Pendahuluan
Dalam era reformasi ini, Indonesia berkembang menjadi
suatu Negara yang menginginkan kehidupan demokratis dalam segala aspek
kehidupan, terutama dalam sisitem pemerintahannya. Kebebasan, keterbukaan,
keadilan menjadi kata keramat yang menjadi tuntutan setiap orang. Demokrasi
bukanlah suatu yang baru kita dengar, akan tetapi sudah sangat sering didengar
dan sudah sangat pintar untuk mengucapkannya. Demokrasi sangat indah, nyaman
dan menetramkan. Setiap orang sudah melakukan dan menerapkannya dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Namun masih sangat terbatas pada perilaku demo,
protes, mogok dan tuntutan keadilan, belum pada prinsip demokrasi itu sendiri.
Kalau
kita amati secara cermat, bahwa sebagian masyarakat baru dapat menuntut
keterbukaan, kebebasan atau keadilan, tetapi belum mampu melaksanakan demokrasi
yang benar, berbuat adil dalam kehidupan sehari-hari, atau terbuka seperti yang
kita tuntut dari orang lain. Hal inilah yang harus dijawab melalui kajian yang
analitik, pengamatan yang cermat, dan jujur secara ilmiah.
Untuk
membahas masalah tersebut, mari kita melihat dan mengkaji fenomena dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sebagai berikut:
- Tawuran antarwarga di beberapa daerah terjadi hanya karena masalah sepele, dan merasa paling benar bagi kelompoknya
- Main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, karena beranggapan sudah pasti salah hanya karena perasaan tidak suka, dengan menghiraukan asas praduga tidak bersalah
- Perbuatan sewenang-wenang dan memaksakan kehendak terhadap orang lain, karena mengganggap dirinya “paling” , paling benar, paling tahu, paling kuat, dan sebagainya
- Masih ada anggapan bahwa orang yang berada di luar kelompoknya adalah musuh
- Perbedaan pendapat dianggap konflik, sehingga akan melakukan apa saja demi golongannya
- Bertindak diluar aturan dan ketentuan yang berlaku, jika pendapat atau kemauannya tidak diterima dalam suatu masyarakat
- Tidak lagi menghiraukan etika bernegara dalam menyampaikan pendapat
- Banyaknya permainan uang dalam memperoleh dukungan untuk golongannya
- Anggota DPR (wakil rakyat) berkelahi
Selama
ini fenomena tersebut dianggap sebagai suatu tindakan yang demokratis, karena
menurut mereka demokrasi adalah bebas untuk melakukan apa saja, kita juga
sering mendengar pendapat seperti itu, tidak kurang dari mahasiswa, dan tokoh
politik mengatakan hal yang sama, benarkah demokrasi seperti itu?
Makalah
ini dimaksudkan untuk memberikan sedikit sumbangan pengetahuan dan pengalaman
kepada para guru, sehingga dapat membuka wawasan terhadap pendidikan demokrasi
kepada anak didik yang notabene punya pikiran, kemauan dan cita-cita serta
pengabdian pada masyarakat dalam arti luas. Dan juga semoga tulisan ini dapat
dimanfaatkan oleh institusi, perorangan, maupun masyarakat dalam memahami
demokrasi, sehingga tercipta kondisi yang sehat dalam bermasyarakat berdasarkan
Negara dan ideology bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Apa yang Dimaksud dengan
Demokrasi?
