MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) TENTANG IDENTITAS NASIONAL

Written By putrajunio on Thursday, May 15, 2014 | 5:13 PM

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Eksistensi  suatu  bangsa  pada  era  globalisasi  dewasa  ini  mendapat tantangan  yang  sangat  kuat,  terutama  karena  pengaruh  kekuasaan internasional. Menurut Berger  dalam  The Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah  mengubah  masyarakat  satu  persatu  dan  menjadi  system  internasional  yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa  di dunia, dan secara tidak  langsung  juga  nasib,  social,  politik  dan  kebudayaan  (Berger,  1988). Perubahan  global  ini  menurut  Fukuyama  (1989  :  48),  membawa  perubahan suatu  ideologi,  yaitu  dari  ideologi  partikular  kearah  ideologi  universal,  dan dalam kondisi seperti ini, kapitalismelah yang akan menguasainya.

Oleh  karena  itu,  agar  suatu  bangsa  khususnya  bangsa  Indonesia  tetap eksis  dalam  menghadapi  globalisasi  maka  harus  tetap  meletakan  jatidiri  dan   identitas  nasional  yang  merupakan  kepribadian  bangsa  Indonesia  sebagai  dasar  pengembangan  kreatifitas  budaya  globalisasi.  Sebagaimana  terjadi  di berbagai  negara di dunia,  justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang  cenderung  menghancurkan  nasionalisme,  muncullah  kebangkitan kembali kesadaran nasional.

B.  Rumusan Masalah
1)  Apa pengertian identitas?
2)  Apa pengertian nasional/nasionalisme?
3)  Bagaimana identitas nasional

C.  Tujuan Makalah

-  Sebagai  media  untuk  menambah  wawasan  dan  pengetahuan  mengenai identitas bangsa Indonesia  -  Sebagai  salah  satu  cara  belajar  yang  lebih  fariatif  agar  tidak   menimbulkan  kejenuhan  dalam  proses  belajar,  dengan  cara  mencari dan menganalisis  informasi  dari  berbagai  sumber  dan  mengelolanya  untuk dalap dijadikan pengetahuan tambahan.

D.  Prosedur Penulisan

Dalam  pengumpulan  data  atau  keterangan-keterangan  yang  diperlukan dalam  menyusun  makalah  ini,  penyusun  menggunakan  metode  studi  pustaka  yaitu  metode  pengumpulan  data  dengan  cara  belajar  di  perpustakaan  dengan jalan  mengumpulkan catatan  yang  ada hubungannya dengan masalah-masalah yang ditulis.

