadi nafas
dalam roda perekonomian dan bukan
keinginan.
Kebutuhan (needs)
didefinisikan sebagai segala keperluan dasar manusia untuk kehidupannya.
Sementara keinginan (wants) didefinisikan sebagai desire (kemauan) manusia
atas segala hal. Ruang lingkup keinginan lebih luas dari kebutuhan. Contoh
sederhana menggambarkan perbedaan kedua kata ini dapat dilihat dalam perilaku
konsumsi pada air untuk menghilangkan dahaga. Kebutuhan seseorang untuk
menghilangkan dahaga mungkin cukup dengan segelas air putih, tapi seseorang
dengan kemampuan dan keinginannya dapat saja memenuhi kebutuhan itu dengan
segelas wishky, yang tentu lebih mahal dan lebih memuaskan keinginan.
Namun perlu diingat bahwa
konsep keperluan dasar dalam Islam sifatnya tidak statis, artinya keperluan
dasar pelaku ekonomi bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada
pada masyarakat. Pada tingkat ekonomi tertentu sebuah barang yang dulu
dikonsumsi akibat motifasi keinginan, pada tingkat ekonomi yang lebih baik
barang tersebut telah menjadi kebutuhan. Dengan demikian parameter yang
membedakan definisi kebutuhan dan keinginan
tidak bersifat statis, ia bergantung pada kondisi perekonomian serta
ukuran kemashlahatan. Dengan standar kamashlahatan, konsumsi barang tertentu
dapat saja dinilai kurang berkenan ketika sebagian besar ummat atau masyarakat
dalam keadaan susah.
Dengan demikian sangat
jelas terlihat bahwa perilaku ekonomi Islam tidak didominasi oleh nilai alamiah
yang dimiliki oleh setiap individu. Terdapat nilai diluar diri manusia yang
kemudian membentuk perilaku ekonomi. Nilai ini diyakini sebagai tuntunan utama
dalam hidup dan kehidupan manusia.
Penutup
Tulisan ini hanya baru
sampai pada tataran permukaan dari ancangan aplikasi tafsir ekonomi al-Qur’an
dan kontektuasliasinya dalam realitas perekonomian riel dan untuk mengatasi
seperti penyakit-penyakit ekonomi. Kerja sama, antar peminat bidang ekonomi
Islam dari berbagai kalangan dan latar belakang keilmuan, dalam kaitan ini
sangat diperlukan untuk mencapai ancangan tersebut. Wallauhu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Al
Banna, Hasan. Risalah Pergerakan
Ikhwanul Muslimin, Intermedia, Jakarta
1997
Baqi, Fu’ad Abdul.
Mu’jam al-Mufahrasy lialfadzi Qur’an
Chapra, Umar. Islam dan Pembangunan Ekonomi, pent.
Ikhwan Abidin Gema Insani Press 2000
Depag RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putera,
1989
Karim,
Adiwarman Azwar. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro, The
International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia),
2002
Khan, Muhammad Akram ‘The Role of Government in the
Economy,” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 2, 1997
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, pent.
M Mustangin, Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf1997
Mannan,
M.A. “The Behaviour of The Firm and Its Objective in an Islamic Framework”, Readings in
Microeconomics: An Islamic Perspektif, Longman Malaysia
Metwally,
M.M. “A Behavioural Model of An Islamic Firm,” Readings in Microeconomics: An Islamic
Perspektif, Longman Malaysia
1992
Muhammad dan Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis.
Salemba Diniyah, 2002
Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Pondok
Pesantren Krapyak 1983
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, pent.Zainal
Arifin Gema Insani Press, 1997
Qardhawi,Yusuf.
“Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,” Rabbani Press, Jakarta 1995.
Sammuelson, Paul A dan
William D Nordhaus, Ekonomi pent.A Jaka Wasana, Surabaya: Penerbit erlangga, 1991
Sukirno,
Sadono. Pengantar Teori Mikroekonomi,
Rajawali Press Jakarta,
2002.
0 comments :
Post a Comment