Demokrasi mempunyai paling tidak ada dua konteks, yaitu
pertama, dalam kehidupan bernegara, yang menyangkut sisitem pemerintahan, peran
lembaga, dan partai politik. Kedua, demokrasi sebagai perilaku dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam
kaitannya dengan kehidupan bernegara, demokrasi adalah:
- Abraham Lincoln, bahwa demokrasi adalah system pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Suwarma, 2001: 6.43)
- John Dewey, bahwa demokrasi adalah:
·
Pandangan hidup yang
dicerminkan dengan perlunya partisipasi dari setiap warga Negara yang sudah
dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur kehidupan bersama
·
Situasi keyakinan, prinsip
pertama dan paling utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara
sisitematis dalam bentuk aturan social politik
·
Suatu bentuk kehidupan
bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Zamroni,
2000:45)
- Meliputi authority, human right, personality, dan responsibility (Zamroni, 2000:31)
Dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat,
demokrasi menurut John Dewey adalah:
1. Bebas
untuk berinisiatif, berkreasi dan bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku
2. Mengahargai
dan mau mendengar pendapat orang lain
3. Mengakui
adanya perbedaan dalam berbagai hal
4. Sistem
hokum yang objektif dan mandiri
5. Struktur
social, politik dan ekonomi yang menjauhi monopoli dan memungkinkan terjadinya
mobilitas yang tinggi dan kesempatan yang adil bagi semua orang
6. Kebebasan
berpendapat agar ide-ide warga masyarakat dapat diserap oleh pemerintah
7. Kebebasan
menentukan pilihan pribadi (Zamroni, 2001: 31)
Peranan Pendidikan
Dalam pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di
Indonesia, peran pendidikan sangat besar, karena melalui pendidikan maka
pengetahuan dan pemahaman kesadaran demokrasi warga Negara dapat ditingkatkan.
Selama ini demokrasi berjalan sesuai dengan persepsi dan intepretasi
masing-masing. Oleh karena itu dalam perjalnannya demokrasi menyimpang dari
jalan atau jalur yang sebenarnya. Kebanyakan orang menyebut demokrasi
kebablasan. Kesalahan persepsi dan interpretasi inilah yang menjadi penyebab
munculnya fenomena seperti diuraikan sebelumnya.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kita tidak siap
untuk berdemokrasi, demokrasi belum sepenuhnya menjadi kesadaran dan mental
bangsa Indonesia. Perilaku politik sebagian anggota partai yang paling besar
dan paling demokratis sekalipun masih terlalu pekat dengan sikap tradisionalnya,
juga sikap masyarakat terhadap masalah kebebasan dan toleransi umat beragama
yang ternyata masih jauh panggang dari api demokrasi. Begitu pula halnya penggunaan kekerasan
politik di masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Untuk itu pendidikan politik
perlu diberikan sejak dini, khususnya dalam pembelajaran di sekolah.
Menurut Udin S. Winataputra, bahwa untuk memudahkan
menerapkan dan membentuk perilaku yang demokratis pendidikan yang paling dekat
adalah lingkungan formal, yaitu sekolah, baik taman kanak-kanak, sekolah dasar,
SLTP, SMU, maupun perguruan tinggi. Dengan menggunakan pendekatan cross
curriculum, melalui mata pelajaran pendidikan sosial, pendidikan bahasa,
pendidikan seni serta kegiatan co
curricular dan extra curricular. Alaternatif ini diperlukan karena secara
psikososial perkembangan anak usia dini secara kognitif berada dalam tahap pre
operational dan concrete operational menuju formal operational, dan secara
social moral berada dalam tahap pre conventional yang didominasi punishment dan
obedient orientation dan instrumental orientation menuju tahap conventional
morality yang secara koheren memerlukan lingkungan belajar yang otentuik dan
bermakna melalui proses pengalaman hidup yang menyenangkan melalui belajar
(Udin S. Winataputra, 2001:34).
Landasan Normatif
Bagian penjelasan umum tentang sisitemm pemerintahan
negara nomor I dan II, disebutkan negera Indonesia berdasarkan atas hokum ( Rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka ( Machtsstaat), dan
pemerintahan berdasarkan atas sisitem konstitusi (hokum dasar), tidak bersifat
absolutism 9 kekuasaan yang tidak terbatas). Sebenarnya berdasarkan bunyi
ketentuan ini tersirat bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas demokrasi
konstitusional. Dalam UU nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional
dirumuskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “……mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya….”.
Apabila
dirinci, maka manusia seutuhnya adalah manusia yang “……..beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan
kebangsaan…..” (pasal 4 UUSPN No 2/1989). Walaupun secara eksplisit istilah
demokrasi tidak disebut namun semua merupakan inti dari pendidikan demokrasi.
Dalam ketetapan MPR No IV/MPR/1999 tentang GBHN pada bab Arahan Kebijakan
bagian politik di tegaskan “….. (f)
meningkatkan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif kepada
masyarakat untuk mengembangkan budaya politik yang demokratis, menhhormati
keberagaman aspirasi, dan menjunjung tinggi supremasi hokum dan hak asasi
manusia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Dan pada bagian lain yaitu
(I)”…. Membenagun bangsa dan watak bangsa
menuju bangsa dan masyarakat Indonesia yang maju, bersatu, rukun, damai,
demokratis, dinamis, toleran, sejahtera, adil, dan makmur”.