BAB II
IDENTITAS NASIONAL

A. IDENTITAS

1.  Pengertian Identitas
Secara etimologis,identitas  berasal  dari  kata “identity” yang  memiliki arti  harfiah:  ciri,tanda,atau  jati  diri  yang melekat  pada  seseorang,kelompok  atau  sesuatu  sehingga  membedakan  dengan  yang  lain.  Dengan  demikian identitas  berarti  ciri-ciri,  tanda-tanda  atau  jati  diri  yang  dimiliki  seorang kelompok,  masyarakat  bahkan  suatu  bangsa  sehingga  dengan  identitas  itu bisa membedakan dengan yang lain.
Dalam  terminologi  antropologi,  identitas  adalah  sifat  khas  yang  menerangkan  dan  sesuai  dengan  kesadaran  diri  pribadi  sendiri,  golongan  sendiri, kelompok  sendiri, komunitas sendiri, atau  negara  sendiri.  Mengacu pada  pengertian  ini  identitas  tidak  terbatas  pada  individu  semata,  tetapi berlaku pula pada suatu kelompok.
Identitas  bagi  kebanyakan  orang  adalah  selembar  kartu  nama  yang mengukuhkan  keberadaan  mereka  dengan  sebuah  nama,  profesi  dan kedudukan.  Memperhatikan  khaos  yang  terjadi  selama  sepuluh  tahun terakhir,  saya  merasa  ada  perlunya  untuk  mendalami  makna  identitas.  Karena identitas  ternyata adalah biang yang memporakporandakan  berbagai   negara, memecahbelahkan bangsa-bangsa, dan  memposisikan manusia  yang paling  tidak  politis  sekali  pun  di  satu  sudut  ruang  berseberangan  dengan berbagai perbedaan yang berpotensi konflik.  Apa yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah  terjadi  sejak  kita  dilahirkan.  Tanpa  kita  sadari  ketika  kita  dilahirkansebuah  predikat  langsung  melekat  pada  keberadaan  kita.  Nama  kita mengikat kita pada satu keluarga, satu kepercayaan, satu komunitas dan satu bangsa.
Identitas  adalah  sebentang  Mobius  yang  melilit.  Di  satu  sisi,  ia mengukuhkan  kebersamaan  satu  kelompok,  keselarasan  visi  dan  ambisi, namun atas  atas  nama  kemajuan,  prestasi  dan  kebersamaan, ia  juga  mampu secara  brutal menghancurkan pihak  yang dinilai mengancam  azas-azas yang mengukuhkan  kelompoknya.  Tindakan  anarkis  dianggap  sah  karena  ia membela kedaulatan  kelompok.  Tak  ayal lagi,  inilah insting  survival  purba yang kita wariskan dari  leluhurkita sejak zaman Neolitik.  Sebaliknya,  kita  bisa  memaknakan  identitas  dengan  parameter  yang   lebih  luas.  Identitas,  menurut  Amin  Maalouf,  sekaligus  inklusif  dan  eksklusif.  Sebagai  contoh,  sebagai  warga  Indonesia  beretnis  Cina,  maka  saya  dianggap  warga  minoritas.  Tetapi  sebagai  anak  turunan  Cina,  saya termasuk  golongan  warga  terbesar  di  dunia.  Perbedaan  perspektif  ini  tergantung  dari  sudut  referensi  mana  kita  meneropong  kedudukan  kita. Sebaliknya,  sebagai  anak  turunan  Cina,  dilahirkan  di  Tebing  Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut sebuah film  tentang  seorang  pegawai  kecil  di  bagian  arsip  dan  bermukim  di   kawasan  Lebak  Bulus, saya  menjadi  sangat unik,  karena  tidak  ada manusia lain  selain  saya  yang  menyandang  predikat  seperti  ini.  Tetapi  kalau  kita   meneliti  ini  lebih  dalam,  maka  kita  akan  menyimpulkan  bahwa individualitas ini sebenarnya tidak secara  keseluruhan murni, karena  ia juga  bermuatan  berbagai  elemen  eksklusif  yang  bertautan  dengan  berbagai manusia, lepas dari  kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh,  saya  berbagi  satu  hobi  membaca  dengan  berjuta-juta  manusia  lain.  Saya juga  punya  kesamaan  seperti  mereka  yang  suka  bakmi,  tahu,  ataupun  kue putu atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.Perumpamaan  di  atas  secara  gamblang menunjukkan  betapa  fleksibel   sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro,  keberadaan kita mau tidak mau bertautan  dengan  begitu  banyak  manusia  dari  latar  yang  berbeda-beda  dan tidak  terbatas  oleh  demarkasi  lokasi  ataupun  bangsa.  Ironisnya,  secara individu  pun  kita  tidak  mungkin  dikelompokkan  dalam  satu  kelompok karena  pada  dasarnya   kita  semua  sangat  berbeda.  Ini  terbukti  beberapa  waktu  yang  lalu  oleh  penelitian  proyek  genome  manusia,  di  mana ditegaskan  bahwa  DNA  manusia  adalah  sebuah  keajaiban  dari  ribuan  permutasi yang  sama  sekali  tidak  mungkin direplikasi.  DNA  kita  ibaratnya hasil  dari   sekali  tekanan  tombol  mesin  jackpot  dengan  ratusan  ikon  yang berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama,  sama sekali tidak ada.  Ilmu  pengetahuan  yang  tadinya  kita  harapkan  sebagai  bintang penyelamat  untuk  membebaskan  kita  dari  ortodoksi  identitas,  ternyata malah  membuat  kita  semakin  terjerumus  dalam  jurang  pemisah. Pengetahuan,  menurut  Michel  Foucault,  hanya  bisa  membangkitkan  lebih banyak  pengetahuan.  Michel  Foucault  memberi  contoh  seperti  ini:  seorang  dokter  yang  kena  flu  tahu  bagaimana  mengobati  dirinya  dengan  memilih obat yang  tepat, tapi  untuk kesehatan jiwanya  ia  tidak  mampu memberikan  preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia membutuhkan lebih  dari  obat,  ia  perlu  melakukan  pelatihan-pelatihan  “  tehkne  tou  biou”  untuk  mencapai  satu  titik  konversi  “metanoai”.  Tehkne  tou  biou  ini  bukan sebuah  antidote,  seperti  antidote  untuk  flu,  tetapi  sebuah  perjalanan spiritualitas  yang  perlu  ditekuni  dalam  hidup  masing-masing.  Pengetahuan dalam  hal  ini  tidak  mampu  banyak  membantu,  karena  ia  justru  mengakibatkan  kita  terperangkap  dalam  sejarah,  tradisi  dan  segala  embel- embel  kepurbaan  yang  semakin  mengikat  kita  pada  satu  identitas.  Ia  tidak mendorong  kita  untuk  lebih  mendekat  pada  realitas  kehidupan  dalam  arti  sebenarnya. Alain  Badiou  dalam  bukunya  Ethics  mengupas  apa  yang  disebutnya sebagai  akronim  usang.  Seperti  kata-kata  Keadilan,  Demokrasi,  Cinta,  dan dalam  hal  ini  Identitas  juga  bisa  kita  masukkan  dalam  deretan  akronim abstrak  ini.  Sebagai  sebuah  term  kata  Identitas  seperti  juga  Keadilan  tidak punya  makna  yang  konkret.  Karena  ia  hanya  sebuah  term  abstrak.  Badiou ingin  menjelaskan  kepada  kita  bahwa  ketika  sebuah  kegiatan  dibakukan     menjadi  sebuah  simbol  ia  kehilangan  makna  aslinya.  Ketika  kita mengatakan  Keadilan   maka  makna  asli  dari  kata  itu,  yaitu  berlaku  adil,  segera  kehilangan  makna  aslinya.  Kita  tenggelam  dalam  sebuah  semesta  makna  yang  begitu luas sehingga keaslian  makna itu sendiri  menjadi kabur.  Kita  lupa  bahwa  Identitas  berangkat  dari  kata  kerja  yang  punya  makna   memperkenalkan diri, mengidentifikan diri orang  lain,  atau  menyatukan diri dengan  orang  lain.  Dengan  kata  lain,  dengan  merangkul  kata  identitas  kita menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu. Identitas  juga  bercermin  pada  Yang  Lain  (The  Other).  Ia  tidak  bisa  lepas  dari  pengakuan/pengukuhan  orang  lain.  Identitas  manusia  selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas dalam hal  ini  terkandung  kesemuan  yang  menjadi  kenyataan  ketika  kita mengkonfirmasi  predikat-predikat  dari  orang  lain.  Ini  paradoks  yang  kita bawa  dari  lahir  yang  akan  terus  melekat  kecuali  kita  melakukan  sesuatu untuk  membebaskan   diri  dari  tirani  penafsiran  Yang  Lain.  Dari  penelitian  proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama seperti  orang  lain,  sekalipun  kita  berusaha  keras.  Keunikan  setiap  individu sekaligus  adalah  kekuatan  diri dan kelemahannya.  Kekuatan karena dengan  memahami  keunikan  itu  kita tidak  tergoyahkan  oleh penafsiran  Yang  Lain. Kelemahannya  adalah  ketika  kita  berupaya  untuk  mengukuhkan  identitas itu.
 Seperti  jalan  menuju  kesejahteraan  jiwa  harus  melewati  tehkne  tou biou, pengasahan subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu  bekerja  keras.  Langkah  pertama  adalah  membebaskan  diri  dari  identitas.  Manusia  bebas  identitas  tidak  memandang  perbatasan  negara, perbedaan  suku  atau  pun  kepercayaan  sebagai  jurang  pemisah.  Karena   manusia  pada  dasarnya  terikat  dalam  kebersamaan  yang  tak  terelakkan,  yaitu  sebagai  kelompok  manusia  berakal  sehat  dengan  nilai-nilai  kebaikan  hakiki,  mengemban  visi  yang  sama,  yakni  dunia  yang  lestari  dan  damai. Dunia  tanpa  perbatasan  dan  identitas  memungkinkan  manusia  untuk berpadu  dalam  satu  komunitas  dunia,  bahu  membahu  menyelesaikan persoalan  satu  kasus  demi  satu  kasus,  tidak  saling  menyalip  demi kepentingan  bangsa,  suku  mau  pun  kepercayaan  masing-masing.  Alain Badiou  menyimpulkan  dengan  elegan,  “Satu  bertaut  dalam  Dua. Kebersamaan  berada  dalam  pergelutan  perbedaan.†  Ungkapan  ini  mengingatkan  kita  bahwa  yang  perlu  kita  lakukan  bukan  menyatu  dengan  orang  banyak  tetapi  berusaha  keras  untuk  mengembangkan  simpati  dan empati pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan. Dari  satu  individu  ke  individu  yang  lain.  Tanpa  baliho  yang  meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.
Imajinasi  juga  sangat  berperan  dalam  pendekatan  kita  pada  Yang Lain.  Dalam  novelnya  Identity,  Milan  Kundera  memberi  sebuah  contoh bagaimana  paras  seseorang  yang  tak  dikenal  di  sebuah  kafe  meninggalkan  impresi yang begitu dalam pada tokoh  utama novel sehingga  ia berkembang  dan  menjadi  seorang  karakter  yang  terasa  begitu  akrab,  seperti  seseorang yang  sudah  dikenalnya  selama  bertahun-tahun.  Melalui  imajinasi,  simpati dan  empati  kita  akan  terpicu,  terlepas  dari  belenggu  pradugaan  dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada yang lain.
   2.  Pentingnya Sebuah Identitas
 Identitas  adalah  simbolisasi  ciri  khas  yang  mengandung  diferensiasi dan  mewakili  citra  organisasi.  Identitas dapat  berasal  dari sejarah,  visi  atau  cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Berbicara mengenai identitas   sebenarnya  itu  adalah  sebuah  definisi  diri  dan  itu  bisa  di  berikan  oleh  orang  lain  atau  kita  yang  memberikanya.  Pelacakan  identitas  akan menerangkan  tentang  siapa  kita,  karena  pelacakan  identitas  adalah  upaya pendefinisian diri. Baik definisi dari orang lain maupun dari kita sendiri. Ketika kita berbicara identitas maka mau tidak mau kita harus melihat ke  masa  lalu,  di  dalam  konteks,  identitas  itu  bukanlah  sebuah  proses  produksi  di  ruang  vakum  tetapi   di  dalam  relasi-relasi  kita  dengan  orang lain.  Kemudian  kemajemukan  adalah  yang  mencerminkan  ketinggalan  diri, definisi  siapa  kita  dan  yang  bukan  kita   adalah  definisi  yang  di  lakukan    sendiri  dan  definisi  diri  yang  di  nisbahkan  oleh  pihak  lain  yang  berelasi dengan kita.  Cara  kita  mendefinisikan  diri  akan  sangat  berpengaruh  terhadap  pikiran,  tindakan  dan  keputusan  yang  kita  ambil.  Cerita  menarik  yang beredar  di  internet menceritakan  tentang  seekor  anak  elang  yang dipelihara dan  dibesarkan  keluarga  ayam.  Tentu  saja  keluarga  ayam  ini  mengajarkan kepada  sang  anak  elang tentang  segala  sesuatu  yang  menyangkut  ke-ayam-  an,  antara  lain  ayam  memakan  biji-bijian,  ayam  tidak  bisa  terbang  tinggi, ayam hanya bisa begini, dan begitu saja. Pada suatu  waktu,  si  anak  elang  ini melihat  burung elang yang  gagah  melintas  di  angkasa.  Dengan  decak  kagum,  sang  anak  elang  berkata, “Alangkah  gagah  dan  anggunnya  burung  itu.”  Lalu,  keluarga  ayam  yang mendengar  komentar sang anak elang berkata, “Itu adalah burung  elang.  Ia  memang  memiliki  kemampuan  untuk  terbang tinggi  di angkasa. Sedangkan kita  adalah  ayam.  Ayam  hanya  bisa  terbang  rendah  dan  tak  akan  pernah terbang tinggi seperti elang.  Singkat  kata,  sang  anak  elang  menerima  bulat-bulat  apa  yang diajarkan  keluarga  ayam.  Ia  akhirnya  mendefinisikan  dirinya  sebagai  anak ayam.  Karena  ia  mendefinisikan  diri  sebagai  anak  ayam,  ia  pun  berpikir,  berlaku,  dan  bertindak  seperti  anak  ayam.  Sampai  akhir  hayat  sang  anak elang, beraktivitas, bertindak dan mengambil keputusan seperti seekor ayam sesuai  definisi  yang  diyakininya.  Coba  bayangkan,  apa  yang  terjadi  jika sang  anak  elang  ini  mencoba  mengoptimalkan  kemampuannya  seperti  impiannya untuk terbang tinggi seperti elang yang dilihatnya. Dari  ilustrasi  diatas  kita  bisa  mendapatkan  beberapa  pelajaran berharga  mengenai  pengaruh  definisi  identitas  diri  yang  kita  yakini.  Cara kita mendefinisikan identitas kita akan menentukan masa depan kita melalui  cara  kita  berpikir  dan  cara  kita  bertindak.  Definisi  identitas  diri mempengaruhi  cara  kita  berpikir.  Sang  elang  yang  mendefinisikan  diri sebagai anak ayam akhirnya berpikir dan bertindak seperti anak ayam.
Dalam  pemilu  legislatif  yang  baru  saja  berlangsung  di  Indonesia, kebanyakan  rakyat  belum  mampu  menidentifasikan  diri  mereka  sebagai pemegang  kedaulatan.  Pada  pemilu  kali  ini,  identitas  yang  terbentuk  di  wajah  rakyat  adalah  sebagai penjual  kedaulatan,  hal tersebut  terindikasikan melalui  banyaknya  kasus  money  politik.  Secara  bahasa  sederhana  money  politik  dipersepsikan  sebagai  politik  uang.  Di  sini  ada  dua  dimensi,  yakni politik dan uang. Politik  selama ini diorientasikan  pada kekuasaan dan  uang  dipersepsikan   sebagai  salah  satu  kekuatan  yang  berbasis  material.  Artinya politik  uang  merupakan  manifestasi  dari  upaya  merebut  kekuasaan  lewat  jalur politik dengan mengandalkan kekuatan uang. Kekuatan uang dalam hal ini  adalah  proses penentuan  pemenang  kekuasaan tidak berdasarkan pilihan rasional  namun  dengan  dengan  pertimbangan  pragmatisme.  Di  sinilah kemudian stigma negatif melekat dalam persoalan money politik.  Jika legislatif yang ihasilkan melalui mekanisme jual beli suara maka akan hadir para politisi yang mengidentifikasikan dirinya  sebagai  pedagang. Modal  yang  mereka  keluarkan  kepada  rakyat  harus  kembali  dalam  jangka waktu  tertentu  dan  harus  bertambah  karena  begitulah  identitas  pedagang,  kemudian  lahirlah  apa  yang  dinamakan  politik  dagang  sapi.  Entah  siapa yang  memulai  istilah  tersebut,  tapi  ketika  kita  mendengar  dan  mencoba memahami  ternyata politik dagang sapi  itu merupakan  cara untuk bagi-bagi kedudukan  dalam  kabinet.  Presiden  dan  Wakil  Presiden  yang  tepilih  nanti  merupakan  pilihan  rakyat langsung,  karena itu  mereka memperoleh mandat yang  penuh  dari  rakyat  sebagai  pemilih.  Karena  itu  mereka  mempunyai kedudukan  yang  lebih  kuat  dari  pilihan  anggota  MPR.  Akan  tetapi  dalam sistim  yang  berjalan  presiden  serta  pemerintah  yang  dipimpinnya  harus  bekerjasama dengan DPR. Dengan demikian pemerintah yang akan disusun oleh persiden terpilih harus  pandai-pandi  bekerja  sama  dengan  DPR  agar  program-program mereka  disepakati  DPR  sebelum  dapat  dilaksanakan.  Sebaik  apapun  program  yang  diusulkan,  kalau  DPR  tidak  menyetujuinya,  apapaunalasannya, maka  program  tersebut  tidak  dapat  dilaksanakan dan pemerintah   tidak  efektif  menjalankan  mandat  yang  diemban  dari  pemilih.  Di  dalam  media  sudah  banyak  diberitakan  bahwa  negosiasi  antar  berbagai  partai capres  dalam  meminang  cawapres  sekaligus  melakukan  tawar  menawar mengenai pembagian kursi dalam kabinet yang akan datang.  Maka  harapan  akan  perbaikan  kesejahteraan  rakyat  yang  berjalan beriringan  dengan  demokratisasi  nampaknya  hanya  angan-angan,  karena tidak ada eksekutif dan legislatif yang memikirkan hal  tersebut.  Jadi, selagi kedaulatan  itu  masih  berada  di  tangan  rakyat,  mengidentifikasi  diri kemudian  melakukan  tindakan  yang  tepat  untuk  mempergunakannya  demi kesejahteraan  dalam  jangka  waktu  lima  tahun  kedepan  harus  menjadi perhatian serius agar tidak menyesal dikemudian hari.

3.  Identitas,  fungsi  dan  peranan  sosial  manusia  (  terjadinya  interaksi sosial )
•  manusia sebagai makhluk individu
•  Manusia sebagai makhluk sosial
•  Manusia sebagai makhluk berketuhanan
Untuk mengemban ketiga  fungsi, identitas dan peranan sosial tersebut manusia  mempunyai  dorongan  atau  motif  untuk  mengadakan  hubungan dengan  dirinya sendiri,  dengan  orang  lain dan dengan  tuhannya.  Hal  inilah yang  mendasari  terjadinya  interaksi  antara  manusia  yang  satu  dengan manusia yang lainnya. Pengertian  interaksi  sosial  :  Hubungan  timbal  balik  yang  saling mempengaruhi  antara  seseorang  dengan  orang  lain  dalam  situasi  sosial tertentu.  Di  dalam  proses  interaksi  sosial  ini  juga  berlangsung  proses berimbang dan berkesinambungan ( adaptif social relationship ).

4.  Syarat terbentuknya interaksi sosial :
a.  Komunikasi sosial
b.  Kontak social

5.  Dasar terjadinya interaksi sosial :

•  Interaksi  sosial  didasari  oleh  adanya  kebutuhan  (  motivasi  )  sosial  dankebutuhan individual.
•  Abraham Maslow ( Hierarchi Need Theory )
o  Kebutuhan fisiologis ( fisiological needs )
o  Kebutuhan rasa aman ( safety needs )
o  Kebutuhan cinta dan kasih sayang ( love and belonging needs )
o  Kebutuhan penghargaan diri ( self esteem needs )
o  Kebutuhan aktualisasi diri ( need of self actualisation )
•  David Mc Clelland
o  Need for Power ( Motiv berkuasa )
o  Need for affiliation ( motif berkumpul / berserikat )
o  Need for achivement ( motif berprestasi / menjadi yang terbaik ) semua  kebutuhan  dan  motif  tersebut  akan  terpenuhi  bila  manusia mampu  membangun  kontak  sosial  dan  mengembangkan  komunikasi  sosial sehingga  terbentuk  interaksi  sosial  dan  akhirnya  mewujud  dalam  social relationship.

