BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Berikut ini dijelaskan satu persatu secara singkat.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu Muhamad al.
Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah Ta’ala yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, ruhkhsah atau
azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).
Syari’ah
/ hukum islam pada saat ini sepertinya sudah dikesampingkan oleh sebagian umat
Islam.Padahal jika kita pahami tujuan dari syariah Islam tersebut sangatlah
baik.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
makalah ini, maka penyusun membuat suatu rumusan masalah, yaitu :
1.
Apa sebenarnya syariah
tersebut.
2.
Apa-apa saja pembagian hukum
Islam.
3.
Bagaimana sebenarnya prinsip
dan watak syariah Islam tersebut..
4.
Apa tujuan dari Syariah itu..
5.
Bagaimana penerapan syariah
Islam dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari..
1.3.Batasan Masalah
Hukum-hukum syariah yang selama ini sudah terkesampingkan
dalam masyarakat Islam di Indonesia.
1.4.Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk lebih
mengenal tentang permasalahan syariah. Baik itu dari segi pengertiannya,
pembahagian hokum Islam itu sendiri yang terbagi kepada hokum taklifi dan hokum
wadh’I, prinsip-prinsip dan watak syariah Islam yang diketahui sesuai dengan
fitrah manusia, lues dalam pelaksanaannya, tidak memberatkan manusia,dsb.
Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menerapkan hokum Islam tersebut.
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Hukum Syar’i / Hukum
Islam ( Syariah )
Kata Syara’
secara etimologi berarti jalan-jalan yang dapat ditempuh air, maksudnya adalah
jalan yang dilalui manusia untuk menuju Allah. Apabila kata hokum dirangkai
dengan kata syara’ yaitu Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan berdasarkan
ketentuan Allah SWT. Tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini
berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam ( Amir Syarifuddin
I, 1997 : 281 ). Istilah Syara’ juga sering disebut dengna hokum. Dua istilah
ini secara terminologi sama, bahkan istilah syara’ dalam pemakaiannya
dipersempit pada aspek-aspek hukum yang dipahami sekarang yaitu aturan-aturan
Allah berkenaan dengan kehidupan atau aktivitas manusia.
Kata huku dalam bahasa Arab حګم yang secara etimologi
berarti memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Pengertian kata hokum
memiliki rumusan yang luas. Meskipun demikian secara sederhana dapat dikatakan
bahwa hokum itu adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang
ditetapkan dan diakui oleh suatu Negara atatu kelompok masyarakat ( Amir
Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Terdapat perbedaan pendapat anatar ulama Ushul
Fiqh dan ulama fiqhdalam memberikan pengertian hokum syar’i karena berbedanya
sisi pandang mereka. Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu Muhamad al.
Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah Ta’ala yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, ruhkhsah atau
azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).
Ulama Fiqih berpendapat bahwa Hukum adalah
akibat yang ditimbulkan oleh kitab (tuntutan ) sayr’I berupa wujub, mandub, hurmah, karabah dan ibadah.
Perbuatan yang dituntut itu menurut mereka disebut wajib, sunah, haram, makruh
dan mubah ( Nasrun Haroen, 1995 : 210 ).
Jadi ulama ushul fiqh mengatakan bahwa
yang disebut hukum ini ada;ah dalil itu sendiri baik Al-Qur’an maupun sunnah
Nabi, tetapi ulama fiqh tidak membedakan antara dalil dengan akibat yang
ditimbulkan dalil itu. Karena itu keduanya mereka sebut denga ‘al-wajib.
2.2. Pembagian Hukum Islam
Berdasarkan defenisi di atas , ulama ushul
fiqh membagi hokum Islam tersebut kepada dua pembagian yaitu hokum al-taklifi dan wadh’i.
A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah
titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dinamakan hokum taklif karena
titah ini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud
dengan mukallaf dalam kajian hokum islam adalah setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak,
orang gila / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna mukallaf, maka
segala tindakan yang mereka lakukan tidak dapat dikenakan sangsi hokum. Ada dua bentuk tuntutan di
dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk
meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam dua
bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan tuntutan yang tidak mesti dan
pilihan yang terletak di antara mengerjakan dan meninggalkan.
Menurut
Al-Amidi ( 1983 : 91 ) hokum taklif itu
ada empat dengan tidak memasukkan al-ibadah
(pilihan) karena yang dimaksud dengan taklif
itu adalah beban kepada orang yang mukallaf
baik untuk mengerjakan atau meninggalkan, sedangkan menurut jumhur ulama
hokum taklif itu ada lima macam yang disebut
juga dengan hukum yang lima
sebagai berikut.
a. Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung
suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut
mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti
firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.
“ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Depag. R.I ,1984:123 ).
b. Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan
tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi
orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya,
tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak mendapat ancaman
dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai
berikut.
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah
kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).
c. Haram, yaitu tuntutan yang mengandung
larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya berarti
dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut mendapatkan
ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti dia
telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan ancaman dosa,
seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya sebagai berikut.
“ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu
bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya
perkataan yang mulia.” (Depag. R.I, 1984 : 427).
d. Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung
larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan larangan
berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran
pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka orang yang
meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut menyalahi yang melarang, dan
tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti sabda Nabi SAW. Berikut ini.
“Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya,
Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalak.”
(HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168).
e. Mubah, yaitu titah Allah SWT yang memberikan
titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan , dalam
hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila
seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak pula ancaman atas
perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu apabila dia
melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran seperti
firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Talak (yang dapat rujuk) dua kali.
Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).
Pengaruh
titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang diberi
pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.
B.
Hukum Wadh’i
Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut
ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun Haroen, 1995: 40),
sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimah dan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).
1. Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan
sebabbagi wajib dikerjakan suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S
17 :78 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dirikanlah shalat
sesudah matahari tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).
2. Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan
syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah tidak
menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga
berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).
Shalat tidak dapat
dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi seseorang yang dalam keadaan berwudhu tidak
otomatis harus mengerjakan shalat karena berwudhu itu merupakan salah satu
syarat sah nya shalat. Jadi suatu hokum taklifi
tidak dapat dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
syara’. Oleh sebab itu berwudhu (
suci ) merupakan syarat sahnya shalat.
3. Mani’
(penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada
hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang
terjemahannya sebagai berikut.
“ Apabila datang haid kamu tinggalkanlah
shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari
( Al-Asqalany, I tth :63).
Dari contoh-contoh di atas jelas
keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat erat.
4. Shah,
yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’. Maksudnya hokum itu
dikerjakan jika ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan tidak ada sebab
penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah
tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan tidak ada
penghalang (mani’) seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya adalah
sah.
5. Bathil, yaitu
terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat
hokum yang ditimbulkannya, seperti batalnya jual beli dengan memperjualbelikan
minuman keras, karena minuman keras itu tidak bernilai harta dalam ketentuan hukum
syara’.
Adapun mengenai rukhsah
dan ‘azimah, Syarifuddin
sependapat dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hokum wadh’i dalam
pelaksanaan hokum taklifi (Syarifuddin I, 1997: 28). ‘Azimah yaitu hokum asal atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan
dalili umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya,
seperti haramnya bangkai untuk umat Islam.
Rukhsah, yaitu
keringanan atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai
pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan
bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.
2.3. Prinsip dan Watak Syari’ah
Tujuan utama syari’ah mengajak manusia kepada kebaikan
dan melarang dari berbuat salah, mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Untuk itu dalam pelaksanaannya sayri’ah mempunyai lima prinsip umum yang dikemukakan oleh Supan
Kusumamiharja, (1978) antara lain sebagai berikut.
a. Sesuai dengan Fitrah
Manusia
Allah menegaskan tentang kesesuaian sayri’ah dengan
potensi manusia di antaranya dalam Q.S 30:30 dan Q.S 2 :185. Dua ayat tersebut
menjelaskan bahwa seluruh aturan yang ada dalam syari’ah tidak ada yang tidak
dapat dilakukan oleh manusia sesuai dengan situasi dan kondisinya
masing-masing. Bahkan Allah mengkehendaki kemudahan bagi manusia, bukan
kesukaran.
b. Luwes dalam
Pelaksanaannya
Allah menjelaskan tentang keluwesan syariah tersebut
dalam Q.S 2:173, bahwa hal-hal yang diharamkan dalam suatu keadaan dan kondisi
tertentu, dapat menjadi halal dalam keadaan dan kondisi lain, yaitu dalam
keadaan terpaksa. Contoh lain seperti yang dijelaskan dalam hadis Rasul riwayat
Bukhari, (Al-Asqalany, tth:99) bahwa bagi orang yang tidak mampu mengerjakan
shalat dalam keadaan berdiri, maka ia boleh melakukannya sambil duduk, dan
selanjutnya boleh sambil berbaring.