Dengan
adanya landasan normative tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa pendidikan
demokrasi merupakan suatu hal yang paling prinsip, dan harus dilaksanakan melalui
proses pendidikan, baik melalui sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat.
Proses Pendidikan Demokrasi
Dalam Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN)
Supaya tercipta warga Negara yang cerdas,
bertanggungjawab, dan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, maka perlu diupayakan suatu strategi dan model pembelajaran yang
relevan dengan tingkat dan perkembangan peserta didik, dalam hal ini adalah siswa.
Menururt Velduis bahwa dalam proses pendidikan Kewarganegaraan (PKN), kita
harus membedakan antara aspek-aspek: pengetahuan (knowledge), sikap dan pendapat (attitude
and opinions), keterampilan intelektual (intellectual skills), dan keterampilan partisipasi (participatory skills), serta bagaimana
aspek-aspek tersebut di sinergikan. (Udin S. Winaataputra, 2001: 25)
Sedangkan
menurut James Mac. Gregor bahwa pembelajaran demokrasi mempunyai banyak cara
dapat ditempuh dengan menghubungkan lingkungan di luar kelas. Sedangkan Couto
memberikan gambaran bahwa pembelajaran demokrasi memerlukan sejumlah proses
yang implisit terjadi dalam perab guru maupun siswa selama proses pembelajaran
di kelas yang demokratis dengan menghubungkan persoalan-persoalan dari
lingkungan sekitar. ( Sapriya, 2001: 25)
Dengan
mengacu pada pendapat tersebut, maka untuk menyelenggarakan program
pembelajaran demokrasi melalui pendidikan kewarganegaraan memerlukan
pertimbangan yang lebih seksama dengan memperhatikan variable yang terkait
sangat luas dan kompleks. Menurut Udin S. Winataputra, ada dua factor yang sangat
berpengaruh terhadap penyelenggaraan pembelaaran demokrasi, yaitu:
- Lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung, meliputi:
·
Jenis sekolah
·
Jenis pendidikan
·
Masyarakat tetangga
·
Kelompok kepentingan
·
Partai politik
·
Asosiasi atau perkumpulan
di masyarakat
- Karakteristik social, ekonomi dan budaya peserta didik, meliputi:
·
Karakteristik individu
seperti: usia, dan jenis kelamin
·
Karakteristik social
individu, status social ekonomi (pendapatan, pekerjaan), tempat tinggal
(perkotaan/pedesaan)
·
Karakteristik budaya:
tingkat pendidikan, nasionalitas, sejarah, agama, etnis.(Sapriya, 2001:29)
Namun
demikian, sebelum membahas lebih jauh tentang pembelajaran PKN, untuk itu perlu
pula mengenali materi pembelajrannya. Materi PKn dengan paradigm baru
dikembangkan dalam bentuk standar nasional PKN yang pelaksanaannya berprinsip
pada implementasi kurikulum desentralisasi. Ada empat isi pokok pendidikan
kewarganegaraan, yaitu:
- Kemampuan dasar dan kemampuan kewarganegaraan sebagai sasaran pembentukan
- Standar materi kewarganegaraan sebagai muatan kurikulum dan pembelajaran
- Indicator pencapaian sebagai criteria keberhasilan pencapaian kemampuan
- Rambu-rambu umum pembelajaran sebagai rujukan alternative bagi para guru. (Udin S. Winataputra, 2001: 25)
Untuk
semua jenjang pendidikan dalam pendidikan demokrasi pokok bahasan yang paling
relevan adalah menghormati sesame manusia, bekerjasama, toleransi beragama,
tanggungjawab, kasih saying. PKn sebagai paradigm baru bertumpu pada kemampuan
dasar kewarganegaraan untuk semua jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMU/Aliyah. Kemampuan
dasar tersebut selanjutnya dapat dilakukan dengan langkah-langkah yang dapat
dikembangkan oleh guru untuk mengadakan proses pembelajaran demokrasi sebagai
berikut:
- Merumuskan tujuan
- Menyajikan kata-kata (istilah) yang perlu diketahui
- Menyajikan ide-ide yang perlu dipelajari
- Memecahkan masalah
- Menerapkan kemampuan yang telah dikuasai
Untuk
mengembangkan proses pembelajaran menggunakan langkah pembelajaran tersebut,
kita dapat melihat contoh sebagai berikut:
Pokok
bahasan yang diambil adalah tanggungjawab, kemudian dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
Darimana
tanggungjawab diperoleh?