6.  Faktor Pengarah terbentuknya interaksi sosial
•  Faktor  Imitasi  :  (  Gabriel  Trade  ),  seluruh  kehidupan  sosial  itu sebenarnya  berdasarkan  faktor  imitasi  saja.  Imitasi  dorongan  untuk meniru orang lain.
•  Fakroe  sugesti  :  sugesti  berlangsung  jika  seseorang  memberikan pandangan atau sikap dari dirinya kepada orang lain dan diterima.
•  Faktor identifikasi
•  Faktor Simpati

B. NASIONAL
Nasional  atau  Nasionalisme  adalah  pilar  utama  dalam  berbangsa  dan bernegara.  Sebuah negara  yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme  yang kokoh,  akan  menjadi  rapuh,  kemudian  runtuh,  dan  akhirnya  tinggal  sejarah. Kejayaan  Bangsa  Romawi,  Mesir  Kuno,  Yunani  Kuno,  Mongol,  Andalusia, Ottoman,  Majapahit,  Sriwijaya,  Gowa,  dan  Mataram,  kini  hanya  tinggal kenangan  yang  bisa  kita  ketahui  melalui  buku  sejarah  dan  sisa-sisa peninggalannya. Tentu  kita  tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu. Nasionalisme  awalnya  berkembang  di  Eropa.  Pada  akhir  abad  18  di Eropa mulai berlaku suatu paham bahwa setiap bangsa harus  membentuk suatu Negara  sendiri  dan  bahwa  Negara  itu  harus  meliputi  seluruh  bangsa  masing-masing.  Kebanyakan  bangsa-bangsa  itu  memiliki  faktor-faktor  obyektif  tertentu  yang  membuat  mereka  berbeda  satu  sama  lain,  misalnya  persamaan keturunan, persamaan bahsa dan daerah  budaya, kesatuan politik, adat istiadat dan  tradiri atau  juga karena  persamaan agama. Gerakan  nasionalisme dan  cita- cita  kebangsaan  yang  berkembang  di  eropa  pada  hakikatnya  memiliki  sifat cinta kebangsaan.  Nasionalisme  yang  berkembang  di  Eropa  kemudian  menjalar  ke  seluruh  dunia.  Memasuki  awal  abad  20  nasionalisme  mulai  berkembang  di  negara- negara  Asia dan  Afrika  termasuk  Indoensia.  Nasionalisme  di  Asia  dan  Afrika bukan  hanya  suatu  perjuangan  kemerdekaan  untuk  melepaskan  diri  dari belenggu penjajahan, tetapi memiliki tujuan yang lebih mendalam,

Ciri-ciri Penting yang Berkaitan dengan Nasionalisme di Asia dan Afrika ;
a.  Konsep Ia merupakan sarana untuk menumbuhkan  semangat  perlawanan terhadap dominasi imperialisme Barat
b.  Ia  menjadi  peletak  dasar  bafi  terciptanya  perubahan  masyarakat  Asiaterutama  dalam  cara  pandang  tentang  kedaerahan  menjadi  cara  pandang seluruh bangsa.
c.  ia  ditumbuhkan  oleh  para  pemimpin  intelektual  yang  memperoleh pengaruh  positif  dari  pendidikan  Barat  seperti  pendidikan  modern, berpikir  kritis,  komitmen  terhadap  kemajuan  ilmu  pengetahuan.  Kaum intelektual menemukan dua aspek yang dapat mereka manfaatkan

•  human dignity / martabat manusia
•  Ideologi / faham dari Barat seperti liberalisme dan demokrasi

d.  Ia  terus  berkembang  karena  para  pemimpin  dan  pengikutnya  lebih melihat masa depan dibanding masa lalu.
Yang  dimaksud  dominasi  (asal  kata dominant=  lebih  kuat/kuasa)  politik adalah  suatu  penguasaan penuh dalam bidang politik,  sehingga pemerintah ada
ditangan  penjajah.  eksploitasi  ekonomi  adalah  pemerasan  yang  dilakukan melalui eksploitasi kekayaan alam, monopoli, memeras tenaga kerja penduduk, sedangkan  penetrasi  (asal  kata  to  penetrate  =  menyusup/menerobos) kebudayaan  adalah  suatu  pemaksaan  kepada  penduduk  pribumi  untuk mengikuti  kebudayaan  bangsa  penjajah.  Coba  Anda  berikan  contoh  dari tindakan-tindakan tersebut.
Tekanan  dan  pemaksaan dari pihak  penjajah menimbulkan  reaksi berupa penolakan dan perlawanan rakyat untuk mengusir penjajah. Jadi dengan adanya kolonialisme  dan  imperialisme  menimbulkan  reaksi  bangkitnya  semangat berkebangsaan.  Perasaan  senasib  sepenanggungan  dan  menyatukan  kehendak dan  tekad  untuk  lepas  dari  penjajah  merupakan  inti  dari  nasionalisme Indonesia.  Nasionalisme  tersebut  lahir,  tumbuh  dan  berkembang  seirama dengan  perjalanan  sejarah,  bahwa  perlawanan  terhadap  penjajah  mengalami kegagalan.  Berbagai  upaya  telah  dilakukan,  namun  tidak  membuat  penjajah angkat  kaki  dari  bumi  Indonesia.  Mengapa  demikian?.Disebabkan  belum adanya  kesadaran  pentingnya  persatuan  dan  kesatuan  guna  melawan  penjajah karena  tingkat  pendidikan  bangsa  Indonesia  pada  saat  itu  masih  rendah. Akhirnya, secara lambat laun kesadaran itu mulai muncul dan berkembang.

1.  Pengertian Nasional atau Nasionalisme

a.  Penegrtian Leksikal
Secara  etimologis,  kata  nation  berakar  dari  kata  Bahasa  Latin  natio. Kata  natio  sendiri  memiliki  akar  kata  nasci,  yang  dalam  penggunaan klasiknya  cendrung  memiliki  makna  negatif  (peyoratif).  Ini  karena  kata nasci  digunakan  masyarakat  Romawi  Kuno  untuk  menyebut  ras,  suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar  atau  yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia  sekarang  adalah  tidak  beradab,  kampungan,  kedaerahan,  dan sejenisnya.
Kata  natio  dari  Bahasa  Latin  ini  kemudian  diadopsi  oleh  bahasa-bahasa  turunan  Latin  seperti  Perancis  yang  menerjemahkannya  sebagai nation,  yang  artinya  bangsa  atau  tanah  air.  Juga  Bahasa  Italia  yang memakai  kata  nascere  yang  artinya  “tanah  kelahiran”.  Bahasa  Inggris pun  menggunakan  kata nation untuk menyebut  “sekelompok  orang  yang dikenal  atau  diidentifikasi  sebagai  entitas  berdasarkan  aspek  sejarah, bahasa,  atau etnis yang  dimiliki  oleh mereka”  (The  Grolier  International Dictionary: 1992).
Pengertian  ini  jelas  mengalami  perubahan  karena  kata  nasion  dan nasionalisme  diadopsi  dan  dipakai  secara  positif  untuk  menggambarkan semangat  kebangsaan  suatu  kelompok  masyarakat  tertentu.  Di  bawah pengaruh semangat  pencerahan  (enlightenment),  kata  nasionalisme tidak lagi  bermakna negatif atau  peyoratif seperti  digunakan  dalam masyarakat Romawi  Kuno.  Sejak  abad  pencerahan  (zaman  pencerahan  atau  zaman Fajar  Budi  berlangsung  selama  abad  17–18),   kata  ini  mulai  dipakai secara  positif  untuk  menunjukkan  kesatuan  kultural  dan  kedaulatan politik dari suatu bangsa.
“Kesatuan  kultural”  dan  “kedaulatan  politik”  merupakan  dua  kata kunci yang  penting untuk  memahami  nasionalisme.  Nasionalisme  dalam pengertian  kedaulatan  kultural  akan  berbicara  mengenai  semangat kebangsaan  yang  timbul  dalam  diri  sekelompok  suku  atau  masyarakat karena  mereka  memiliki  kesamaan  kultur.  Di  sini  kita  berbicara mengenai  nasionalisme  bangsa  Jerman  atau  bangsa  Korea  atau  bangsa-bangsa  di  Eropa  Tengah  dan  Timur  yang  memiliki  kesamaan  kultur. Semangat  kebang-saan  atas  dasar  kesamaan  kultur  ini  telah  terbentuk sebelum terbentuknya suatu negara bangsa.
Mengacu  pada  pengertian  ini,  Indonesia  jelas  tidak  menganut  paham nasionalisme  dalam  artian  kesamaan  kultur.  Kita  memiliki  pluralitas budaya  dan etnis  yang memustahilkan kita  berbicara mengenai semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur. Masih dalam konteks pengertian ini,  sebenar-nya  wajar  saja  jika  orang  Aceh  berbicara  mengenai nasionalisme  Aceh,  demikian  pula  orang  Papua,  Maluku,  Jawa,  Batak, Bugis,  Makassar,  Bali,  Flores,  dan  sebagainya.  Nasionalisme  yang mereka  mak-sudkan  tentu  saja  adalah  semangat  kebangsaan  atas  dasar persamaan kultur ini, dan semangat ini tidak bisa dikatakan sebagai salah atau benar. Pengertian  kedua  adalah  nasionalisme  dalam  arti  kedaulatan  politik.
Berdasarkan  pengertian  ini,  suatu  kelompok  masyarakat  menentukan sikap  politik  mereka—atas  dasar  nasionalisme,  entah  nasionalisme kultural atau nasionalisme  politik—untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah  negara  yang  independen.  Itu  berarti  baik  kelom-pok  masyarakat yang  memiliki  kesamaan  kultur  maupun  yang  multi  kultur  dapat memiliki  nasionalisme  dalam  artian  kedaulatan  politik  ini.  Menurut pengertian  ini,  Indonesia  termasuk  yang  memiliki  nasionalisme  dalam arti kedaulatan  politik.  Demikian  pula halnya  dengan  negara-negara  lain yang memiliki keragaman kultur.
Nasionalisme  dalam  arti  semangat  kebangsaan  karena  kesamaan kultur mula-mula mendasarkan dirinya pada persamaan-persamaan kultur yang  utama,  misalnya  kesamaan  darah  atau  keturunan,  suku  bangsa, daerah  tempat  tinggal,  kepercayaan  agama,  bahasa  dan  kebudayaan.
Ketika berkembang menjadi kedaulatan politik, nasionalisme merangkum atau  mengikutsertakan  nilai-nilai  lainnya  seperti  adanya  persamaan  hak bagi  setiap  orang  untuk  memegang  peranan  dalam  kelompok  atau masyarakatnya  serta  adanya  kepentingan  ekonomi.  Perkembangan  lebih lanjut  tentu  saja  adalah  adanya  hak  untuk  menentukan nasib  sendiri  (self determination)  dan  hak  untuk  tidak  dijajah  oleh  bangsa  lain  (freedom from slavery).  Dalam sejarah, tampak jelas bahwa hak  untuk mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan politik merupakan sebuah kesadaran baru  yang  dipengaruhi  oleh  revolusi  Prancis  tahun  1789.  Sementara  itu, hak  untuk menentukan  nasib  sendiri  dan  hak  untuk tidak  dijajah bangsa lain  telah  menjadi  dasar  nasionalisme  dari  negara-negara  Asia–Afrika dalam membebaskan diri dari penjajahan setelah Perang Dunia II.

b.  Pengertian menurut beberapa Tokoh

•  Joseph Ernest Renan dari Prancis (1822–1892)
Nasionalisme  adalah sekelompok  individu  yang  ingin  bersatu  dengan individu-individu  lain  dengan  dorongan  kemauan  dan  kebutuhan psikis.  Sebagai  contoh  adalah  bangsa  Swiss yang  terdiri  dari  berbagai bangsa dan budaya dapat menjadi satu bangsa dan memiliki negara.                                                           

•  Otto Bauer (Jerman, 1882–1939)
Nasionalisme  adalah  kesatuan  perasaan  dan  perangai  yang  timbul karena persamaan nasib, contohnya nasionalisme negaranegara Asia.