c. Tidak Memberatkan
Semua syariat Allah tidak ada yang berat, sehingga
manusia tidak mampu melaksanakannya. Contoh ibadah yang diwajibkan 5 kali dalam
24 jam, yang hanya membutuhkan waktu minimal kira-kira 5x7 menit = 35 menit,
zakat harta hanya berkisar 2,5 %, 5%, dan 10 %, ibadah haji cukup sekali seumur
hidup, begitu juga dengan benda yang diharamkan hanya sebagian kecil apabila
dibandingkan dengan yang dihalalkan.
d. Penetapan Hukum Secara
Bertahap
Allah mengharamkan suatu hal tidak secara langsung,
melainkan melalui tahapan. Contoh pengaharaman minuman keras, tidak langsung
sekaligus dilarang tetapi berangsur-angsur setahap demi setahap sampai akhirnya
diharamkan. Allah SWT menurunkan ayat larangan minuman keras dengan larangan
secara bertahap. Prosesnya diawali dengan turunnya Q.S 2:219 yang mengatakan bahwa
pada khamar dan judi terdapat dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. Setelah itu Allah
turunkan Q.S 4:43 berupa larangan mendekati shalat bagi orang-orang yang mabuk.
Kemudian Allah turunkan Q.S 5: 90 yang menyatakan secara
tegas tentang haramnya minuman keras dan ditegaskan oleh hadis Rasul walaupun
sedikit diminum maka statusnya sama, yaitu hukumnya haram.
e. Tujuan Syari’ah adalah
Keadilan
Pencapaian keadilan di dalam syariah secara eksplisit
tampak pada adanya penjelasan tentang pokok-pokok akhlak yang baik yang
terdapat dalam syariat tersebut. Allah menjelaskan hal itu di dalam Q.S 16:90.
Syari’ah Islam mempunyai tiga watak yang tidak
berubah-ubah yaitu berikut ini: (1) takammul
(lengkap), (2) wasathiyyah (pertengahan/moderat),
(3) harakah (dinamis). Watak takammul memperlihatkan bahwa syari’ah
itu dapat melayani golongan yang tetap pada apa yang sudah ada (konsisten), dan
dapat pula melayani golongan yang menginginkan pembaharuan (Dahlan II, ed.
1997:577).
Konsep wasathiyyah mengkehendaki keselarasan
dan keseimbangan atara segi kebendaan dan segi kejiwaan. Keduanya sama-sama
diperlihatkan tanpa mengabaikan salah satu dari padanya, sedangkan dari segi harakah (kedinamisan), syari’ah
mempunyai kemampuan untuk bergerak dan berkembang. Untuk mengiringi
perkembangan itu di dalam syari’ah ada konsep ijtihad.
2.4. Aplikasi Syariah
Aplikasi atau pelaksanaan hukum Islam sebagaimana yang
telah disebutkan di atas selain bertujuan menunjukkan kepatuhan kepada Allah
SWT dan mencari ridha-Nya juga untuk memberikan panduan/ bimbingan kepada
manusia dalam menempuh kehidupannya demi terwujdnya atau terciptanya keselamatan
dunia dan kebahagiaan akhirat (Q.S 51:56; Q.S 2:201). Berdasarkan tujuan
tersebut menurut Amir Syarifuddin I, (1997: 5), hokum Islam itu mengandung dua
bidang pokok, yaitu berikut ini.
1) Kajian
tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah dan harus diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama,
yang disebut fiqih.
2) Kajian
tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sistematis dalam menghasilkan
perangkat peraturan yang terinci itu disebut ushul fiqh.
Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua
bahasan yang terpisah, tetapi saling berkaitan. Pada topik ini yang menjadi
bahasan adalah hokum amaliyah (fiqih) yang pembahasannya dikembangkan dalam
Ilmu Syari’ah. Ilmu Syari’ah adalah ilmu yang mengkaji tentang hokum-hukum yang
berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara manusia
dengan sesame manusia dan makhluk lainnya. Aspek pembahasan hokum ini dibagi
menjadi sebagai berikut.
a. Ibadah dalam
Arti Khusus ( Ibadah Mahdhah )
Yaitu ibadah yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan agama Islam secara
rinci, seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Berikut ini adalah
penjelasan rinci tentang ibadah mahdhah tersebut.
1) Thaharah
Menurut bahasa thaharah berarti
bersih dari kotoran. Dan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat ulama,
Abdurrahman al-Jaziri penyusun kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah berpendapat
thaharah adalah suatu sifat maknawi yang ditentukan oleh Allah SWT sebagai
syarat syahnya shalat (Dahlan V, 1997:1747). Dasar hukumnya antara lain firman
Allah SWT dalam Q.S 2:222 yang terjemahannya sebagai berikut.