Pertama, merumuskan tujuan
- Dalam pembejalaran para sisiwa akan belajar bagaimana orang memperoleh tanggungjawab
- Dapat menyebutkan sumber-sumber tanggungjawab
- Menjelaskan manfaat dalam melaksanakan tanggungjawab
- Menjelaskan sanksi, jika orang tidak melaksanakan tanggungjawab
Kedua, menyajikan kata
kunci
- Kewajiban
- Tanggungjawab
- Tugas
- Kebiasaan
- Prinsip-prinsip moral
- Pekerjaan
- Aturan dan hokum
Ketiga, ide-ide yang perlu
dipelajari
- Kewajiban : sesuatu yang harus dilakukan
- Tanggungjawab : kewajiban untuk melakukan sesuatu atau perilaku menurut cara tertentu
- Tugas : seseorang diberi tanggungjawab oleh orang lain
- Kebiasaan : sejumlah cara berperilaku yang diharapkan dari seseorang di masyarakat, kebiasaan menuntut tanggungjawab pada seseorang
- Prinsip-prinsip moral : merupakan keyakinan tentang cara-cara yang benar dan salah untuk berperilaku
- Pekerjaan : setiap pekerjaan mengakibatkan tanggungjawab
- Aturan dan hokum : aturan dan hokum menempatkan tanggungjawab pada seseorang
Keempat, memecahkan masalah
Dalam
hal ini, diharapkan sisiwa dapat memahami suatu permasalahan, kemudian
memperhatikan untuk mencari jalan pemecahannya, kita contohkan sebagai berikut:
Pak
Burhan adalah seorang yang sudah berusia lanjut, sehingga ia tidak dapat lagi
membersihkan rumah sendiri. Seminggu sekali Pak Burhan membayar Adi dan Susi
untuk membersihkan lantai halaman, membuang sampah, dan pergi ke pasar. Susi
dengan penuh riang dan rapi, sedangkan Adi mengerjakannya hanya
setengah-tengah, kemudian dikomentari denga tahap kelima.
Kelima, menerapkan
kemampuan yang telah dikuasai
- Dengan memberikan penjelasan berdasarkan situasi yang diuraikan tersebut, yaitu:
- Siapa yang memiliki tanggungjawab?
- Kepada siapa tanggungjawab itu didasarkan?
- Apa tangunggjawab itu?
- Mengapa pentng melaksanakan tanggungjawab?
- Dan sebagainya
Kontribusi pendidikan dalam
pembangunan demokrasi
Pendidikan dan demokrasi dewasa ini sebagaian masyarakat
memiliki persepsi bahwa masyarakat demokratis diartikan sama dengan masyarakat
bebas demonstrasi, yang intinya bebas memaksakan kehendak kelompoknya dengan
tekanan kekerasan. Di pihak pemerintahpun, karena ketakutan sorotan dunia
internasional, cenderung terbawa arus pemikiran bahwa kebebasan merupakan akar
demokrasi yang akan tumbuh dan berkembang secara alami sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah yang demokratis harus
memberikan kebebasan penuh bagi para warga Negara untuk menyertakan
pendapatnya.
Makna
demokrasi menurut Benyamin Barber dalam bukunya yang berjudul Aristocracy of
Everyone menolak pemikiran tersebut dengan menekankan bahwa demokrasi bukanlah
bentuk organisasi yang tumbuh secara alami, melainkan tumbuh dan berkembang
sebagai hasil usaha keras menggali ide-ide dengan penuh imaginasi. Juga bukan
berarti demokrasi, kebijakan pemerintah yang memperhatikan dan memberikan warga
yang tidak terdidik dengan hak untuk ikut mengambil keputusan bersama,
sebagaimana hak yang diberikan kepada warga terdidik.