•  Hans Kohn
Nasionalisme  adalah  kesetiaan  tertinggi  yang  diberikan  individu kepada negara dan bangsa

•  Louis Snyder
Nasionalisme  adalah  hasil  dari  faktor-faktor  politis,  ekonomi,  sosial dan intelektual pada suatu taraf tertentu dalam  sejarah. Sebagai contoh adalah timbulnya nasionalisne di Jepang.

2.  Bentuk-bentuk Nasionalisme
a.  Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)
adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  penyertaan  aktif  rakyatnya,  “kehendak  rakyat”,  “perwakilan politik”.  Teori  ini  mula-mula  dibangun  oleh  Jean-jacques  rousseau  dan menjadi  bahan-bahan  tulisan.  Antara  tulisan  yang  terkenal  adalah  buku berjudul  Du  Contact  Sociale  (atau  dalam  Bahasa  Indonesia  “mengenai kontrak sosial”).

b.  Nasionalisme Etnis
adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  budaya  asal  atau  etnis  sebuah  masyarakat.  Dibangun  oleh Johan Gottfried  von Herder, yang memperkenalkan konsep  Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”). Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme  romantik  kisah  tradisi  yang  telah  direka  untuk  konsep nasionalisme  romantik.  Misalnya  “Grimm  Bersaudara”  yang  dinukilkan oleh  Herder  merupakan  koleksi kisah-kisah  yang  berkaitan  dengan etnis Jerman.

c.  Nasionalisme Budaya
adalah  sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  kebenaran politik  dari  budaya  bersama  dan  bukannya  “sifat  keturunan”  seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.

d.  Nasionalisme kenegaraan
ialah variasi  nasionalisme  kewarganegaraan,  selalu  digabungkan  dengan nasionalisme  etnis.  Perasaan  nasionalistik  adalah  kuat  sehingga  diberi lebih keutamaan  mengatasi  hak universal  dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri  itu  selalu  kontras  dan  berkonflik  dengan  prinsip  masyarakat demokrasi.  Penyelenggaraan  sebuah  ’national  state’  adalah  suatu argumen  yang  ulung,  seolah-olah  membentuk  kerajaan  yang  lebih  baik dengan tersendiri. Contoh  biasa adalah Nazisme, serta nasionalime  Turki kontemporer,  dan  dalam  bentuk  yang  lebih  kecil,  Fransquisme  sayap kanan di  Spanyol,  serta  sikap ’  Jacobin  ’  terhadap unitaris  dan  golongan pemusat  negeri  Prancis,  seperti  juga  nasionalisme  masyarakat  Belgia, yang  secara ganas menentang demi  mewujudkan hak  kesetaraann ( equal rights  )  dan  lebih  otonomi  untuk  golongan  Fleming,  dan  nasionalis Basque atau Korsika.

e.  Nasionalisme agama
ialah sejenis  nasionalisme  dimana  negara  memperoleh  legitimasi  politik dari persamaan agama.

3.  Unsur-unsur Nasionalisme Menurut Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu

a.  hasrat untuk mencapai kesatuan,
b.  mencapai kemerdekaan,
c.  mencapai keaslian,
d.  kehormatan bangsa.
Jadi  seorang  nasionalis  sejatinya  akan  mengutamakan  kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya.

 4.  Aspek-aspek Nasionalisme

a.  Aspek politik
Nasionalisme bersifat  menumbangkan dominasi politik imperialisme dan bertujuan menghapus pemerintah kolonial.
b.  Aspek Sosial Ekonomi
Nasionalisme bersifat menghilangkan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh  pemerintah  kolonial  dan  bertujuan  menghentikan  eksploitasi ekonomi.
c.  Aspek Budaya
Nasionalisme  bersifat  menghilangkan  pengaruh  kebudayaan  asing  yang buruk  dan  bertujuan  menghidupkan  kebudayaan  yang  mencerminkan harga diri bangsa setara dengan bangsa lain.

5.  Makna Nasionalisme
Istilah  nasionalisme  digunakan  dala  rentang  arti  yang  kita  gunakan sekarang.  Diantara  penggunaan  –  penggunaan  itu,  yang  paling  penting adalah :
a.  Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa.
b.  Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan.
c.  Suatu bahasa dan simbolisme bangsa.
d.  Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan.
e.  Suatu  doktrin  dan/atau  ideologi  bangsa,  baik  yang  umum  maupun  yang khusus Nasionalisme  merupakan  sebuah  penemuan  sosial  yang  paling menakjubkan  dalam  perjalanan  sejarah  manusia,  paling  tidak  dalam  seratus tahun  terakhir.  Tak  ada  satu  pun  ruang  sosial  di  muka  bumi  yang  lepas  dari pengaruh ideologi ini. Tanpa  nasionalisme,  lajur sejarah  manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya  gagasan dan budaya  globalisme  (internasionalisme)  pada  dekade 1990-an  hingga  sekarang, khususnya  dengan  adanya  teknologi  komunikasi  dan  informasi  yang berkembang  dengan  sangat  akseleratif,  tidak  dengan  serta-merta  membawa lagu kematian bagi nasionalisme.
Kaca  mata etnonasionalisme  ini  berangkat  dari  asumsi  bahwa  fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep  kekerabatan biologis. Dalam  sudut  pandang  ini,  nasionalisme  dilihat  sebagai  konsep  yang  alamiah berakar  pada  setiap  kelompok  masyarakat  masa  lampau  yang  disebut  sebagai ethnie (Anthony Smith,  1986),  suatu  kelompok  sosial yang  diikat  oleh  atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Nasionalisme  lebih  merupakan  sebuah  fenomena  budaya  daripada fenomena  politik  karena  dia  berakar  pada  etnisitas  dan  budaya  pramodern. Kalaupun  nasionalisme  bertransformasi  menjadi  sebuah  gerakan  politik,  hal tersebut  bersifat  superfisial  karena  gerakan-gerakan  politik  nasionalis  pada akhirnya  dilandasi  oleh  motivasi  budaya,  khususnya  ketika  terjadi  krisis identitas  kebudayaan.  Pada  sudut  pandang  ini,  gerakan  politik  nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun  sebuah  negara  berdasarkan  kesamaan  budaya  (John  Hutchinson, 1987).
Perspektif etnonasionalisme  yang  membuka  wacana  tentang  asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya. Bahwa  nasionalisme  adalah  penemuan  bangsa  Eropa  yang  diciptakan untuk mengantisipasi  keterasingan  yang merajalela dalam  masyarakat  modern (Elie  Kedourie,  1960).    Nasionalisme  memiliki  kapasitas  memobilisasi  massa melalui  janji-janji  kemajuan  yang  merupakan  teleologi  modernitas.
Nasionalisme  dibentuk  oleh  kematerian  industrialisme  yang  membawa perubahan  sosial  dan  budaya  dalam  masyarakat.  Nasionalismelah  yang melahirkan bangsa. Nasionalisme berada  di titik persinggungan antara politik,  teknologi, dan transformasi sosial.
Pemahaman  komprehensif  tentang  nasionalisme  sebagai  produk modernitas  hanya  dapat  dilakukan  dengan  juga  melihat  apa  yang  terjadi  pada masyarakat  di  lapisan  paling  bawah  ketika  asumsi,  harapan,  kebutuhan,  dan kepentingan  masyarakat  pada  umumnya  terhadap  ideologi  nasionalisme memungkinkan  ideologi  tersebut  meresap  dan  berakar  secara  kuat  (Eric Hobsbawm, 1990).
Nasionalisme  hidup  dari  bayangan  tentang  komunitas  yang  senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Imagined  Communities,  Anderson  berargumen  bahwa  nasionalisme masyarakat pascakolonial  di Asia dan Afrika merupakan  hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa.
Menurut  Plamenatz,  nasionalisme  Barat  bangkit  dari  reaksi  masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan  yang terjadi  akibat  kapitalisme  dan  industrialisme.  Namun,  Partha  Chatterjee memecahkan  dilema  nasionalisme  antikolonialisme  ini  dengan  memisahkan dunia  materi  dan  dunia  spirit  yang  membentuk  institusi  dan  praktik  sosial masyarakat  pascakolonial.  Dunia  materi  adalah "dunia luar"  meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi.

6.  Diskusi Kontemporer
Nasionalisme  tidak  akan  pernah  selesai  diper-debatkan  karena  dialah satu-satunya ideologi  yang  sungguh-sungguh  mengikat dan mempersatukan sekelompok masyarakat dalam sebuah  perasaan yang  sama dan tekad untuk untuk  membangun  kehidupan  bersama.  Kalau  diperhatikan  perdebatan mengenai  nasionalisme  dewasa  ini  (kontemporer),  dikotomi  nasionalisme sebagai  identitas  kultural  atau  identitas  politis  akan  terus  mewarnai perdebat-an ini.
Lima  pemikir  di  bawah  ini  diambil  sebagai  contoh  untuk  menunjukkan diskusi  kontemporer  mengenai  nasionalisme.  Setelah  itu,  pemikiran- pemikiran mereka akan kita simpulkan.  Dari sana  kita mencoba  memahami pembentukan sebuah negara berdaulat berdasarkan semangat nasionalisme.

