Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat
rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk
bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu
pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi
tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi
terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau
ilmu perilaku.
Masalah pendidikan mikro yang menjadi focus disini khususnya ialah dasar
dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau
sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.
1.
Pendidikan dalam Praktek Memerlukan teori
Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan
karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam
arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka
tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang
kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap
tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik
dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain
memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan
yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan
memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai
agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai
dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek
berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan
menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20
tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan
bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai
tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan
hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27
Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh
pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila
dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam
teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung
menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya
harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan,
setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai
ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori
adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk
orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh
orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral.
Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan
yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan
merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan
masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik
dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan
(psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan
menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu
praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
2.
Landasan Sosial dan Individual Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan
individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan
kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama
sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta
dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak
lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu
berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan
lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang
bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai
kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya
individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya
perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan
skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi
manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada
perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi
(interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang
dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu
aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap
bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar
seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar
kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro
masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan
harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada
generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan
dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat
berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan
sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama
komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah
dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh
peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat
konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar
kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.
3. Teori
Pendidikan Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi
mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan
antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia
bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki
bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam
praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia
dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah
melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau
siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher
order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif
antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal).
Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu
:
“It possible to
conceive of teacher and student as one and same person and the self taught
person as one who direct his own development through an internal interaction
between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one
teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the
interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate
means, retain its person to person character.
Artinya sifat
manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi
kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar
pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan
situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis)
sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif
bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik
terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan
tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik
belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan
dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia
melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa
untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),
“Scientific method
can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and even
in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time. Beyond
say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to weaken,
because teacher cannot apply, at least not without help and not on the run, the
more complex interactions. At this point, the teacher as an artist must step in
and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to teach.”
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas
atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh
telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh pedagogik (teoritis) dan andragogi
(suatu pedagogik praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif
dari pada
pengajaran (yang makro) lebih utama dari pada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan
pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan
mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran
tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan
rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek
haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran.
Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif
melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa
perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya
perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi
agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar
pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa
diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan
utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai
aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang
juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu
konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal.
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu fdan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu:
Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu fdan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu:
“Pendidikan ialah
usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan dating”.
Kiranya konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
Kiranya konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam
Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi).
Arti Tut Wuri aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan
sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih,
tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi
dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan gar sang anak
mengembngkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak
terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah
tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa
landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor
manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari
diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat
tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak
tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi
ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan
kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan
mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari
kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut
Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya
sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru
harus berhamba kepada kepentingan siswanya.
0 comments :
Post a Comment