“…Sesungguhnya
Allah menyenangi orang-orang yang bertaubat, dan menyenangi orang-orang yang
suci (bersih).” (Depag. R.I, 1984:54).
Dalil lainnya terdapat antara lain
dalam Q.S 2:125, dan Q.S 74:1-5.
Thaharah dalam ajaran Islam merupakan
bagian dari pelaksanaan ibadah kep[a]da Allah. Setiap muslim diwajibkan shalat lima
waktu sehari semalam dan sebelum melaksanakannya disyaratkan bersuci terlebih
dahulu. Hal ini membuktikan bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan dan
mendorong umat Islam untuk membiasakan diri hidup bersih, indah, dan sehat.
Karena itu kehidupan umat Islam adalah kehidupan yang suci dan bersih.
Di samping sebagai suatu kewajiban,
thaharah juga melambangkan tuntutan Islam untuk memelihara kesucian diri dari
segala kotoran dan dosa. Allah yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh
orang-orang yang suci, suci fisik dari kotoran dan suci jiwa dari dosa. Jadi
thaharah berarti membersihkan diri lahir dan batin, jasmani dan rohani dari
hadas, najis, dan penyakit rohani seperti syirik, ria, sombong dan sifat-sifat
tercela lainnya.
Adapun alat untuk bersuci adalah air
untuk wudhu dan mandi dan tanah ataupun debu untuk tayamum. Bersuci dari hadas
dengan jalan wudhu dan mandi, dalam keadaan tertentu dapat diganti dengan
tayamum. Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat dengan cara
menghilangkan warna, bau, bentuk dan rasa najis tersebut. Bersuci dari penyakit
rohani dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT, dan meluruskan niat kembali
untuk menghilangkan penyakit rohani itu.
2) Shalat
Secara bahasa shalat berarti do’a
sebagaiman firman Allah SWT dalam Q.S 9:103 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dan berdoalah
untuk mereka, sesungguhnya do’a, kamu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka”.
(Depag, R.I, 1984:297).
Shalat menurut istilah berarti suatu
ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Dasar shalat sebagai salah satu rukun
Islam adalah firman Allah SWT dalam Q.S 2:34 yang terjemahannya sebagai
berikut.
“Dirikan shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”. (Depag, R.I,
1984:16).
Selanjutnya firman Allah SWT tentang
shalat antara lain ditemui dalam Q.S 2:238; Q.S 98:5; Q.S 4:103.
Perintah shalat dapat dikelompokkan
ke dalam perintah wajib dan perintah sunnah. Shalat fardhu terbagi dua yaitu
fardhu’ain dan fardhu kifayah. Adapun perintah yang bersifat fardhu’ain itu
adalah perintah kepada individu-individu dan tidak dapat ditumpangkan kepada
orang lain seperti shalat lima
waktu. Perintah yang bersifat fardhu kifayah yaitu kewjiban yang apabila sudah
dilaksanakan oleh sebahagian atau sekelompok muslim maka gugurlah kewajiban
muslim lainnyaseperti shalat jenazah. Ketentuan shalat ditetapkan oleh syari’at
Islam berdasarkan AL-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi SAW begitu juga pada
shalat jum’at dan shalat jenazah. Shalat fardhu’ain yang lain adalah shalat
jum’at bagi laki-laki. Shalat jum’at adalah shalat yang dilakukan pada waktu
zuhur secara berjama’ah dan diawali dengan dua khutbah. Kewajiban shalat jum’at
didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S 62:9 yang terjemahannya sebagai
berikut.
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila diseur untuk
menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui”. (Depag. R.I, 1984:933).
Shalat yang fardhu kifayah adalah
melaksanakan shalat jenazah. Shalat jenazah mempunyai persyaratan yang sama
dengan persyaratan shalat yang lain, seperti menutup aurat, suci badan dan
pakaian dari najis, dan menghadap kiblat, sedangkan rukun shalat jenazah
adalah; niat, takbir 4 kali dengan takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah sesudah
takbiratul ihram, membaca shalawat kepada Nabi sesudah takbir kedua, mendoakan
mayat sesudah takbir ketiga, doa sesudah takbir yang keempat, berdiri jika
kuasa dan salam.
