BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penghargaan,
penghormatan, serta perlindungan hak asasi manusia (HAM) adalah hal amat
penting yang tidak mengenal ruang dan waktu. Sejak tonggak awal HAM melalui
Magna Charta tahun 1215, yang merupakan reaksi atas kesewenang-wenangan Raja
John dari Kerajaan Inggris, hingga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia.
Berbagai
bentuk peraturan yang bersifat universal telah dikeluarkan dalam rangka
mendukung upaya perlindungan HAM di dunia. Sebagian besar negara pun
mencantumkan permasalahan mengenai hak-hak dasar ke dalam konstitusinya
masing-masing, termasuk Indonesia dengan undang-undang dasarnya. Membicarakan
masalah perlindungan akan selalu terkait dengan penegakan hukum karena perlindungan
merupakan salah satu bagian dari tujuan penegakan hukum. Negara ini adalah
negara yang berdasar atas hukum, maka perlindungan HAM sudah barang tentu juga
merupakan tujuan penegakan hukum secara konsisten.
Salah satu
bidang HAM yang menjadi perhatian bersama baik di dunia internasional maupun di
Indonesia adalah hak anak. Masalah seputar kehidupan anak sudah selayaknya
menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan pemerintah. Saat ini, sangat banyak
kondisi ideal yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak Indonesia namun
tidak mampu diwujudkan oleh negara, dalam hal ini Pemerintah Republik
Indonesia. Kegagalan berbagai pranata sosial dalam menjalankan fungsinya ikut
menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Berbagai usaha dilakukan oleh
berbagai pihak demi melindungi anak, dan salah satu bentuk perlindungan itu
adalah pengangkatan anak, yang di satu sisi terus dicegah pelaksanaannya, namun
di sisi lain diharapkan dapat menjadi salah satu wujud dari usaha perlindungan
anak.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam
penulisan makalah ini, permasalahan-permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut.
a. Instrumen
hukum apa sajakah yang berkaitan dengan hak anak dan
perlindungan anak?
b.
Bagaimanakah pengaturan secara hukum mengenai pengangkatan
anak di Indonesia?
c.
Bagaimanakah pelaksanaan pengangkatan anak di Indonesia dan
sejauh apa kaitannya dengan usaha
perlindungan anak?
BAB II
PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN ANAK
2.1 Instrumen Hukum
mengenai Perlindungan Anak
2.1.1 Lahirnya Konvensi Hak Anak4
Gagasan mengenai hak anak pertama
kali muncul pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sebagai reaksi atas penderitaan
yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan
dan anak-anak, para aktivis perempuan melakukan protes dengan menggelar pawai.
Dalam pawai tersebut, mereka membawa poster-poster yang meminta perhatian publik
atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang.
Salah seorang di antara aktivis
tersebut, Eglantyne Jebb, kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan
tentang hak anak yang pada tahun 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund
International Union. Untuk pertama kalinya, pada tahun 1924, Deklarasi Hak Anak
diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Selanjutnya, deklarasi
ini juga dikenal dengan sebutan Deklarasi Jenewa.
Setelah berakhirnya Perang Dunia
II, tepatnya pada 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mengadopsi Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal
mengenai HAM (DUHAM). Peristiwa yang diperingati setiap tahun sebagai Hari HAM Sedunia
tersebut menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM. Beberapa hal yang
menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup pula dalam deklarasi ini.
Pada 1959, Majelis Umum PBB
kembali mengeluarkan Pernyataan mengenai Hak Anak sekaligus merupakan deklarasi
internasional kedua di bidang hak khusus bagi anak-anak. Selanjutnya, perhatian
dunia terhadap eksistensi bidang hak ini semakin berkembang. Tahun 1979,
bertepatan dengan saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional, pemerintah
Polandia mengajukan usul disusunnya
perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan
terhadap hak-hak anak dan bersifat mengikat secara yuridis. Inilah awal mula dibentuknya
Konvensi Hak Anak.
Tahun 1989, rancangan Konvensi
Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga, tanggal 20 November, naskah
akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB. Rancangan inilah
yang hingga saat ini dikenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA). Pada 2 September
1990, KHA mulai diberlakukan sebagai hukum internasional. Indonesia
meratifikasi KHA pada 25 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36
Tahun 1990 dan diberlakukan mulai 5 Oktober 1990.
2.1.2 Hukum Nasional mengenai Hak Anak dan Pengangkatan Anak
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak Pasal 2 ayat (3) dan (4) menyatakan bahwa anak
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap
lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan
dengan wajar. Selanjutnya, berkaitan dengan pengangkatan anak, Pasal 12 ayat
(1) dan (3) undang-undang yang sama menuliskan bahwa pengangkatan anak menurut adat
dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar
adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kedua pasal tersebut menunjukkan
bahwa undang-undang tersebut merupakan suatu ketentuan hukum yang menciptakan
perlindungan anak karena kebutuhan anak menjadi pokok perhatian dalam aturan
tersebut. Selama ini memang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik
mengatur mengenai pengangkatan anak, kecuali bagi Warga Negara Indonesia (WNI)
keturunan Cina, yaitu dengan Staatsblad 1917 Nomor 129.
