Sebelum membahas lebih dalam mengenai opini publik, penulis akan membasa mengenai definisi opini publik terlebih dahulu. Dari berbagai referensi mengenai opini publik, ternyata banyaknya definisi mengenai opini publik sebanyak jumlah penulis tentang opini publik itu sendiri.
Kata opini publik terdiri atas dua unsur, yaitu kata
opini dan publik. Secara sederhana, opini adalah pendapat, gagasan, atau ide
yang dikemukan manusia atas suatu kejadian atau peristiwa yang dia lihat atau
ketahui, sedangkan pengertian publik secara umum adalah sekelompok individu
dalam jumlah besar, sedangkan dari beberapa pakar dapat diperoleh beberapa
pengertian sebagai berikut:
1. Publik
adalah sejumlah orang yang bersatu dalam satu ikatan dan mempunyai pendirian sama
terhadap suatu permasalahan sosial (Emery Bogardus).
2. Publik
adalah sekelompok orang yang (1) dihadapkan pada suatu permasalahan, (2) berbagi
pendapat mengenai cara pemecahan persoalan tersebut, (3) terlibat dalam diskusi
mengenai persoalan itu (Herbert Blumer).
Kemudian ketika kata opini dan publik disatukan
membentuk istilah opini publik, pada dasarnya bermakna sebagai opini yang
berkembang karena pengaruh pemberitaan dari media massa. Menurut Machiavelli yang
pertama kali menggunakan istilah opini publik atau disebut juga sebagai
pendapat umum, dalam buku Discourses,
dia menyatakan bahwa orang yang bijaksana tidak akan mengabaikan pendapat umum
mengenai soal-soal tertentu, seperti pendistribusian jabatan dan kenaikan
pangkat. Namun, seperti kebanyakan penulis, ia kemudian menganggap bahwa
istilah tersebut sudah cukup dikenal dan dimengerti sehingga tidak perlu
didefinisikan.
Kemudian pendapat selanjutnya
mengenai pendapat umum atau opini publik diutarakan oleh James Madison. James
Madison menulis bahwa pendapat umum atau opini publik adalah kedaulatan yang
nyata (real sovereign) dalam setiap
negara merdeka, bukan karena pimpinannya dapat mengetahui atau mengikuti setiap
mayoritas, tetapi karena pendapat massa menetapkan batasan yang tak dapat
dilampaui para pembuat kebijakan (policymakers)
yang bertanggung jawab. Madison juga segera melihat bahwa partai politik yang
longgar dan bersifat terpusat dapat menghimpun – “mengagregasikan” – berbagai pendapat
dan karenanya memberikan sarana utama untuk menjaga agar para pemimpin tetap
dalam batas yang dapat diterima publik.
Namun, studi modern tentang pendapat
umum kemungkinan telah dimulai sejak diterbitkannya Public Opinion and Popular Government karya A. Lawrence Loweel
tahun 1919 dan Public Opinion karya Walter Lippman pada tahun
1922. Para penulis tahun 1920-an dan 1930-an, dengan mengandalkan konsep-konsep
dan bahan-bahan yang baru diorganisasi yang dikemukakan oleh para psikolog dan
sosiolog, telah mengembangkan cukup banyak teori dan hipotesis. Kuliah pendapat
umum diberikan di berbagai universitas di Amerika oleh para ilmuwan politik,
sosiolog, psikolog social, dan para wartawan.
Kemudian pendapat pakar lainnya, Leonard
W. Doob dalam buku Public Opinion and
Propaganda menyebutkan bahwa pendapat umum mengacu pada sikap rakyat tentang
suatu isu jika mereka adalah anggota dari kelompok sosial yang sama. David Truman menyatakan, pendapat umum
terdiri atas pendapat sekelompok individu yang bersama-sama membentuk
masyarakat yang sedang mereka diskusikan. Hal itu tidak mencakup semua pendapat
individu, tetapi hanya yang berhubungan dengan isu atau keadaan yanga
menentukan mereka sebagai suatu masyarakat. Dengan demikian, berdasarkan
pendapat para ahli di atas, dapat ditarik suatu pemahaman umum bahwa opini
publik adalah kompleks preferensi yang dinyatakan sejumlah orang tertentu
mengenai isu yang menyangkut kepentingan umum (Bernard Hennessy, 1981).
Kini
perkembangan opini publik yang cukup relevan jika dikaitkan dengan problematika
di Indonesia saat ini adalah mengenai kasus “Cicak vs. Buaya” yang sempat
menarik perhatian masyarakat luas. Perseteruan antara Kapolri, dengan Bibit
Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah yang diberitakan di berbagai media massa
akhirnya membentuk opini publik di tengah masyarakat. Berbagai
rentetan peristiwa antara “Cicak vs. Buaya”
yang cukup kompleks kemudian diberitakan secara luas dan menyeluruh oleh media
massa (cetak dan elektronik). Rentetan peristiwa itu kemudian diikuti oleh
opini-opini yang dibangun berdasarkan fakta-fakta yang berasal dari opini
narasumber. Ketika kemudian opini-opini tersebut diberitakan oleh media massa
dan pengaruhnya juga sampai ke pembaca, penonton atau pendengarnya maka inilah
yang disebut dengan public opinion
(opini publik).