Kewajiban shalat bagi setiap muslim
tidak pernah berhenti dalam keadaan apapun, sepanjang berakal sehat, yang
disebut dengan azimah, namun Islam memberikan keringanan yang diberikan kepada
orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan, berupa jamak dan qasar. Adapun
jamak adalah mengumpulkan dua shalat pada satu waktu, yaitu shalat zuhur dan
ashar dan shalat maghrib dan isya. Apabila shalat maghrib disebut jamak taqdim.
Apabila shalat zuhur dilakukan pada waktu ashar atau pada waktu maghrib disebut
jamak ta’khir.
Shalat qasar adalah meringkas shalat
yang empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu shalat zuhur, ashar, dan isya.
Biasanya shalat jamak dilakukan sekaligus dengan mengqasarnya, sehingga shalat
yang empat rakaat menjadi dua-dua rakaat.
Shalat yang tidak dapat dijamak
adalah shalat subuh, sedangkan shalat yang tidak dapat diqasarkan adalah shalat
maghrib dan shalat subuh. Adapun shalat sunah juga banyak yang harus dilakukan
oleh umat Islam. Dan shalat sunah nawafil
yaitu shalat sunah yang mempunyai waktu tersendiri seperti shalat aidaini (dua hari raya), shalat
tahiyatul masjid, shalat kusuf, shalat khusuf, shalat tahajud, shalat dhuha,
dan lain-lain. Shalat-shalat sunah tersebut merupakan ibadah khusus, yang
dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, membina pribadi dan menjaga diri
supaya tidak terjerumus kepada dosa serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
Shalat memiliki banyak hikmah.
Antara lain mendidikorang agar disiplin dengan waktu, karena ibadah shalat
harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Shalat juga mengandung makna
pembinaan pribadi, yaitu dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan kemungkaran.
Dengan melakukan shalat perbuatan dapat dikontrol dengan baik karena setiap
waktu shalat dia akan menghadap kepada Allah untuk memohon petunjuk dan meminta
ampunan. Pribadi yangterkontrol sedemikian rupa akan cenderung bertingkah laku
yang baikdan terhindar dari perbuatan dosa, sehingga setiap selesai shalat dia
akan kembali kepada rutinitasnya dengan jiwa yang bersih.
3) Puasa
Menurut bahasa puasa berarti menahan
sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah SWT dalam Q.S 19:26 yang
terjemahannya sebagai berikut.
“Sesungguhnya Aku
telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan
berbicara dengan seorang manusia pun hari ini”. (Depag. R.I, 1984:465).
Menurut
istilah puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkannya,
seperti makan, minum, jimak mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Dasar
hokum puasa ditemui dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dari Al-Qur’an dasar
hokum puasa adalah firman Allah dalam Q.S 2:183 yang terjemahannya sebagai
berikut.
“Hai orang-orang
yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”.
(Depag. R.I, 1984:44)
Puasa
terbagi empat, yaitu puasa wajib, sunat, haram, dan makruh. Puasa wajib antara
lain sebagai berikut ini.
Pertama, puasa
Ramadhan.
Perintah puasa ramadhan
terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S 2:183-185. Puasa Ramadhan mulai
diwajibkan pada tahun kedua hijriyah.
Kedua, puasa Qadha.
Puasa qadha yaitu
mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Dalilnya yaitu firman Allah SWT
dalam Q.S 2 :184.
Ketiga, puasa Nazar.
Puasa nazar yaitu puasa
yang dikerjakan karena nazar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalil
puasa nazar itu terdapat dalam firman Allah SWT Q.S 76:7.
Keempat, puasa Kifarat.
Puasa kifarat yaitu puasa
sebagai akibat dari pelanggaran-pelanggaran tertentu seperti: supmpah palsu
dengan melaksanakan puasa selama (3) hari. Dalilnya berdasarkan firman Allah
SWT dalam Q.S 5 :89, membunuh ornag tidak sengaja dengan puasa dua bulan
berturut-turut berdasarkan Q.S 4 :92, melakukan hubungan seks pada siang
Ramadhan, melakukan zihar yaitu mengharamkan istri dan menyamakan istri dengan
ibu berdasarkan Q.S 58:3-4.
Kelima, puasa Fidyah.
Puasa fisyah yaitu pengganti
dari kewajiban melaksanakan qurban karena pelanggaran peraturan dalam ibadah
haji, yaitu puasa 3 hari di kota
Mekah dan 7 hari lagi di negeri sendiri. Kewajiban puasa fidyah ini didasarkan
pada firman Allah SWT Q.S 2 : 196.