Di samping Undang-Undang
Kesejahteraan Anak, peraturan lain yang mencantumkan ketentuan berkaitan dengan
pengangkatan anak di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan.
Pasal 5 (2) undang-undang
tersebut menyebutkan bahwa anak WNI yang belum berusia lima tahun diangkat secara
sah sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap
diakui sebagai WNI.
Mengingat belum terbentuknya
peraturan mengenai pengangkatan anak, maka sebagai pedoman digunakan antara
lain Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 yang kemudian
disempurnakan oleh SEMA Nomor 6 Tahun 1983. Salah satu isi dari SEMA Nomor 6
Tahun 1983 menentukan bahwa warga negara asing (WNA) yang akan mengadopsi anak WNI
harus sudah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia selama minimal tiga
tahun. Selain itu, calon orang tua angkat harus mendapat izin tertulis dari Menteri
Sosial. Pengangkatan anak harus dilakukan melalui yayasan sosial yang memiliki
izin dari Departemen Sosial untuk bergerak di bidang pengangkatan anak. Pengangkatan
anak WNI yang langsung dilakukan orang tua kandung WNI dengan calon orang tua WNA
tidak diperbolehkan. Seorang WNA yang belum atau tidak menikah tidak boleh
mengangkat anak WNI dan calon anak angkat WNI harus berusia di bawah lima
tahun.
Bagi Indonesia, pengangkatan anak
atau adopsi sebagai suatu lembaga hukum belum berada dalam keadaan yang
seragam, baik motivasi maupun caranya. Karena itu, masalah pengangkatan anak
atau adopsi ini masih menimbulkan masalah bagi masyarakat dan pemerintah.
Terutama dalam rangka usaha perlindungan anak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
2.2 Pengangkatan Anak
di Indonesia dan Kaitannya dengan Usaha Perlindungan Anak
Arif Gosita mendefinisikan
pengangkatan anak sebagai suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan.
Dalam rangka pelaksanaan
perlindungan anak, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu
diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Arif Gosita
menyebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunya dampak perlindungan anak
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Diutamakan pengangkatan anak
yatim piatu.
b. Anak yang cacat mental, fisik,
sosial.
c. Orang tua anak tersebut memang
sudah benar-benar tidak mampu
mengelola keluarganya.
d. Bersedia memupuk dan
memelihara ikatan keluarga antara anak
dan orang tua kandung sepanjang hayat.
e. Hal-hal lain yang tetap
mengembangkan manusia seutuhnya.
Berikutnya, Arif mengemukakan
faktor-faktor yang perlu mendapat
perhatian dalam pengangkatan anak sebagai berikut.
a. Subyek yang terlibat dalam
perbuatan mengangkat anak.
b. Alasan atau latar belakang
dilakukannya perbuatan tersebut, baik
dari pihak adoptan (yang mengadopsi) maupun
dari pihak orang tua anak.
c. Ketentuan hukum yang mengatur
pengangkatan anak.
d. Para pihak yang mendapat
keuntungan dan kerugian dalam pengangkatan anak.
Dalam pelaksanaan pengangkatan
anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah hal paling utama. Selanjutnya,
harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya
diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan bagi pihak-pihak lain
yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Dan yang paling akhir
mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat. Sepanjang proses tersebut, anak
benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa.
Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah
suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah
karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak.
Pada dasarnya, pengangkatan anak
tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan
pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat dipertanggungjawabkan,
bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak
yang bersangkutan. Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah pelaksanaan
pengangkatan anak adalah sebagai berikut.
a. Memberikan pembinaan mental
bagi para orang tua, khususnya menekankan pada pengertian tentang manusia dan
anak dengan tepat. Menegaskan untuk tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri
yang dilandaskan pada nilai-nilai sosial yang menyesatkan tentang kehidupan
keluarga.
b. Memberikan bantuan untuk
meningkatkan kemampuan dalam membangun keluarga sejahtera dengan berbagai cara
yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat.
c. Menciptakan iklim yang dapat
mencegah atau mengurangi pelaksanaan pengangkatan anak.
d. Meningkatkan rasa tanggung
jawab terhadap sesama manusia melalui pendidikan formal dan nonformal secara
merata untuk semua golongan masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan pembahasan
pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Instrumen hukum yang mengatur
mengenai hak-hak anak dan perlindungan anak di antaranya adalah:
a. Konvensi Hak Anak;
b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak;
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak;
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia; dan
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak
Pasal 12 ayat (1) dan (3)
menuliskan bahwa pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan
dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Pengangkatan anak untuk kepentingan
kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan
berdasarkan peraturan perundangundangan.
3. Pada dasarnya, pengangkatan
anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan
pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidak dapat
dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang
bermanfaat bagi anak yang bersangkutan. Namun demikian, dalam rangka
pelaksanaan perlindungan anak, proses tersebut dapat dilakukan. Motivasi
pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan
bahwa perbuatan tersebut dilakukan demi kepentingan anak.
Anda sedang membaca artikel berjudul
0 comments :
Post a Comment