•  Ernest Gellner
Ernest Gellner memahami nasionalisme  seba-gai proses  pembentukan kultur  suatu  bangsa.  Gellner  mengenal  dan  membedakan  kebudayaan tinggi  atau  high culture  dan  kebudayaan  rendah  atau  low  culture.  Kalau nasionalisme dipahami sebagai proses pembentukan  kultur bangsa, maka yang Gellner maksudkan adalah proses pembentukan high culture sebuah bangsa.  Dalam  proses  ini  kultur  yang  sifatnya  tinggi  tersebut  dikodifikasi.
Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1.  apa  yang  dimaksud  dengan  kebudayaan  tinggi  dan  kebudayaan rendah?
2.  apa  yang  dimaksud  dengan  kodifikasi  kebudayaan  dan  menga-pa  hal itu perlu dilakukan? Sekali  lagi, high  culture adalah  kebudayaan yang  oleh  sebuah  negara dianggap  bernilai  tinggi  dan  pantas  dijadikan  sebagai  kebudayaan nasional.
Menurut  Gellner,  kriteria  sebuah  kebudayaan  bernilai  tinggi  atau rendah  adalah apakah  kebudayaan tersebut  rasional  atau  tidak.  Misalnya sikap  ramah  (hospitality)  suatu  kelompok  masyarakat  menerima  siapa saja  yang  datang  dalam  hidup  mereka.  Kare-na  dapat  dipahami  secara rasional,  sikap  ramah  dapat  diterima  menjadi  salah  satu  kebudayaan nasional.  Sebaliknya,  jika  suatu  adat,  kebiasaan  atau  hasil  karya  yang membahayakan  hidup  orang  lain  atau  menggangu  ketenteraman  hidup orang lain akan sulit diterima dan diakui sebagai bagian dari kebudayaan nasional.  Dalam  kasus  seperti  ini  negara  bisa  saja  menolak  bahkan melarang  kebudayaan  seperti  itu.  Ingat,  arti  kebudayaan  adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Proses  pembentukan  high  culture  dalam  nasionalisme  adalah  proses standardisasi  kebudayaan  nasional.  Standardisasi  ini  selain  dapat mengalahkan,  memperlemah,  atau  membunuh  kebudayaan-kebudayaan lokal  atau  kedaerahan,  dapat  juga  membunuh  kebudayaan-kebudayaan yang  sifatnya  etnik  yang  sebetulnya  telah  ada  sebelum  adanya  negara.
Negara  sebenarnya  bukan  hanya  dapat  mengadopsi  salah  satu kebudayaan  etnik  yang  ada  menjadi  kebudayaan  nasional,  tetapi  juga menolak  atau  melarangnya.  Misalnya,  pemerintah  Inggris  mengizinkan kebebasan  beragama  dan  beribadah  di  Inggris,  tetapi  melarang pengajaran  agama  Kristen  di  sekolah  dasar dan sekolah  lanjutan.  Dalam contoh  yang  paling  terakhir,  pemerintah  Inggris  mengizinkan  sekolah- sekolah melarang  pemakaian jilbab di sekolah bagi siswi muslim dengan alasan  supaya  semua  siswa-siswi  dapat  berbaur  tanpa  hambatan  atau halangan eksternal dan internal.
Bagaimana  dengan  Indonesia?  Orde  Baru  sangat  mengutamakan kodifikasi  atau  standardisasi  kebudayaan  nasional  ini.  Dalam  bidang agama,  misalnya.  Orde  Baru  melarang sekte-sekte  dari suatu  agama  bila praktik  ritual  mereka  dipandang  mengganggu  ketertiban  umum  dan membahayakan  kehidupan berbangsa dan bernegara.  Begitu juga dengan bentuk  atau ungkapan kebudayaan  lainnya. Dalam arti ini praktik-praktik keagamaan  dari  sekte-sekte  tertentu  itu  bukan  merupakan  kebudayaan nasional. Pemerintah Orde Baru bahkan berani menentukan agama mana yang  resmi  dan  agama  mana  yang  tidak  resmi.  Agama  yang  resmi menurut versi  Orde Baru  dapat  dianggap sebagai high culture, sementara di luar itu adalah low culture.
Yang  dimaksud  dengan  kodifikasi  kebudayaan  adalah  proses standardisasi  kebudayaan.  Dengan  kata  lain,  proses  menentukan  mana kebudayaan  yang  dapat  menjadi  kebudayaan  nasional  dan  mana kebudayaan yang harus ditolak. Kodifikasi ini dilakukan untuk menjamin keberlangsungan  hidup suatu  bangsa.  Meskipun  demikian,  sering  terjadi bahwa kodifikasi ini sengaja dilakukan  penguasa atau elit  politik tertentu dengan  maksud untuk  melanggengkan kekuasaan mereka.  Dalam arti  itu kodifikasi  kebudayaan  didahului  oleh  adanya  propaganda  yang  sifatnya sangat ideologis. Menurut  Gellner,  kodifikasi  kultur  sebenarnya  dimaksud  untuk mencegah  monopoli  penentuan  kultur  nasional  hanya  oleh  elit  atau kelompok  tertentu  saja.  Nah,  ini  berarti  dalam  menentukan  mana kebudayaan yang  tinggi  dan  mana  yang rendah  ha-rus  mengikutsertakan seluruh  lapisan  masyarakat.  Bagi  Gellner,  proses  kodifikasi  dengan mengikut-sertakan  masyarakat  ini  sangat  mungkin  untuk  dilakukan, karena  pendidikan  massal  telah  berhasil  menyatukan  negara  dan kebudayaan  secara  bersama.  Setelah  terjadinya  proses  kodifikasi  atau standardisasi  kebudayaan  nasional  biasanya  diikuti  de-ngan  pendirian museum-museum,  penulisan  sejarah  negara,  pendirian  badan-badan ilmiah  tertentu yang bertujuan mempropagandakan dan menyebarluaskan pengetahuan resmi (pemerintah).
Pandangan Ernest Gellner bukan tanpa kele-mahan. Kelemahan utama pandangan  Gellner  adalah  bahwa  high  culture  bersifat  sangat  rasional. Dalam  hal  ini,  rasionalitas  tampaknya  terlalu  diagung-agungkan. Bagaimana  dengan  low  culture?  Apakah  identitas  kebangsaan  hanya dibentuk  oleh  high  culture?  Apakah  low  culture  seperti  praktik-praktik kultik  atau  ritus-ritus  agama  tertentu  atau  praktik-praktik  magi  dan sebagainya  harus  dikendalikan  dan  dilarang  karena  sifatnya  yang  tidak rasional.  Dewa-sa  ini  lebih  diterima  bahwa  low  culture  juga  menguntungkan bagi pembentukan identitas kebang-saan.
Dalam  arti  ini  pemerintah  atau  negara  tidak  perlu  melarang  praktik-praktik  magi  dan  perdukunan  sejauh  praktik-praktik  tersebut  tidak membahayakan  hidup  masyarakat  itu  sendiri.  Karena  itu,  pemikiran sementara  orang  untuk  melarang  praktik  magi  atau  membuat  perangkat hukum  untuk  menghukum  praktik  santet  bukan  hanya  tindak-an  yang tidak masuk akal, tetapi juga tindakan yang bodoh. Kalau  kamu  perhatikan  acara-acara  televisi  kita  dewasa  ini,  banyak sekali  dipenuhi  dengan  acara  setan,  alam  gaib,  dan  semacam-nya. Menurut  kategori  Gellner,  semua  ini  adalah  low  culture,  karena  tidak rasional.  Meskipun  demikian,  ungkapan  kebudayaan  seperti  ini  ikut membentuk identitas kebudayaan Indonesia. Sejauh tidak membahayakan ketertiban  umum,  ekspresi  kebudayaan  seperti  itu  sah-sah  saja  eksis  di bumi pertiwi Indonesia.

•  Eric Hobsbawn
Berbeda  dengan  Gellner  yang  memahami  na-sionalisme  sebagai proses  pembentukan  high  cultu-re sebuah  bangsa, nasionalisme menurut Eric  Hobsbawn  dipahami  sebagai  pembentukan  iden-titas  kebangsaan. Pertanyaannya,  siapa  yang  mem-bentuk  identitas  kebangsaan  itu? Apakah  identitas  kebangsaan  dibentuk  oleh  seluruh  warga  masyarakat atau  hanya  kelompok  elit  saja?  Hobsbawn  berpendapat  bahwa  yang membentuk identias  kebang-saan adalah elit. Masyarakat pada  umumnya tidak  ikut  serta  dan  tidak  diikutsertakan  dalam  proses  pembentukan identitas kebangsaan.
Dalam  proses  pembentukan  identitas  kebangsaan  ini  elit  umumnya menciptakan  simbol-simbol yang dapat mendukung tercapainya  identitas ke-bangsaan.  Misalnya,  untuk  menunjukkan  bahwa  identitas  bangsa sebagai  bangsa  bahari,  para  elit  menciptakan  simbol-simbol  yang berhubungan  dengan dunia  bahari. Misalnya, kapal laut,  perahu  nelayan, patung  nelayan,  dan  sebagainya.  Setelah  diciptakan,  simbol-simbol  ini kemudian  ditafsirkan  oleh  para  elit.  Tafsiran  tersebut  umumnya  meng- gambarkan identitas ideal suatu bangsa. Simbol-simbol  dalam  bentuk  monumen-monumen  menjadi  contoh yang  sangat  jelas  bagaimana  identitas  kebangsaan  hendak  dibangun.  Di Indonesia  kita  memiliki  banyak  sekali  monumen  yang  maknanya  penuh dengan nilai-nilai kebangsaan. Kalian bisa mendalami apa makna di balik simbol  Monumen  Nasional  (Monas),  monumen  Pancasila  sakti,  dan monumen proklamator di Jakarta.
Menurut Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga berusaha menafsirkan tradisi-tradisi sebegitu rupa, dengan dukungan ideologi  tertentu,  dengan  maksud  untuk  menghubungkan  identitas kebangsaan  sampai  ke  masa  yang  sangat  lampau.  Penciptaan  identitas kebangsaan  semacam  ini  biasanya  juga  mengedepankan nilai-nilai  luhur nenek  moyang  suatu  bangsa  yang  dapat  dijadikan  anutan  masyarakat dewasa ini.
Misalnya, Indonesia ingin menanamkan nilai-nilai kebangsaan dengan belajar  dari  nilai-nilai  kebangsaan  yang  ada  pada  Kerajaan  Sriwijaya. Menurut  Dr.  P.J.  Suwarno  (Pancasila  Budaya  Bangsa  Indonesia, Kanisius,  Yogyakarta:  1993,  hlm.  20-21),  Sriwijaya  yang  berpusat  di Sumatra,  telah  mempraktikkan  nilai-nilai  persatuan,  ketuhanan, kemasyarakatan, ekonomi, dan hubungan internasional. Di mata para elit, nilai-nilai  hidup  yang  ada  dalam  masyarakat  Kerajaan  Sriwijaya  ini menjadi  bukti  bahwa  sudah  sejak  lama  bangsa  Indonesia  memiliki kepribadian atau identitas bangsa yang agung dan luhur.
Tidak hanya itu. Menurut Eric Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan,  para  elit  juga  sering  mengadakan  perayaan-perayaan  dan upa-cara-upacara  kenegaraan.  Melalui  perayaan-perayaan  semacam inilah  para elit menanamkan  dalam diri masyarakat akan  nilai-nilai luhur bangsanya,  misalnya  dengan  merenungkan  kembali  jasa-jasa  para pahlawan  bangsa,  dan  sebagainya.  Karena  itu,  jangan  heran  jika  dalam suatu  negara  perayaan-perayaan  kenegaraan  dianggap  sebagai  bagian yang penting dari proses pembentukan identitas kebangsaan.
Bagi  Hobsbawn,  massa  rakyat  menerima  begitu  saja  simbol-simbol dan  propaganda-propaganda  yang  dilancarkan  elit.  Di  sini  sering  kali orang lupa, bahwa elit melakukan propaganda melalui simbol-simbol dan perayaan-perayaan  keagamaan  tidak  hanya  sebatas  menyimbolkan perasaan  menjadi  bagian  dari  suatu  bangsa.  Elit  melakukan  ini  juga dengan tujuan melegitimasikan kekuasaan mereka.
Bagaimana  kita  menyikapi  pandangan  Eric  Hobsbawn  ini?  Ada  duakelemahan utama yang dapat dikemukakan,  yakni Pertama, Massa  rakyat dianggap  bodoh. Rakyat dianggap tidak  memiliki  sikap  kritis  dan  hanya menerima  begitu  saja  penciptaan  simbol-simbol  dalam  proses pembentukan  identitas  bangsa.  Rakyat  juga  dianggap  bodoh  dan mengikuti  sa-ja  upacara-upacara  kenegaraan  tanpa  mempertanyakan relevansinya.  Pandangan  semacam  ini  sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan keadaan sekarang.Kedua, Eric Hobsbawn lupa, bahwa simbol yang dicip-takan oleh para elit  sebenarnya  bukan  semata-mata  merepresentasikan  sesuatu.  Simbol- simbol  tersebut  juga  memberi  kemungkinan  agar  orang  lain  selain  elit atau  penguasa  menerap-kan  makna  ke  dalam  simbol-simbol  tersebut.
Dengan  demikian,  jarang  terjadi  bahwa  simbol-simbol  atau  upacara kenegaraan  hanya  memiliki  makna  tunggal.  Bagi  para  elit,  upacara  17 Agustus  dapat  menjadi  momen  pembentukan  iden-titas  bangsa.  Akan tetapi  bagi  sebagian  orang,  upacara  17  Agustus  adalah  saat  di  mana rakyat  berpesta  makan,  minum,  dan  mengadakan  pertandingan  olahraga di  lingkungan  masing-masing  tanpa  ada  hubungan  dengan  semangat nasionalisme.  Di sini  Hobsbawn lupa bahwa makna harus  bersifat  plural, juga  dalam  produksi  identitas  kebangsaan.  Masyarakat  mampu menciptakan simbol dan menafsirkan sesuai kehendak mereka.