Lebih
lanjut, Barber menyatakan paling tinggi apa yang dilakukan pemerintah tersebut
hanya merupakan upaya mengontrol massa yang penuh dengan praduga negative dan
bersifat tirani. Di sini Nampak bahwa betapa pemerintah membiarkan berbagai
aksi yang berkedok kebebasan, aksi tersebut semakin menyengsarakan rakyat,
karena menyebabkan nilai rupiah semakin terpuruk dan harga sembako melangit.
Kebijakan
pemerintah memberikan kebebasan berpendapat kepada kelompok-kelompok dalam
masyarakat ini sebenarnya merupakan musuh kebebasan yang berkedok taat pada
konstitusi. Demokrasi sejati memerlukan warga Negara yang baik. Demokrasi tidak
hanya memerlukan hokum, peraturan dan lembaga yang mampu menegakkannya,
melainkan juga memerlukan sikap demokratis. Termasuk di dalamnya adalah
kebesaran hati untuk mengakui kekalahannya, kesediaan untuk berkerjasama dengan
kelompok lain untuk mencapai tujuan demi kesejahteraan masyarakat luas, mampu
mengkombinasikan semangat untuk menegakkan pendiriannya dan kompromi dengan
kesadaran bahwa seseorang tidak dapat mewujudkan semua yang diinginkan, dan
kombinasi antara kesadaran individu dan kesadaran kelompok.
Oleh
karena itu, secara substantive berdimensi jangka panjang, untuk mendidik warga
Negara yang baik guna menjamin terwujudnya masyarakat demokratis, pendidikan
demokrasi mutlak diperlukan. Pendidikan demokrasi bertujuan mempersiapkan warga
masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas
menanamkan pada generasi baru pengetahuan dan kesadaran akan tiga hal. Pertama,
demokrasi adalah bentuk kehidupan bermasyarakat yang paling menjamin hak-hak
warga Negara masyarakat itu sendiri. Kedua, demokrasi adalah suatu learning
process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Ketiga,
kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan mentransformasikan
nilai-nilai demokrasi: kebebasan, persamaan dan keadilan serta loyal pada
sisitem politik yang bersifat demokratis. (Zamroni, 2001: 17).
Tujuan
pendidikan demokrasi adalah mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan
berperilaku demokratis. Dalam kaitan dengan pendidikan, persoalan yang muncul
adalah mungkinkah pendidikan demokrasi dilangsungkan dalam suasana sekolah yang
sangat birokratis, hirarkhis-sentralistis adan elitis sebagaimana sekolah yang
ada dewasa ini?
Keberlangsungan
dan keberhasilan pendidikan demokrasi memerlukan reformasi di bidfang
pendidikan. Reformasi yang diperlukan adalah berkaitan dengan kebebasan
akademik, kebhinekaan pendidikan, dan perombakan materi pendidikan civics.
Control dan pengaruh yang bersifat indoktrinatif dan luar sekolah harus
diminimalkan, sebaliknya ide school based management harus mulai dikembangkan.
Sekolah sebagai unit terendah dalam hierarkhi organisasi pendidikan harus
memiliki kemandirian. Oleh karena itu, sekolah harus dapat melaksanakan
kebebasan otonomi yang dimilikinya sejauh aktivitas sekolah tidak melanggar
undang-undang dan peraturan yang ada. Artinya , academic fereedom bukanlah
kebebasan mutlak tanpa kendalai. Sebagai contoh di beberapa Negara bagian di
Amerika Serikat, Negara menyebut dirinya paling demokratis, seperti Florida,
Tenneesee, Iowa dan Georgia melarang sekolah mengajarkan evolusi darwinisme.
Demikian pula pelarangan mengajarkan Marxisme di Indonesia, misalnya tidak
dapat diartikan bahwa di sekolah tidak ada kebebasan akademik.
Pentingnya
keberadaan kebebasan akademik dikekukakan oleh John Dewey, seorang pemikir
pendidikaan dan demokrasi. Ia dengan secara tidak langsung menyatakan bahwa
kebebsan akademik diperlukan guna mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah
yang bertumpu pada interaksi dan kerjasama, berdasarkan pada sikap saling
menghormati dan memperhatikan satu sama lain, berpikir kreatif, menemukan
solusi atas problrm yang dihadapi bersama, dan bekerjasama untukm merencanakan
dan melaksanakan solusi. Secara implisist hal ini berarti sekolah yang
demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan semua sisiwa untuk aktif
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merencanakan kegiatan dan
melaksanakan rencana tersebut.