Adapun puasa sunat atau tathawwu’ antara lain berikut ini.
a) puasa senin dan kamis, b) puasa enam hari di bulan Syawal, c) puasa pada
tanggal 9 Zulhijjah, d) puasa pada hari Asyura, e) puasa pada tiap tanggal 13,
14 dan 15 bulan Qamariah. Puasa haram,
antara lain berikut ini. a) puasa terus-menerus (wishal), b) puasa pada
hari hari yang diharamkan yaitu hari tasyrik, (11, 12 dan 13 Zulhijjah) dan dua
hari raya ( 1 syawal dan 10 zulhijjah), c) puasa hari syak (30 sya’ban), d) puasa seorang perempuan yang sedang haid atau
nifas, dan e) puasa sunat seorang istri yang suaminya sedang berada di rumah
sedangkan ia tidak mengizinkannya. Puasa makruh antara lain berikut ini. a)
puasa sunat dengan susah payah ( karena sakit atau dalam perjalanan ), dan b)
puasa sunat pada hari Jum’at atau hari sabtu saja (kecuali kalau harijum’at
atau sabtu itu bertepatan dengan hari yang disunahkan puasa).
Kesempurnaan puasa bukan hanya menahan diri dari makan
dan minum, dan melakukan hubungan suami-istri pada siang Ramadhan saja, tetapi
mengandung arti menahan diri dari segala
perbuatan yang tidak sesuai dengan hikmah dan tujuan puasa. Hikmah melaksanakan
puasa antara lain adalah sebagai berikut ini.
(1) Disiplin rohaniah, merupakan pengekangan diri
dari perbuatan yang membatalkan puasa
(2) Pembentukan akhlakul karimah, dengan berpuasa iman dididik untuk berbuat baik
dan mulia
(3) Pengembangan nilai-nilai social
(4) Latihan rohani yang dimulai dengan
latihan-latihan secara fisik yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan
seks, dan lain-lain.
Puasa memiliki hikmah yang besar
bagi yang mengamalkannya. Karena, puasa adalah ibadah yang mengandung
niali-nilai pendidikan untuk menahan dan mengendalikan diri dari
keinginan-keinginan negatif atau buruk yang mendorong kepada kejahatan.
(4) Zakat
Zakat berarti suci, sedangkan
menurut syari’ah, zakat adalah memberikan harta tertentu yang diwjibkan Allah
mengeluarkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Pendapat ini
dikemukakan oleh Yusuf Qardawi (Dahlan VI, 1997:1985).
Dasar hokum mengeluarkan zakat ini
adalah firman Allah SWT dalam Q.S 9:103 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
(Depag. R.I, 1984:297).
Zakat merupakan pemberian khas
Islam, yang sudah diwajibkan Allah semenjak Nabi Ibrahim AS dan Nabi-nabi
sesudahnya (Luth, Ishaq, Ya’kub dan lain-lain), sebagaimana firman Allah SWT
dalam Q.S 21:73 dan Q.S 5 :12.
Kewajiban zakat ini dipertegas
dengan sabda Rasulullah (terjemahannya) berikut ini.
“…Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan zakat harta yang diambil dari orang-orang kaya dan
diserahkan kepada orang-orang miskin”. (H.R. Muttafaqun’alaih dan Lafaz
Bukhari) (Al-Shan’ani I, tth:120).
Secara garis besar zakat dibagi
kepada dua macam yaitu berikut ini.
1) Zakat Mal
(zakat harta)
Adapun jenis harta yang wajib
dizakatkan berdasarkan firman Allah SWT antara lain dalam Q.S 2 : 267.
(a) Ternak
(b) Emas
dan perak
(c) Barang
dagangan
(d) Hasil
pertanian
(e) Barang
tambang dan harta terpendam
(f) Zakat
hasil usaha dan profesi
Dengan ketentuan nisab berkisar dari
2.5 % sampai dengan 20 %.
2) Zakat Nafs
(zakat fitrah)
Selain dari kewajiban membayar zakat
harta, setiap muslim diwajibkan mambayar zakat fitrah sampai bulan Ramandhan
berakhir. Zakat fitrah mulai diwajibkan pada bulan Ramadhan tahun ke-2
Hijriyah, sekaligus pada tahun diwajibkan ibadah puasa. Kewajiban zakat fitrah
berlaku untuk seluruh umat Islam berdasarkan sabda Rasulullah (terjemahannya)
sebagai berikut.
“Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitrah satu sa’kurma atau satu sa’gandum bagi hamba sahaya
atau orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak kecil maupun
orang dewasa yang muslim. Perintah membayarnya sebelum shalat Id”. (H.R.
Mutafaq Alaihi) (Al-Shan’ani, II tth:137).
