BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masa remaja dimulai
pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir pada saat ia mencapai
usia matang secara fisik dan psikis. Secara umum masa remaja dibagi menjadi dua
bagian yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir (Hurlock, 1980).
Selain itu masa
remaja itu sendiri merupakan periode perkembangan antara masa kanak–kanak dan
dewasa. Hal ini ditandai dengan pubertas dan timbulnya perubahan fisik, psikis
dan sosial yang dialami oleh remaja, sehingga dapat dimaklumi jika pada remaja
timbul tindakan–tindakan yang kurang pas seperti: ingin berbeda dengan tindakan
orang tua, mulai menyukai lawan jenis, merasa dirinya lebih dari yang lain. Adanya
kondisi seperti ini dapat membawa remaja pada keadaan emosi yang tidak stabil
karena belum tercapainya kematangan kepribadian dan pemahaman nilai sosial
remaja sebagai manusia yang sedang berkembang menuju tahap dewasa yang
mengalami perubahan dan pertumbuhan yang pesat. Perkembangan pada masa remaja
pada dasarnya meliputi aspek fisiologi, aspek psikologis dan aspek sosial (Walgito,
1988).
Perkembangan aspek
fisiologi ditandai dengan berfungsinya hormon dan perubahan suara. Perkembangan
psikologis meliputi keadaan emosi, kognisi dan pemahaman tentang diri pribadi
sosial meliputi pemahaman nilai sosial dan melakukan interaksi sosial dengan
teman sebaya (Santrock, 2002).
Tugas–tugas
perkembangan remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang
kekanak–kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa remaja. Tugas
perkembangan pada masa remaja menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak, hanya sedikit anak
laki-laki dan anak perempuan yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas- tugas
masa remaja awal, apalagi mereka yang terlambat untuk matang (Hurlock, 1980).
Adapun
tugas - tugas perkembangan remaja yaitu mencapai peran sosial pria dan wanita,
mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita, menerima keadaan fisiknya dan mengunakan tubuhnya secara
efektif, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa
lainnya, mempersiapkan karier ekonomi untuk masa yang akan datang,
mempersiapkan perkawinan dan keluarga, memperoleh perangkat nilai dan sistem
etis sebagai pegangan berperilaku dan mengembangkan ideologi (Hurlock, 1999).
Penyesuaian diri
adalah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar dengan
lingkungan sehingga individu merasa puas terhadap diri dan lingkungannya.
Penyesuaian diri itu dilakukan untuk melepaskan diri dari hambatan-hambatan dan
ketidakenakan yang ditimbulkannya sehingga akan mendapatkan suatu keseimbangan
psikis yang dalam hal ini tentu tidak menimbulkan konflik bagi dirinya sendiri
dan tidak melanggar norma-norma yang berlaku dimasyarakat (Willis, 198).
Penyesuaian diri
merupakan suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mengubah keadaan diri dan
keinginannya agar sesuai dengan keadaan dan keinginan lingkungan (Berungan,
1991).
Penyesuaian diri
adalah suatu faktor yang mencakup respon mental dan tingkah laku yaitu individu
berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustasi karena terhambatnya
kebutuhan didalam dirinya sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan antara
dorongan dari diri dan tuntutan dari luar dirinya (Irawan, 2000).
Berdasarkan
hasil wawancara dan observasi, penulis mendapatkan beberapa informasi bahwa
dampak perceraian terhadap perkembangan seorang anak, khususnya anak remaja
awal adalah ketika mereka bercerai,
orang tua akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka.
Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir
dan pertimbangan yang panjang, sehingga terdapat persiapan mental dan fisik
dari mereka.
Tidak
demikian halnya dengan anak yang sudah beranjak remaja, mereka tiba-tiba saja
harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa ada bayangan
bahwa hidup mereka akan berubah secara tiba-tiba. sehingga keadaan rumah
menjadi berubah. Hal yang mereka tahu sebelumnya mungkin hanyalah ibu dan ayah
sering bertengkar. Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orangtua
untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan, namun perceraian selalu menimbulkan akibat buruk
pada anak anak mereka, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif
terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan
pernikahan yang buruk. Biasanya dilihat saja perkembangan anak akibat
perceraian orangtuanya yaitu anak akan lebih menderita dan akan menimbulkan trauma, sehingga anak
juga akan bingung untuk memihak ayah atau ibunya. Setelah perceraian hal akan
membawa pengaruh langsung bagi anak–anak mereka terlihat pula dalam menyesuaikan
diri dengan situasi baru ini yang diperlihatkan dengan cara dan penyelesaian
yang berbeda. Peranan lingkungan keluarga sangat penting bagi seorang anak yang
menginjak remaja, terlebih lagi pada tahun–tahun pertama dalam kehidupannya
setelah orang tuanya bercerai.