Kebebasan
akademik juga menuntut bahwa sekolah tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas
politik. Hubungan politik dan pendidikan amat erat bahkan cenderunag bersifat
social alami. Depolitisi dunia pendidikan memamng dapat dilaksanakan dalam semua
aspek pendidikan, tetapi tidak mungkin dilaksanakan untuk selamanya. Plato dan
Aristoteles suatu kali pernah menyatakan bahwa “Apa yang diinginkan untuk
Negara harus juga disediakan untuk sekolah”. (Zamroni, 2000: 20)
Pendidikan Kebhinnekaan
Bhinneka Tunggal Ika merupakan manifestasi kebhinnekaan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk di dalamnya adalah kehidupan
pendidikan. Tujuan pendidikan ‘Ika”, namun proses untuk mencapai tujuan
bersifat bhinneka. Kurikulum yang memuat pokok-pokok pengajaran dapat
ditentukan secara nasional, namun penjabaran dan implementasi ditentukan oleh
masing-masing satuan pendidikan di daerah, tergantung kondisi lapangan yang
ada, baik menyangkut social, budaya maupun sarana dan prasarana pendidikan.
Pendidikan
kebhinnekaan mengahargai dan mengakomodasi perbedaan latar belakang seseorang
yang menyangkut nilai, budaya, social, ekonomi, bahkan perbedaan dalam
kemampuan. Relaitas adanya berbagai latar belakang ini tidak mungkin dinisbikan
dalam dunia pendidikan. (Zamroni, 2000: 22). Oleh karena itu, kebijakan yang
bersifat standar yang berlaku seragam secara nasional, seperti Ebtanas, patut
dipertanyakan. Sebab, setiap kebijakan yang bersifat nasional terstandar
cenderung melecehkan prinsip-prionsip kebhhinnekaan dan tidak adil. Meskipun
kehidupan kelompok dihargai dan diakomodir, namun pendidikan kebhinnekaan lebih
menekankan pada cita-cita yang tidak mengenal batas-batas kelompok seperti HAM
dan keadilan.
Sekolah
pada zaman orde baru berupaya menciptakan bentuk perilaku politik tertentu,
dengan mengimplementasikan pendidikan kurikulum kewarganegaraan yang
mendasarkan pada disiplin yang kaku dan bersifat indoktrinatif. Berbagai
kegiatan ekstra kurikuler yang diharapkan mendukung tercapainya tujuan
terbentuknya perilaku politik tertentulah pula dilaksanakan lewat berbagai
upacara seremonial. Tetapi, sejarah telah menunjukkan tidak ada upaya
indotrinasi yang berhasil, para sisiwa mengikuti kegiatan dengan penuh
keterpaksaan. Pelajaran yang diterima di kelas tidak cocok dengan ralitas yang
ada di masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan dipenuhi dengan doktrin dan
berbagai informasi yang diperlukan, yang harus dihafalkan tanpa memahamai makna
sebenarnya. Sebab, apabila sisiwa memahami doktrin yang dipelajari maka akan
diketemukan bahwa apa yang dipelajari berbeda dengan apa yang ada di
masyarakat. (Zamroni, 2000:22)
Oleh
karena itu, diawal proses reformasi ini, reformasi pendidikan kewarganegaraan
mutlak diperlukan. Kurikulum pendidikan kewarganegaraan atau civics harus
dirombak secara menyeluruh. Prinsip indoktrinasi harus diminimalkan karena
tidak mungkin dihilangkan dan diganti dengan prinsip dialog. Aktivitas yang
berbau paksaan harus diubah menjadi aktivitas dengan nuansa kesadaran. Tekanan
pada prestasi dan kerja individual perlu dilengkapi dengan tekanan prestasi dan
kerjasama kelompok. Materi civics ditekankan pada 4 aspek yang meliputi aspek
sejarah asal mula demokrasi dan perkembangannya, perkembangan demokrasi di
Indonesia, jiwa demokrasi dalam Pancasila dan UUD 1945, dan tantangan demokrasi
dalam era modern. (Zamroni, 2000:23)
Sekolah sebagai media
sosialisasi nilai demokrasi
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan
dengan upaya mengembangkan diri seseorang pada tiga aspek dalam kehidupannya. Ketiga aspek ini
adalah pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. Upaya