•  Benedict Anderson
Nama  ahli  politik  yang  satu  ini  cukup  dikenal  di  Indonesia.  Dia menulis buku Imagined Community yang amat terkenal. Guru besar ilmu politik dari Cornell University (AS) ini adalah salah seorang Indonesianis garda depan. Benedict  Anderson  memahami  nasionalisme  sebagai  komunitas khayalan  (imagined  community)  yang  disatukan  oleh  sebuah persahabatan  horisontal  yang  mendalam  di  mana  anggota-anggotanya diyakini  mengkonstitusi  (menciptakan)  sebuah  en-titas  yang  kuat  dan utuh.
Bagi  Anderson,  komunitas  khayalan  ini  ada  atau  terbentuk  karena kekuatan  media  massa,  khususnya  media  cetak.  Media  cetak  sangat berperan  dalam  menyebarluaskan  diseminasi  (penggandaan) gagasan/ide dari bangsa. Anderson menekankan bahwa bacaan atas surat kabar harian atau  majalah  mingguan  yang  secara  teratur  dan  sinkronik  membentuk para  pembacanya  untuk  berbagi  perasaan,  gagasan  atau  serangkaian minat  bersama,  karena  isi  dan  fokus  dari  berita.  Menurut  Anderson, penga-laman kebangsaan berakar setiap hari karena sha-red reading ini.
Mari  kita kemukakan sebuah  contoh  untuk  menjelaskan  konsep  yang abstrak  ini.  Tanggal  26  Desember  2004  gelombang  tsunami menghancurkan  Provinsi  Nangro  Aceh  Darussalam  dan  mene-waskan ratusan  ribu  orang.  Seluruh  masyarakat  bangsa  Indonesia  ikut  bersedih dan  membantu  saudaranya  yang  tertimpa  musibah  tersebut.  Perasaan bahwa  Aceh adalah bagian  dari  saudara  kita  umumnya ditimbulkan oleh media  massa  yang  kita  baca, tonton, atau  dengar.  Kalian bisa  bayangkan apa  jadinya  kalau  bencana  itu  terjadi  pada  zaman  di  mana  media  massa belum  mengalami  kemajuan  seperti  sekarang  ini.  Barangkali  tidak  akan muncul banyak orang yang mengetahui dan membantu.
Nah,  kira-kira  proses  pembentukan  nasionalisme  menurut  Benedict Anderson  terjadi  seperti  itu.  Suatu  komunitas  pada  akhirnya  memiliki perasaan  kebangsaan  yang  sama  karena  perasaan  itu  ditimbulkan  oleh kesamaan minat dan perhatian mereka. Kesamaan minat dan perhatian it ditimbulkan  oleh  media  cetak  (koran  dan  majalah)  yang  mereka  baca. Kesamaan  minat  dan  perhatian  itu  pada  gilirannya  memicu  perasaan komunitas  tersebut  untuk  mengkhayalkan  sebuah  masyarakat  tempat mereka  hidup  bersama  sebagai  warga  masyarakat.  Wujud  konkret  dari komunitas khayalan itu adalah negara.
Konflik  antara  Indonesia  dan  Malaysia  di  perairan  Ambalat  yang memicu  gelombang  protes  masyarakat  Indonesia  pun  dapat  dipahami dengan  memakai  pemahaman  Anderson  ini.  Harus  diakui  bahwa  kita mengetahui  adanya  konflik  tersebut  dari  media  massa.  Media  massalah yang  menimbulkan  perasaan  kebangsaan  kita.  Kehadiran  kapal-kapal perang  dan  tentara  Indonesia  yang  siaga  dua  puluh  empat  jam  memicu khayalan  kita  untuk  membayangkan  sebuah  keutuhan  wilayah  dan kebesaran  bangsa  Indonesia.  Khayalan-khayalan  seperti  inilah  yang menyatukan  masyarakat  dalam  gelombang  protes  terhadap  tindakan sewenang-wenang Malaysia. Di  sini  memang  perasaan lebih memainkan peran daripada pikiran. Nasionalisme sebagai imagined community harus lebih menonjolkan perasaan daripada pikiran.
Bagaimanapun  juga,  pemikiran  Anderson  ada  kelemahannya  juga. Kelemahaman  pandangan  Anderson  adalah  bahwa  dia  hanya menekankan peran  media  cetak dalam menghasilkan kultur  dan  identita kebangsaan.  Padahal  masih  ada  lagi  produksi  kultur  dan  identita kebangsaan  melalui  ruang  musik  (music  hall)  dan  teater,  musik-musi popular, pesta-pesta, arsitektur,  fesyen,  juga  melalui televisi, film,  radio, dan teknologi informasi lainnya.

•  Anthony Smith
Masih  ingat  pandangan  Ernest  Gellner  dan  Eric  Hobsbawn  mengenai nasionalisme?  Di  atas  sudah  dikemukakan  kelemahan-kelemahan  dari pandang-an  mereka.  Nah,  Anthony  Smith  sendiri  mengkhususkan  diri untuk mengkritik secara tajam pandangan Gellner dan Hobsbawn tentang sifat  nasionalisme.  Gellner  dan  Hobsbawn  berpendapat  bahwa nasionalisme  adalah  produk  modern,  jadi  masa-masa  sebelum  zaman modern belum ada nasionalisme. Bagi  Smith, nasionalisme atau perasaan kebang-saan  sudah  ada  jauh  sebelum  lahirnya  suatu  bang-sa.  Perasaan kebangsaan sudah ada bahkan dalam diri kelompok etnis yang kemudian mendorong me-reka untuk membentuk negara itu sendiri.
Di  sini  Smith  memahami  etnisitas  sebagai  kelompok  sosial  dengan identitas  tertentu  dan  yang  membedakan  diri  mereka  dari  orang  lain.Umumnya  kelompok-kelompok  etnis  membentuk  sendiri  batas-batas (boundaries) dan  menciptakan simbol-simbol  yang menjadi tanda bahwa “kita”  (us)  berbeda  dari  “mereka”  (they).  Dalam  perkembangannya, kelompok-kelompok  etnis  semacam  ini  bisa  saja  membentuk  sebuah negara.  Kalau  ini  yang  terjadi,  maka  nasionalismenya  bersifat nasionalisme etnik.
Selain  berpendapat  bahwa  perasaan  dan  identitas  kebangsaan  sudah ada  jauh  sebelum  terbentuknya  sebuah  negara,  Smith  juga  berpendapat bahwa  nasionalisme  berhubungan  dengan  pembentukan  identitas nasional  suatu  bangsa.  Pembentukan  identitas  nasional  dapat  terjadi melalui  penciptaan  simbol-simbol  nasional.  Bagi  dia,  simbol-simbol nasional  tidak diciptakan  sepihak  oleh  elit,  tapi  oleh  berbagai  kelompok yang  berbeda.  Karena  mengikutsertakan  banyak  kelompok  masyarakat dalam  penciptaan  simbol-simbol  nasional,  maka  sering  terjadi  konflik dalam  proses  penciptaan  simbol-simbol  nasional  ini.  Konflik-konflik tersebut wajar dan perlu sejauh tidak membawa perpecahan bangsa. Menurut Smith,  dalam  menciptakan  simbol-simbol  tersebut  tidak  ada cetak  biru (blue print) yang siap  dipakai sebagai contoh.  Tidak hanya itu.
Bah-kan dalam proses pembentukan  kebudayaan nasio-nal pun tidak ada cetak  biru.  Karena  itu,  seluruh  lapisan  masyarakat  benar-benar  harus terlibat  dan  berpartisipasi  dalam  proses  pembentukan  identitas  nasional dan kebudayaan bangsanya.
Jika terjadi bahwa dalam proses pembentukan identitas bangsa melalui penciptaan  simbol-simbol  tersebut  tidak  ada  serangakaian  simbol  yang dapat  diterima  bersama,  maka  pada  saat  ini  kelompok-kelompok  sosial yang  ada  harus  memilih  simbol-simbol  yang  multipel  dengan  maksud supaya  kelompok-kelompok  yang  berbeda  pandangan  dapat  didorong untuk  menerima  dan  mengidentifikasikan  dirinya  dengan  simbol-simbol tersebut.
Menurut  Smith,  dapat  saja  terjadi  bahwa  ada  kebudayaan  dari  etnis tertentu  yang  diterima  sebagai  kebudayaan  nasional  asal  memenuhi persyaratan.  Syaratnya  adalah  kebudayaan  dari  etnis  tersebut  harus masuk akal dan kredibel. Perhatikan di sini bahwa masuk akal tidak sama dengan  rasional.  Sesuatu  yang  masuk  akal  belum  tentu  rasional, sementara  sesuatu  yang  rasional  sudah  tentu  masuk  akal.  Ziarah  ke kuburan  dan  bersemedi  untuk  meminta  “berkat  dan  pertolongan”  dari arwah  nenek  moyang  atau  tokoh-tokoh  terkenal  yang  sudah  mati memang  tidak  rasional, tetapi  masuk  akal.  Karena itu  upacara seperti  ini dapat menjadi ekspresi dari kebudayaan nasional Indonesia Dengan  pandangan  semacam  ini  Smith  sebetulnya  memiliki pemahaman  yang  sangat  baik  mengenai  kebudayaan.  Bagi  dia, kebudayaan  adalah  sesuatu  yang  dinamis.  Sifat  dinamis  ini  ada  karena proses  pembentukannya tidak mengikuti cetak biru tertentu,  tetapi proses bersama  dari  seluruh  anggota  masyarakat.  Selain  itu,  kebudayaan  suatu bangsa  terdiri  dari  macam-macam  unsur,  an-tara  lain  unsur  repository (kebudayaan-kebudayaan  yang  sudah  ada  sekarang  dan  masih  terpelihara),  unsur  warisan  antargenerasi,  serangkaian  tradisi,  dan pembentukan  secara  aktif  makna  dan  imaji-imaji  oleh  masyarakat  itu sendiri.  Unsur  yang  terakhir  ini—pembentukan  secara  aktif  makna  dan imaji-imaji  oleh  masyarakat  itu  sendiri—terejawan-tah  dalam  nilai-nilai, mitos-mitos,  dan  simbol-simbol   yang  pantas  untuk  menyatukan sekelompok  orang  dengan  pengalaman-pengalaman  dan  kenangan- kenangan  yang  sama  dan  yang  membeda-kan  me-reka  dari  kelompok luar.
Sebagai kritik terhadap pandangan Gellner dan  Hobsbawn, pandangan Anthony  Smith  nyaris  sempurna;  karena  itu  tidak  perlu  dikritik.  Kita akan  kembali  ke  pandangan-pandangannya  ketika  membica-rakan proyeksi  nasionalisme  Indonesia  dan  pembentukan  negara  Republik Indonesia.