Mengenai orang-orang yang berhak
menerima zakat dijelaskan pada Q.S 9:60 yang dikenal dengan asnaf yang delapan.
“Sesungguhnya
zakat itu, hanyalah untuk orang-orang yang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Depag. R.I, 1984; 228).
Zakat adalah ibadah maliyah (berkaitan dengan harta) yang
memilki dampak sosial untuk memperkecil kesenjangan antara golongan kaya dan si
miskin. Menurut ajaran Islam, harta adalah milik Allah, orang yang mendapatkan
harta tidak sepenuhnya memiliki harta tersebut, ada hak-hak orang lain pada
harta yang dikuasainya, karena itu hak-hak tersebut harus diberikan setiap waktu
sesuai dengan ketentuan syari’at. Dengan demikian, jika zakat dilaksanakan
dengan baik, maka kemiskinan di kalangan umat Islam akan dapat dikurangi,
bahkan mungkin dihapuskan.
5) Haji dan Umrah
Menurut
bahasa kata hajj berarti bermaksud
mengunjungi sesuatu (al Qashdu lizziarah)
dan menurut syariat Islam berarti mengunjungi baitullah untuk menjalani ibadah (iqamatan linnusuki) (Muhammad Ali, 1980:341). Haji merupakan ritual
yang sudah dikenal sejak masa jahiliyah kemudian disempurnakan sesuai dengan
ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S 2: 196 yang terjemahannya
sebagai berikut.
Dan
sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah (Depag. R.I, 1984:47).
Ayat ini
mengindikasikan bahwa ibadah haji itu sudah dikenal sejak masa-masa sebelum
Islam. Ibadah haji yang disyariatkan dalam Islam mengacu pada ibadah haji yang
pernah dilakukan oleh Babi Ibrahim
AS (Q.S 16:120-123; Q.S
2:125-129).
Haji
sebagai salah satu rukun Islam, wajib dilakukan oleh orang-orang yang mampu
satu kali seumur hidup. Kewjiban ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S
3: 97 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah
yaitu (bagi) orang yang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitullah”. (Depag.
R.I, 1984: 92).
Alasan
lainnya adalah firman Allah SWT dalam Q.S 2:196-197, Q.S 22: 27-28, sedangkan
ibadah haji wajib bagi setiap muslim yang mampu satu kali seumur hidup
sebagaimana sabda Rasulullah SAW (terjemahannya):
“Haji satu kali, maka apabila lebih dari itu adalah sunat”. (HR.
Ahmad, Abu Daud, Nasa’I dan dishahihkan oleh Hakim (Said Sabiq Fiqh Sunnah V
(terj) 1987:40).
Pelaksanaan
ibadah haji dapat dilakukan dengan tiga cara yang berikut ini .
(a) Haji Tamattu’, yaitu melaksanakan umrah
terlebih dahulu, dan setelah tahallul umrah memotong seekor kambing di Mina,
seandainya tidak mampu diganti dengan puasa sepuluh hari, yang dilaksanakan 3
hari di tanah suci dan 7 hari di tanah airnya.
(b) Haji Ifrad, yaitu melaksanakan haji terlebih
dahulu. Setelah melakukan tawaf qudum (tawaf kedatangan di Mekah) dengan
berpakaian ihram dan tidak bertahallul langsung melaksanakan ibadah haji, umrah
dilaksanakan sesudah melaksanakan haji.
(c) Haji Qiran, yaitu ibadah haji dan umrah
sekaligus. Seperti halnya bagi yang melaksanakan haji tamattu’, maka haji qiran
perlu diwajibkan memotong kambing.
Ibadah
haji memiliki hikmah yang banyak. Di antara hikmah ibadah haji adalah mendidik
jiwa untuk mau berkorban, ikhlas, dan sabar karena dalam ibadah haji semua sifat-sifat
itu dituntut, dalam pelaksanaanya ibadah haji mempunyai ketentuan dan aturan
yang ketat karena aturan-aturan itu akan berpengaruh kepada sistem dalam
beribadah. Ibadah haji juga merupakan tempat pengembangan sosialisasi yang
dapat menimbulakn proses pendidikan dalam kehidupan bersama dengan persatuan
dan persaudaraan, sehingga hidup dapat lebih bermakna untuk mencapai kemuliaan
yang hakiki.
b. Ibadah dalam Arti yang Umum (‘Ibadah Ghairu Mahdhah)
adalah segala
aktivitas mukmin yang sesuai dengan keinginan Allah SWT dikerjakan dengan
ikhlas dan dalam rangka mencari ridha Allah SWT. Ibadah ghairu mahdhah ini
disebut juga dengan muamalah dalam arti luas.