Perceraian pasangan suami-istri seringkali berakhir
menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah
anak-anak. Peristiwa ini menimbulkan anak–anak tidak merasa
mendapatkan perlindungan dan kasih sayang dari orang tuanya. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai
hubungan baru dengan lawan jenis. Perceraian
adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup. Seringkali
perceraian diartikan sebagai kegagalan yang dialami suatu keluarga (Holmes dan
Rahe, 2005).
Anggapan mengenai
perceraian sama dengan suatu kegagalan yang biasa karena semata–mata
mendasarkan perkawinan pada cinta yang romantis, padahal pada semua sistem
perkawinan paling sedikit terdiri dari dua orang yang hidup dan tinggal bersama
dimana masing–masing memiliki keinginan, kebutuhan serta latar belakang sosial
yang berbeda satu sama lain. Akibatnya sistem ini biasanya memunculkan
ketegangan dan ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh semua anggota keluarga (Erna,
1999)
Perceraian dan perpisahan orangtua menjadi faktor yang
sangat berpengaruh bagi pembentukan perilaku dan kepribadian anak. Banyak studi
dilakukan untuk memahami akibat-akibat perceraian bagi anggota keluarga
khususnya seorang anak (Johnston, 1996; Hurlock, 1992)
Dalam kasus perceraian, tidak hanya orang tua yang
menanggung kepedihan, tapi yang lebih merasakan beratnya perceraian adalah
anak. Severe (2000) mengemukakan bahwa anak bukannya tidak tahu tapi ia tidak
mampu menjelaskan, mengapa ia tidak ingin ada orang tahu bahwa ia sedang pedih
hatinya, dia juga tidak ingin mengatakan apapun yang dapat memperburuk keadaan
di rumah. Sebenarnya anak dapat melihat ketegangan yang dialami orang tuanya. Tetapi
dia khawatir jika dia mengungkapkan emosinya, akan menambah kepedihan setiap
orang. Inilah alasan mengapa sebagian besar anak tidak pernah bicara dengan
orang tuanya tentang perasaannya mengenai perceraian. Perasaan tersembunyi ini
akan meningkatkan kecemasan dan memperlemah kemampuan anak untuk berprestasi di
sekolah. Selain itu, perasaan yang tertekan bisa menjadi bibit bagi
permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya nanti. Secara psikologis, anak
terikat pada kedua orang tuanya, jika orang tuanya bercerai, seperti separuh
kepribadiannya dirobek, hal ini akan berpengaruh terhadap rasa harga diri yang
buruk, timbul rasa tidak aman dan kemurungan yang luar biasa dan dalam kondisi
demikian maka sekolah bagi anak bukan merupakan sesuatu yang penting.
Menurut Handoko (2002) perceraian bagi anak adalah
"tanda kematian" keutuhan keluarganya, rasanya separuh
"diri" anak telah hilang, hidup tak akan sama lagi setelah orang tua
mereka bercerai dan mereka harus menerima kesedihan dan perasaan kehilangan
yang mendalam. Contohnya, anak harus memendam rasa rindu yang mendalam terhadap
ayah/ibunya yang tiba-tiba tidak tinggal bersamanya lagi. Perasaan kehilangan,
penolakan dan ditinggalkan akan merusak kemampuan anak berkonsentrasi di
sekolah. Perasaan-perasaan tersebut akan meningkat bila kedua orang tuanya
saling menyerang atau menghina. Bila salah satu orang tua mengatakan hal-hal
yang jelek mengenai pasangannya di depan anak mereka, anak akan cemas bahwa
ciri-ciri yang tidak menyenangkan itu akan melekat pada diri mereka. Mereka
akan berpikir, "Kalau ayah orang jahat, jangan-jangan nanti aku juga jadi
orang jahat. Kata orang aku sangat mirip ayah. "Perasaan penolakan dan
kehilangan akan sangat membekas, dia berkeyakinan, dirinya seorang anak yang
tidak punya nilai, hilangnya hubungan dengan salah satu orang tua berarti ia
tidak pantas mendapatkan waktu dan kasih sayang. Tiadanya harga diri itu akan
mengganggu kehidupannya. Ia takut menjalin persahabatan. Ia takut berusaha
keras di sekolah, bahkan ia juga takut untuk terlalu dekat dengan ibunya karena
kalau ayahnya saja tidak peduli, orang lain pasti akan begitu. Ada ketakutan
juga jangan-jangan orang tua yang sekarang bersamanya juga akan
meninggalkannya. Amarah dan agresi merupakan reaksi yang lazim dalam
perceraian, hal itu terjadi bila orang tuanya marah di depan anaknya.