•  Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo
Sebagai sejarawan, Prof. Sartono Kartodirdjo tentu saja merefleksikan nasionalisme  dari  pers-pektif  Indonesia.  Tidak  dapat  dipungkiri, nasionalisme  Indonesia  timbul  sebagai  reaksi  terhadap  kolonialisme Belanda dan Jepang.
Dalam  artikelnya  berjudul  Kebangkitan  Nasional  dan  Nasionalisme Indonesia  (Lihat:  http://202.159.  18.43/jsi/1sartono.htm),  Sartono berpendapat  bahwa  nasionalisme  pertama-tama  adalah  penemuan identitas  diri.  Ini  merupakan  tingkat  yang  paling  primordial  di  mana kelompok  masyarakat  tertentu  berusaha  merumuskan  identitas  dirinya berhadapan  dengan  kelompok-kelompok  sosial  lainnya.  Identitas  diri tersebut,  begitu selesai dirumuskan,  akan  menempatkan kelompok sosial tersebut sebagai yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya.  Dengan  demikian,  proses  penemuan  identitas  diri  sekaligus  menjadi proses  penetapan  boundaries  yang  membedakan  “kelompok  kita”  dari “kelompok mereka”.
Dalam  konteks  Indonesia,  proses  penemuan  identitas  diri  ini  muncul pertama-tama  karena  pengalaman  negatif  dijajah  oleh  Belanda. Penjajahan  Belanda  telah  menghasilkan  diskriminasi  yang  melembaga yang  menimbulkan  rasa  inferioritas  dalam  diri  orang  Indonesia  sendiri. Dalam  kehidupan  sehari-hari  Belanda  secara  sengaja  mendiskriminasi orang-orang  Indonesia  melalui  pakaian,  bahasa,  tempat  tinggal,  dan simbol-simbol otoritas lainnya.
Menurut  Sartono,  pengalaman  didiskriminasi  seperti  ini  telah mendorong  kaum  terpelajar  Indonesia  untuk  membentuk  organisasi Boedi  Oetomo  (BO)  pada  tanggal  20  Mei  1908.  Pembentukan  BO  ini sendiri  adalah  antitesis  terhadap  sikap  diskrimi-natif  Belanda  sekaligus menjadi momen merumus-kan identitas kebangsaan Indonesia.
Wujud  tertinggi  dari  proses  pencarian  dan  perumusan  identitas kebangsaan  ini  adalah  munculnya  nasionalisme  politik  yang  lebih  jelas arah  dan  tujuannya.  Nasionalisme  politik  mengusung  proyek kemerdekaan Indonesia sebagai  tujuan yang  hendak  dicapai.  Nah,  begitu kesadaran kebangsaan seperti  ini muncul,  kesadaran ini  sendiri  langsung membedakan bangsa Indonesia dari bangsa Belanda.  Nasionalisme  politik  kemudian  diikuti  dengan  langkah-langkah praktis-konkret  upaya  memperjuangkan  kemerdekaan.  Seluruh perjuangan  organisasi  politik  dan  tentara  Indonesia  bermula  dari  penemuan  identitas  kebangsaan  semacam  ini.  Dalam  arti  ini  BO  memainkan peran  yang  sangat  penting  sebagai  organisasi  yang  mengintegrasikan kaum  kaum  terpelajar  dengan  kaum  elit  lainnya  dan  sebagai  simbol identitas  kolektif  masyarakat.  Boedi  Oetomo  mendefinisikan  identitas kolektif bangsa Indonesia, yakni ingin hidup merdeka dan bermartabat.

C. IDENTITAS NASIONAL

Pada  hakikatnya  manusia  hidup  tidak  dapat  memenuhi  kebutuhannya sendiri,  manusia  senantiasa  membutuhkan  orang  lain.  Pada  akhirnya  manusia hidup  secara  berkelompok-kelompok.  Manusia  dalam  bersekutu  atau berkelompok  akan  membentuk  suatu  organisasi  yang  berusaha  mengatur  dan mengarahkan  tercapainya  tujuan  hidup  yang  besar.  Dimulai  dari  lingkungan terkecil sampai pada lingkungan terbesar.

Pada  mulanya  manusia  hidup  dalam  kelompok  keluarga.  Selanjutnya mereka  membentuk  kelompok  lebih  besar  lagi  sperti  suku,  masyarakat  dan bangsa.  Kemudian  manusia  hidup  bernegara.  Mereka  membentuk  negara sebagai  persekutuan  hidupnya.  Negara  merupakan  suatu  organisasi  yang dibentuk  oleh  kelompok manusia yang memiliki cita-cita bersatu, hidup dalam daerah  tertentu,  dan  mempunyai  pemerintahan  yang  sama.  Negara dan bangsa memiliki pengertian yang berbeda. Apabila negara adalah organisasi kekuasaan dari  persekutuan  hidup  manusia  maka  bangsa  lebih  menunjuk  pada persekutuan  hidup  manusia  itu  sendiri.  Di  dunia  ini  masih  ada  bangsa  yang belum  bernegara.  Demikian  pula orang-orang  yang  telah  bernegara  yang  pada mulanya  berasal  dari  banyak  bangsa  dapat  menyatakan  dirinya  sebagai  suatu bangsa.  Baik  bangsa  maupun  negara  memiliki  ciri  khas  yang  membedakan bangsa atau negara tersebut dengan bangsa atau negara lain di dunia.
Ciri  khas  sebuah  bangsa  merupakan  identitas  dari  bangsa  yang bersangkutan.  Ciri  khas  yang  dimiliki  negara  juga  merupakan  identitas  dari negara yang bersangkutan. Identitas-identitas yang disepakati dan diterima oleh bangsa  menjadi  identitas  nasional  bangsa.Dengan  perkataan  lain,  dapat dikatakan  bahwa  hakikat  identitas  asional  kita  sebagai  bangsa  di  dalam  hidup dan  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara  adalah  Pancasila  yang  aktualisasinya tercermin  dalam  berbagai  penataan  kehidupan  kita  dalam  arti  luas,  misalnya dalam  Pembukaan  beserta  UUD  kita,  sistem  pemerintahan  yang  diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara  normatif  diterapkan  di  dalam  pergaulan,  baik  dalam  tataran  nasional maupun  internasional.  Perlu  dikemukaikan  bahwa  nilai-nilai  budaya  yang tercermin  sebagai  Identitas  Nasional  tadi  bukanlah  barang  jadi  yang  sudah selesai  dalam  kebekuan  normatif  dan  dogmatis,  melainkan  sesuatu  yang terbuka-cenderung  terus  menerus  bersemi  sejalan  dengan  hasrat  menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.
Konsekuensi dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu  yang terbuka,  dinamis,  dan  dialektis  untuk  ditafsir  dengan  diberi  makna  baru  agar tetap  relevan  dan  funsional  dalam  kondisi  aktual  yang  berkembang  dalam masyarakat.  Krisis  multidimensi  yang  kini  sedang  melanda  masyarakat  kita menyadarkan bahwa pelestarian  budaya  sebagai  upaya untuk  mengembangkan Identitas  Nasional  kita  telah  ditegaskan  sebagai  komitmen  konstitusional sebagaimana  dirumuskan  oleh  para  pendiri  negara  kita  dalam  Pembukaan, khususnya  dalam  Pasal  32  UUD  1945  beserta  penjelasannya,  yaitu  : Kebudayan  bangsa  ialah  kebudayaan  yang  timbul  sebagai buah  usaha  budaya rakyat Indonesia seluruhnya.  Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak  kebudayaan  di  daerah-daerah  seluruh  Indonesia,  terhitung  sebagai kebudayaan bangsa. Usaha  kebudayaan  harus  menuju  ke  arah  kemajuan  adab,  budaya  dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing  yang dapat  memperkembangkan atau  memperkaya  kebudayaan  bangsa  sendiri  serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa  Indonesia  “.  Kemudian  dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32:

•  Negara  memajukan  kebudayan  Nasional  Indonesia  di  tengah

peradaban  dunia  dengan  menjamin  kebebasan  masyarakat  dalam

memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.

•  Negara  menghormatio  dan  memelihara  bahasa  daerah  sebagai

kekayaan budaya nasional.

Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk

membina  dan  mengembangkan  identitas  nasional  kita  telah  diberi  dasar  dan

arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam

khasanah  ilmiah  terdapat  tidak  kurang  dari  166  definisi  sebagaimana

dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.

1.  Pengertian Identitas Nasional
Istilah  identitas  nasional  dapat  disamakan  dengan  identitas  kebangsaan. Secara  etimologis  ,  identitas  nasional  berasal  dari  kata  “identitas”  dan  “nasional”.
Kata  identitas  berasal  dari  bahasa  Inggris  identity  yang  memiliki pengertian  harfiah;  ciri,  tanda  atau  jati  diri  yang  melekat  pada  seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain.
Kata “nasional” merujuk pada  konsep kebangsaan. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah  ciri-ciri,  tanda-tanda  atau  jati  diri  yang  melekat  pada  seseorang  atau  sesuatu  yang membedakannya dengan yang lain.
Jadi,  pegertian  Identitas  Nsaional  adalah  pandangan  hidup  bangsa, kepribadian  bangsa,  filsafat  pancasila  dan  juga  sebagai  Ideologi  Negara sehingga  mempunyai  kedudukan  paling  tinggi  dalam  tatanan  kehidupan berbangsa  dan  bernegara  termasuk  disini  adalah  tatanan  hukum  yang berlaku  di  Indonesia,  dalam  arti  lain  juga  sebagai  Dasar  Negara  yang merupakan  norma  peraturan  yang  harus  dijnjung  tinggi  oleh  semua  warga Negara  tanpa  kecuali  “rule  of  law”,  yang  mengatur  mengenai  hak  dan kewajiban  warga  Negara,  demokrasi  serta  hak  asasi  manusia  yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.

2.  Unsur - Unsur Identitas Nasional
Identitas  Nasional  Indonesia  merujuk  pada  suatu bangsa yang  majemuk. Ke-majemukan  itu  merupakan  gabungan  dari  unsur-unsur  pembentuk identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa.

a.  Suku Bangsa
adalah  golongan  sosial  yang  khusus  yang  bersifat  askriptif  (ada  sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan  umur  dan jenis kelamin.  Di Indonesia  terdapat  banyak  sekali  suku  bangsa  atau  kclompok  etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.

b.  Agama
bangsa  Indonesia  dikenal  sebagai  masyarakat  yang  agamis.  Agama-agama  yang tumbuh  dan  berkembang di  Nusantara adalah  agama  Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada  masa  Orde  Baru  tidak  diakui  sebagai  agama  resmi  negara,  tetapi sejak  pemerintahan  Presiden  Abdurrahman  Wahid,  istilah  agama  resmi negara dihapuskan.

c.  Kebudayaan
adalah  pengetahuan manusia sebagai  makhluk  sosial yang  isinya adalah perangkat-perangkat  atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan  oleh  pendukung-pendukungnya  untuk  menafsirkan  dan memahami  lingkungan  yang  dihadapi  dan  digunakan  sebagai  rujukan atau pedoman  untuk bertindak (dala bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.

d.  Bahasa
merupakan  unsur  pendukung  identitas  nasional  yang  lain.  Bahasa dipahami  sebagai  sistem  perlambang  yang  secara  arbitrer  dibentuk  atas unsur-unsur  bunyi  ucapan  manusia  dan  yang  digunakan  sebagai  sarana berinteraksi antar manusia. Dari  unsur-unsur  identitas  Nasional  tersebut  dapat  dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :

a.  Identitas Fundamental,
yaitu  Pancasila  yang  merupakan  Falsafah  Bangsa,  Dasar  Negara,  dan ldeologi Negara.

b.  Identitas Instrumental,
yang  berisi  UUD  1945  dan  Tata  Perundangannya,  Bahasa  Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya".

c.  Identitas Alamiah
yang  meliputi  Negara  Kepulauan  (archipelago)  dan  pluralisme  dalam suku, bahasa, budaya, serta agama dan kepercayaan (agama). Menurut  sumber  lain  (http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa: Satu jati diri dengan dua identitas:

a.  Identitas Primordial

•  Orang dengan berbagai latar belakang  etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo, maluku, dsb.
•  Orang  dengan  berbagai  latar  belakang  agama  :  Islam,  Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan sebagainya.

b.  Identitas Nasional

•  Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
•  Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut.

Istilah  Identitas  Nasional  secara  terminologis  adalah  suatu  ciri  yang dimiliki  oleh  suatu  bangsa  yang  secara  filosofis  membedakan  bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Eksistensi  suatu  bangsa  pada  era  globalisasi  yang  sangat  kuat  terutama karena  pengaruh  kekuasaan  internasional.  Menurut  Berger  dalam  The Capitalist  Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme  yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan  menjadi  sistem  internasional yang  menentukan nasib ekonomi sebagian besar  bangsa-bangsa  di dunia,  dan  secara tidak  langsung  juga  nasib,  social, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fakuyama membawa perubahan  suatu  ideologi,  yaitu  dari  ideologi  partikular  kearah  ideology universal  dan  dalam  kondisi  seperti  ini  kapitalismelah  yang  akan menguasainya.
Dalam  kondisi  seperti  ini,  negara  nasional  akan  dikuasai  oleh  negara transnasional  yang  lazimnya  didasari  oleh  negara-negara  dengan  prinsip kapitalisme.  Konsekuensinya,  negara-negara  kebangsaan  lambat  laun  akan semakin  terdesak.  Namun  demikian,  dalam  menghadapi  proses  perubahan tersebut  sangat tergantung  kepada  kemampuan bangsa itu  sendiri.  Menurut Toyenbee,  cirri  khas  suatu  bangsa  yang  merupakan  local  genius  dalam menghadapi  pengaruh  budaya  asing  akan  menghadapi  Challence  dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut  akan  punah  dan  hal  ini sebagaimana  terjadi  pada  bangsa  Aborigin di  Australia  dan  bangfsa  Indian  di  Amerika.  Namun  demikian  jika Challance  kecil  sementara  response  besar  maka  bangsa  tersebut  tidak  akan berkembang  menjadi  bangsa  yang  kreatif.  Oleh  karena  itu  agar  bangsa Indonesia  tetap  eksis  dalam  menghadapi  globalisasi  maka  harus  tetap meletakkan  jati  diri  dan  identitas  nasional  yang  merupakan  kepribadian bangsa  Indonesia  sebagai  dasar  pengembangan  kreatifitas  budaya globalisasi.  Sebagaimana  terjadi  di  berbagai  negara  di  dunia,  justru  dalam era  globalisasi  dengan  penuh  tantangan  yang  cenderung  menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.