Amir Syarifuddin
membagi hokum muamlah ini menjadi berikut ini.
(a)
Hukum muamalah dalam arti yang khusus
(b)
Hukum munakahat (perkawinan)
(c)
Hukum mawaris dan wasiat
(d)
Hukum jinayah (pidana)
(e)
Hukum murafa’at atau hokum
qadha disebut juga dengan hokum acara
(f)
Hukum tata Negara
(g)
Hukum internasional
(Amir Syarifuddin
I, 1997: 71-72)
Berikut ini dijelaskan satu persatu secara singkat.
1)
Muamalah
Hukum muamalah
dalam arti yang khusus adalah hukm-hukum perdata seperti jual beli, pinjam
meminjam, sewa menyewa dan transaksi serta lainnya, yang antara lain firman
Allah SWT dalam Q.S 2:275 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(Depag. R.I, 1984: 69).
2) Munakahat
Hukum munakahat
yaitu hokum yang mengatur mengenai perkawinan dan hal-hal yang berhubungan
dengannya seperti talak, rujuk, pemeliharaan anak dan lain-lain dengan dasar
firman Allah dalam Q.S 30:21 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan jadikan dia di antaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya yang
demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir”. (Depag. R.I,
1984:644).
3) Mawaris dan Wasiat
Hukum mawaris dan
wasiat yaitu hokum yang mengatur perpindahan dan pembagian harta karena adanya
kematian. Sumber-sumber hokum mawaris dalam quran antara lain firman Allah SWT
dalam Q.S 4:7 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapa
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada pula bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.” (Depag. R.I, 1984 :116).
Masalah waris ini juga
terdapat dalam Q.S 4 : 11, 12 dan 176.
4) Hukum Pidana (Jinayah)
Hukum jinayah adalah hokum yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lain dalam rangka pencegahan kejahatan seperti
pembunuhanm pencurian, dan perzinaan beserta sanksinya. Firman Allah SWT antara
lain dalam Q.S 17:33 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dan janganlah kamu membunuh yang diharamkan oleh Allah kecuali
dengan jalan kebenaran.” (Depag. R.I, 1984:429).
Firman Allah SWT lainnya antara lain di dalam
Q.S 4 :93 mengenai pembunuhan , Q.S
2:178 mengenai jenis-jenis hukuman, Q.S 5:38 mengenai pencurian, Q.S 5:33
mengenai perampokan, Q.S 5:90-91 mengenai meminum minuman keras dan Q.S 24:2
dan lainnya.
5) Hukum Murafa’at
Hokum murafa’at atau hokum acara adalah
hokum yang berkaitan dengan usaha penyelesaian akibat kejahatan di pengadilan
seperti kesaksian, gugatan dan pembuktian. Masalah kesaksian ini antara lain
dalam firman Allah dalam Q.S 2 :282 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dan tidaklah kamu menetapkan dua orang saksi dari kaum laki-laki”.
(Depag. R.I, 1984: 70).
6) Siyasah
Siyasah terambil
dari akar kata yaitu sasa-yasusu,
yang berarti mengemudikan, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya (Quraish
Shihab, 1999:416).
7) Hukum tata negara
Hukum tata Negara
adalah hukm yang mengatur kehidupan masyarakat dan bernegara. Firman Allah SWT antara
lain dalam Q.S 4 :34 dan Q.S 9:71.
Laki-laki adalah pelindung perempuan (Depag. R.I, 1984:123).
“Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan
melarang dari yang mungkar”. (Depag. R.I, 1984:291).
8) Hukum Internasional
Hokum
internasional adalah hokum yang mengatur hubungan warga Negara dengan Negara
lain seperti tawanan, perang, perjanjian, rampasan perang dan lainnya.
Firman Allah SWT
dalam Q.S 8:56-58 yang terjemahannya sebagai berikut.
“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari
mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan
mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan.
Maka cerai berailahorang-orang yang dibelakang mereka dengan (menumpas) mereka,
supaya mereka mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya)
pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada
mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berkhianat “. (Depag. R.I, 1984:270).
Dan firman Allah
SWT dalam Q.S 8:62-63 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya
cukuplah Allah (menjadi pelindung). Dialah yang memperkuat dengan
pertolongan-Nya dan dengan para mu’min, dan Yang mempersatukan hati mereka
(orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang
berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi
Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Depag. R.I, 1984:271).
0 comments :
Post a Comment