Akibatnya, anak biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, misalnya
kepada rekan-rekan sebayanya dan adik-adiknya karena relatif lebih aman.
Bisa dilihat kembali pada awal tahun 1960an dan tahun
1970an rata–rata tingkat perceraian semakin tinggi secara dramastis dengan
adanya kasus yang menemukan bahwa anak–anak hasil perceraian mengalami
trauma, memperlihatkan gejala–gejala
depresi ringan dan anti sosial. Dampak ini terlihat hampir seluruh kehidupan
anak ketika orang tua mereka baru saja bercerai. Hal ini juga berdampak pada
masa muda mereka dimana remaja yang menjadi korban perceraian dari orang tua
mereka memiliki angka perceraian yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang
berasal dari keluarga yang tidak bercerai. Dalam penelitian terakhir hubungan
anak remaja yang orang tuanya bercerai adalah remaja yang menjadi korban
perceraian akan memiliki sikap pesimis mengenai kehidupan pernikahannya.
Penelitian tersebut menandai anak-anak hasil perceraian selalu memusatkan
opininya tentang pernikahan pada sesuatu yang lain (Franklin, dkk, 1990)
Remaja yang menjadi korban perceraian orang tuanya
akan kurang menpercayai pasangan mereka bila dibandingkan mereka yang berasal
dari keluarga yang utuh. Mereka menganggap hubungan mereka berpacaran terlalu
beresiko (Johnston dan Thomas, 1996)
Remaja pada pernikahan pertamanya akan mengalami
ketidakstabilan karena peneliti menemukan bahwa diantara mereka tidak begitu
bahagia dalam pernikahannya terlihat mereka lebih tegang dalam menjalin
hubungan dengan pasangannya. Mereka yang berasal dari keluarga tidak utuh
memiliki tingkat perceraian yang tinggi dan merasa kalau pernikahannya dalam
masalah (Weber, dkk, 1995)
Berdasarkan hasil survey nasional AS sebanyak 11 macam
dari tahun 1973 hingga 1985 diperoleh bermacam-macam argumen tentang dampak
perceraian yaitu dalam hal ini bentuk peran pasangan seperti pernikahan yang
buruk akan menghasilkan tipe anak yang buruk juga. Kurang mempunyai kontrol
sosial seperti kurangnya dukungan keluarga terhadap pernikahan hilangnya bentuk
peran pasangan, pendidikan yang rendah, keinginan besar untuk bercerai, mereka
lebih suka memilih bercerai untuk mengakhiri konflik, menikah pada usia muda biasanya menikah pada usia muda cenderung akan
lebih cepat bercerai (Glenn and Kramer, 1987)
B.
Perumusan masalah
Dengan adanya uraian yang penulis paparkan
pada latar belakang diatas menunjukkan apakah ada dampak perceraian orang tua
terhadap penyesuaian diri pada remaja awal?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah
untuk mengetahui dampak perceraian orang tua terhadap penyesuaian diri pada
remaja awal.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Secara Teoritis
Dengan
penelitian ini diharapkan dapat merupakan sumbangan pemikiran ilmiah yang dapat
menambah pengetahuan dalam bidang ilmu psikologi perkembangan yang berkaitan
dengan dampak perceraian orang tua terhadap penyesuaian diri pada remaja awal
2.
Manfaat Secara Praktis
a.
Remaja
Memberikan
gambaran secara khusus mengenai penyesuaian diri remaja yang dihadapkan dari
keluarga yang memiliki status perceraian, karena dapat menjadi acuan untuk
mengatasi masalah-masalah remaja yang menjadi korban perceraian orang tuanya
sendiri.
b. Orang
Tua
Bagi
orang tua hal ini merupakan salah satu cara untuk memberikan pengertian tentang
dampak perceraian didalam keluarga dan dampak bagi anak– anak mereka.
c. Masyarakat
Harapan peneliti dari hasil penelitian ini dapat menjadi
salah satu bahan pertimbangan bagi orang tua yang ingin bercerai dalam
mengambil keputusan dan pertimbangan untuk bercerai dan diharapkan dapat membantu
orang yang sudah bercerai untuk dapat meminimalkan efeknya terhadap anak-anak
mereka.
0 comments :
Post a Comment