Opini publik ini menjadi opini yang
berkembang karena pengaruh pemberitaan dari media massa, meskipun ada juga
opini publik yang bisa dibangun bukan dari media massa, tapi media massa
mempunyai kekuatan untuk memperkuat dan mempercepat tersebarnya sebuah opini.
Dalam hal ini opini publik bisa disebabkan oleh dua hal, direncanakan (planned opinion) dan tidak direncanakan
(unplanned opinion). Opini publik
yang direncanakan dikemukakan karena memang ada sebuah rencana tertentu yang
disebarkan media massa agar menjadi opini publik. Ia mempunyai organisasi,
kinerja dan target yang jelas. Misalnya, opini yang sengaja dibuat oleh elite
politik tertentu bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Ide
ini dikemukakan di media massa secara gencar dengan perencanaan matang.
Sementara itu, opini publik yang tidak direncanakan muncul dengan sendirinya
tanpa rekayasa. Media hanya sekadar memuat sebuah peristiwa yang terjadi,
kemudian diperbincangkan di tengah masyarakat. Dalam posisi ini, media massa
hanya mengagendakan sebuah peristiwa dan memberitakannya. Peristiwa atau kasus
yang dibahas di media kemudian menjadi pembicaraan publik karena publik
menganggap isu itu penting untuk diperbincangkan. Karena menjadi pembicaraan di
masyarakat, media massa kemudian memberi penekanan tertentu atas sebuah isu dan
akhirnya ia pun menjadi opini publik.
Melihat apa yang terjadi dengan
kasus “Cicak vs. Buaya” sehingga menghasilkan dukungan yang besar dari publik
kepada KPK, dapat kita lihat bahwa efek dari opini publik yang merupakan
pengaruh dari media massa sangat luar biasa. Namun, sesungguhnya proses
terjadinya opini publik bukanlah suatu proses yang singkat. Kemunculan opini
publik di tengah masyarakat melalui berbagai proses yang tidak mudah. Ferdinand
Tonnies (Nurudin, 2001: 56 – 57) dalam bukunya Die Offentlichen Meinung pernah mengungkapkan bahwa opini publik
terbentuk melalui tiga tahapan; pertama, die
luftartigen position. Pada tahap ini, opini publik masih semerawut seperti
angin ribut. Masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya berdasarkan
pengetahuan, kepentingan, pengalaman dan faktor lain untuk mendukung opini yang
diciptakannya.
Kedua,
die fleissigen position. Pada tahap
ini, opini publik sudah menunjukkan ke arah pembicaraan lebih jelas dan bisa
dianggap bahwa pendapat-pendapat tersebut mulai mengumpul ke arah tertentu
secara jelas. Artinya, sudah mengarah, mana opini mayoritas yang akan
mendominasi dan mana opini minoritas yang akan tenggelam. Ketiga, die festigen position. Pada tahap ketiga
ini, opini publik telah menunjukkan bahwa pembicaraan dan diskusi telah mantap
dan suatu pendapat telah terbentuk dan siap untuk dinyatakan. Dengan kata lain,
siap untuk diyakini kebenarannya setelah melalui perdebatan dan perbedaan pendapat
yang tajam sebelumnya.
Kemudian, setelah suatu opini publik
tercipta di tengah masyarakat tentu menghasilkan efek tertentu bagi masyarakat
tersebut. Di era reformasi saat ini atau dapat dikatakan sebagai era serba
“kebebasan”, setiap orang menuntut segala macam kebebasan yang bisa didapat.
Pers sebagai salah satu pilar demokrasi pun terkadang tanpa disadari berlaku
menuntut segala kebebasan, dalam hal ini adalah kebebasan mendapatkan informasi
dan menyebarkan informasi. Setelah mendapatkan berita, pers kemudian meletakkan
segala macam informasi yang didapat di dalam media. Media kemudian disebarkan
dan dikonsumsi oleh publik. Akhirnya segala hal yang ada di media mengatur
segala bentuk pandangan dan pemikiran publik mengenai suatu persistiwa atau
kasus tertentu. Media pun secara tidak disadari memberitakan hal-hal seperti
apa yang memang diinginkan oleh publik.
Sebagai perumpamaan, dalam dunia
pemasaran (marketing), Seth Godin
dalam bukunya yang berjudul All Marketers
Are Liars mengatakan bahwa fungsi marketers
adalah menceritakan apa yang sebenarnya ingin didengar oleh konsumen, dan bukan
sebaliknya, yaitu mempersuasi konsumennya seperti yang selama ini dibayangkan.
Begitu pula dengan pembentukan opini publik. Pembentukan opini publik melalui
media di dalam banyak hal juga tidak jauh berbeda. Media memang mendidik
masyarakat, tetapi lebih banyak diarahkan ke arah yang dikehendaki oleh
masyarakat itu sendiri.
0 comments :
Post a Comment