mengembangkan ketiga aspek tersebut bias dilaksanakan dengan bentuk formal
dalam sisitem persekolahan dan informal. Dikatakan berbentuk formal sisitem
persekolahan apabila upaya tersebut diwujudkan dalam serangkaian kegiatan yang
dirancang secara sistematis dan dirumuskan dalam suatu kurikulum tertentu, dan
disertai persyaratan yang ketat untuk melaksanakan proses tersebut. Meskipun
kegiatan sudah dirancang dan kurikulum sudah dikembangkan namun apabila
pelaksanaannya tidak memiliki persyaratan yang ketat maka proses tersebut bisa
disebut pendidikan non formal. Sebaliknya, upaya tersebut dikatakan berbentuk
informal apabila terwujud dalam kegiatan yang tidak dirancang sebelumnya secara
sisitematis. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, sesungguhnya
pendidikan merupakan proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam
suatu budaya tertentu. (Zamroni, 2000: 23)
Dalam
proses sosialisasi politik, pendidikan sisitem persekolahan mempunyai peran
yang penting, khususnya untuk kelangsungan sistem politik yang ada. Peranan
pendidikan tersebut antara lain sebagai sosialisasi kultur politik di kalangan
sisiwa, seleksi, rekrutmen, dan melatih calon pemimpin politik, dan integrasi
bangsa.
Suatu
system politik akan bisa langgeng, jikalau mendapatkan dukungan dari warga
masyarakat. Oleh karena itu, setiap bangsa, atau lebih tepatnya pemhuasa, baik
yang memiliki system kapitalis, komunis, sosialis atau apapun system politik
yang dianut penguasa tersebut, perlu melaksanakan sosialisasi politik,
khususnya dikalangan remaja. Hal ini bertujuan agar mereka memiliki pengetahuan
politik, kesadaran politik, nilai, sikap, dan orientasi politik, sehingga aktif
memberikan dukungan dan kelak bisa melanggengkan sistem politik yang dianut
selama ini. Tanpa keberhasilan dalam sosialisasi politik akan muncul gejolak
politik yang berkepanjangan yang merupakan pencerminan tidak adanya dukungan
warga masyarakat terhadap sisitem politik yang ada, yang akan membawa akibat
sisitem politik runtuh atau ganti. Oleh karena itu, setiap pemerintah Negara
demokratis akan melaksanakan sosialisasi nilai-nilai demokratis di kalangan
generasi muda. Hal ini dapat dilakukan melalui keluarga, media massa, dan
terutama berlangsung di dalam sisitem persekolahan.
Kesimpulan
- Bahwa pendidikan demokrasi merupakan suatu hal yang prinsip dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, harus dilaksanakan melalui proses pendidikan.
- Ada dua factor yang sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran demokrasi, yaitu: lingkungan tempat proses pembelajaran berlangsung dan karakteristik , social, ekonomi, dan buadaya peserta didik (siswa).
- Pendidikan demokrasi dilaksanakan:
1. Membentuk
kehidupan bermasyarakat yang menjamin hak-hak warga Negara masyarakat itu
sendiri
2. Sebagai
learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain,
kelangsungan demokrasi tergantung pada keberhasilan transformasi nilai-nilai
demokrasi, seperti: persamaan, kebebasan, dan keadilan.
3. Mempersiapkan
warga masyarakat berpikir kritis dan berperilaku yang lebih arif dan bijaksana
dalam koridor hokum yang berlaku.
- Dalam proses sosialisasi p[olitik, pendidikan sisitem persekolahan mempunyai peran yang penting khusnya untuk kelangsungan sisitem politik yang ada. Peranan pendidikan tersebut antara lain sebagai sosialisasi kultur pilitik di kalangan sisiwa, seleksi, rekrutmen dan melatih calon pemimpin politik, dan intergrasi bangsa.
- Demokrasi bukan saja dalam materi yang diajarkan oleh guru maupun materi yang diterima oleh sisiwa tetapi juga dalam prosesnya harus mencerminkan sikap demokrasi.
Anda sedang membaca artikel berjudul
0 comments :
Post a Comment