3.  Identitas Nasional Indonesia

a.  Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
b.  Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
c.  Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
d.  Lambang Negara yaitu Pancasila
e.  Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
f.  Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
g.  Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
h.  Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
i.  Konsepsi Wawasan Nusantara
j.  Kebudayaan  daerah  yang  telah  diterima  sebagai  Kebudayaan  Nasional

4.  Faktor-Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional Faktor-faktor  yang  mendukung  kelahiran  identitas  nasional  bangsa Indonesia meliputi:
a.  Faktor  Objektif,  yang  meliputi  faktor  geografis-ekologis  dan demografis
b.  Faktor  Subjektif,  yaitu  faktor  historis, social,  politik,  dan  kebudayaan
yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002) Menurut  Robert  de  Ventos,  dikutip  Manuel  Castelles  dalam  bukunya “The  Power  of  Identity”  (Suryo,  2002),  munculnya  identitas  nasional  suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis ada 4 faktor penting, yaitu:
a.  Faktor  primer,  mencakup  etnisitas,  territorial,  bahasa,  agama,  dan yang sejenisnya.
b.  Faktor  pendorong,  meliputi  pembangunan  komunikasi  dan  teknologi,lahirnya  angkatan  bersenjata  modern  dan  pembanguanan  lainnya dalam kehidupan bernegara.
c.  Faktor  penarik,  mencakup  modifikasi  bahasa  dalam  gramatika  yang resmi,  tumbuhnya  birokrasi,  dan  pemantapan  sistem  pendidikan nasional
d.  Faktor  reaktif,  pada  dasarnya  tercakup  dalam  proses  pembentukan identitas  nasional  bangsa  Indonesia yang  telah berkembang dari masa sebelum  bangsa  Indonesia  mencapai  kemerdekaan  dari  penjajahan bangsa lain.
Faktor  pembentukan  Identitas  Bersama.  Proses  pembentukan  bangsa-negara  membutuhkan  identitas-identitas  untuk  menyataukan  masyarakat bangsa  yang  bersangkutan.  Faktor-faktor  yang  diperkirakan  menjadi identitas bersama suatu bangsa, yaitu :

a.  Primordial
b.  Sakral
c.  Tokoh
d.  Bhinneka Tunggal Ika
e.  Sejarah
f.  Perkembangan Ekonomi
g.  Kelembagaan
Faktor-faktor  penting  bagi  pembentukan  bangsa  Indonesia  sebagai
berikut :

a.  Adanya  persamaan  nasib,  yaitu  penderitaan  bersama  dibawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun
b.  Adanya  keinginan  bersama  untuk  merdeka  ,  melepaskan  diri  dari belenggu penjajahan
c.  Adanya  kesatuan  tempat  tinggal  ,  yaitu  wilayah  nusantara  yang membentang dari Sabang sampai Merauke
d.  Adanya  cita-cita  bersama  untuk  mencapai  kemakmuran  dan  keadilan sebagai suatu bangsa

5.  Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.
Bangsa  Indonesia  bercita-cita  mewujudkan  negara  yang  bersatu, berdaulat,  adil  dan  makmur.  Dengan  rumusan  singkat,  negara  Indonesia bercita-cita  mewujudkan  masyarakat  Indonesia  yang  adil  dan  makmur berdasarkan Pancasila dan  UUD  1945.  Hal  ini sesuai dengan amanat dalam Alenia  II  Pembukaan  UUD  1945  yaitu  negara  Indonesia  yang  merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Tujuan  Negara  Indonesia  selanjutnya  terjabar  dalam  alenia  IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :

a.  Melindungi  seganap  bangsa  Indonesia  dan  seluruh  tumpah  darah Indonesia
b.  Memajukan kesejahteraan umum
c.  Mencerdaskan Kehidupan bangsa
d.  Ikut  melaksanakan  ketertiban  dunia  yang  berdasarkan  kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial Adapun  visi  bangsa  Indonesia adalah  terwujudnya  masyarakat  Indonesia yang  damai  ,  demokratis,  berkeadilan,  berdaya  saing,  maju  dan  sejahtera, dalam  wadah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  yang  didukung  oleh manusia  Indonesia  yang  sehat,  mandiri,  beriman,  bertakwa  dan  berahklak mulia, cinta tanah air, berkesadaran  hukum dan lingkungan, mengausai ilmu pengetahuandan  teknologi,  serta  memiliki  etos  kerja  yang  tinggi  serta berdisiplin.
Setelah  tidak  adanya GBHN  makan  berdasarkan Rencana  Pembangunan Jangka  mengenah  (RPJM)  Nasional  2004-2009,  disebutkan  bahwa  Visi
pembangunan nasional adalah :
a.  Terwujudnya  kehidupan  masyarakat  ,  bangsa  dan  negara  yang  aman, bersatu, rukun dan damai.
b.  Terwujudnya  masyarakat  ,  bangsa  dan  negara  yang  menjujung  tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
c.  Terwujudnya  perekonomian  yang  mampu  menyediakan  kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.

 6.  Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa  Indonesia  sebagai  salah  satu  bangsa  dari  masyarakat internasional,  memilki  sejarah  serta  prinsip  dalam  hidupnya  yang  berbeda dengan bangsa-bangsa lain  di dunia.  Tatkala bangsa Indonesia  berkembang menujufase  nasionalisme modern, diletakanlan  prinsip-prinsip  dasar filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup berbangsa dan bernagara.   Prinsip-prinsip  dasar  itu  ditemukan  oleh  para  pendiri  bangsa  yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi  suatu  prinsip  dasar  filsafat  Negara  yaitu  Pancasila.  Jadi,  filsafat suatu  bangsa  dan  Negara  berakar  pada  pandangan  hidup  yang  bersumber pada kepribadiannya sendiri.  Dapat pula  dikatakan pula bahwa pancasila  sebagai dasar filsafat bangsa dan  Negara  Indonesia pada  hakikatnya  bersumber kepada nilai-nilai budaya dan  keagamaan  yang  dimiliki  oleh  bangsa  Indonesia  sebagai  kepribadian bangsa.  Jadi,  filsafat  pancasila  itu  bukan  muncul  secara  tiba-tiba  dan dipaksakan suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas Nasional.  Menurut sumber lain :
(http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52)
disebutkan  bahwa:  kegagalan  dalam  menjalankan  dan  medistribusikan output  berbagia  agenda  pembangnan  nasional  secaralebih  adil  akan berdampak  negatif  pada  persatuan  dan  kesatuan  bangsa.  Pada  titik  inilah semangat  Nasionalisme  akan  menjadi  slah  satu  elemen  utama  dalam memperkuat  eksistensi  Negara/Bangsa.  Study  Robert  I  Rotberg  secara eksplisit  mengidentifikasikan  salah  satu  karakteristik  penting Negara  gagal (failed  states)  adalah  ketidakmampuan  negara  mengelola  identitas  Negara    yang  tercermin  dalam  semangat  nasionalisme  dalam  menyelesaikan berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra dan interstatewar secara hamper bersamaan.  Penataan,  pengelolaan,  bahkan  pengembangan  nasionalisme dalam  identitas  nasional,  dengan  demikian  akan  menjadi  prasyarat  utama bagi  upaya  menciptakan  sebuah  Negara  kuat  (strong  state).  Fenomena globalisasi  dengan  berbagai  macam  aspeknya  seakan  telah  meluluhkan batas-batas  tradisional  antarnegara,  menghapus  jarak  fisik  antar  negara  bahkan  nasionalisme  sebuah  negara.  Alhasil,  konflik  komunal  menjadi fenomena umum  yang  terjadi  diberbagai  belahan  dunia, khususnya  negara- negara berkembang.  Konflik-konflik  serupa  juga  melanda  Indonesia.  Dalam  konteks Indonesia,  konflik-konflik  ini  kian  diperuncing  karekteristik  geografis Indonesia. Berbagai tindakan  kekerasan (separatisme) yang dipicu sentimen etnonasionalis yang terjadi  di  berbagai wilayah Indonesia bahkan menyedot perhatian  internasional.  Nasionalisme  bukan  saja  dapat  dipandang  sebagai sikap  untuk  siap  mengorbankan  jiwa  raga  guna  mempertahankan  Negara dan  kedaulatan  nasional,  tetapi  juga  bermakna  sikap  kritis  untuk  member  kontribusi positif terhadap segala aspek pembangunan nasional.  Dengan  kata  lain,  sikap  nasionalisame  membutuhkan  sebuah  wisdom dalam  mlihat  segala  kekurangan  yang  masih  kita  miliki  dalam  kehidupan bermasyarakat,  berbangsa,  dan  bernegara,  dan  sekaligus  kemauan  untuk terus mengoreksi diri demi tercapainya cita-cita nasional. Makna  falsafah  dalam  pembukaan  UUD  1945,  yang  berbunyi  sebagai berikut:

a.  Alinea pertama menyatakan:  “Bahwa  sesungguhnya  kemerdekaan  itu  hak  segala  bangsa  dan  oleh sebab  itu maka  penjajahan  di atas dunia harus  dihapuskan ,  karena tidak sesuai  dengan  perikemanusiaan  dan  perikeadilan.  Maknanya, kemerdekaan  adalah  hak  semua  bangsa  dan  penjajahan  bertentangan dengan hak asasi manusia.
b.  Alinea kedua menyebutkan: “  dan  perjuangan  kemerdekaaan  Indonesia  telah  sampailah  kepada  saat yang  berbahagia dengan  selamat  sentosa  mengantarkan  rakyat  Indonesia kepada  depan  gerbang  kemerdekaan  Negara  Indonesia  yang  merdeka,berdaulat,  adil, dan makmur. Maknanya:  adanya masa depan  yang harus  diraih (cita-cita).
c.  Alinea ketiga menyebutkan:  “  atas  berkat  rahmat  Allah  yang  maha  kuasa  dan  dengan  didorong  oleh keinginan  luhur  supaya  berkehidupan  kebangsaan  yang  bebas  maka rakyat  Indonesia  menyatakan  dengan  ini  kemerdekaannya.  Maknanya, bila  Negara  ingin  mencapai  cita-cita  maka  kehidupan  berbangsa  dan bernegara  harus  mendapat  ridha  Allah  SWT  yang  merupakan  dorongan spiritual.
d.  Alinea keempat menyebutkan:  “  kemudian  daripada  itu  untuk  membentuk  suatu  pemerintahan  Negara Indonesia  yang  melindungi  segenap  bangsa  Indonesia  dan  seluruh  tumpah  darah  Indonesia  dan  untuk  memajukan  kesejahteraan  umum, menmcerdaskan  kehidupan  bangsa,  dan  ikut  melaksanakan  ketertiban dunia  yang  berdasarkan  kemerdekaan,  perdamaian  abadi  dan  keadilan sosial,  maka  disusunlah  kemerdekaan  kebangsaan  Indonesia  itu  dalam susunan  Negara  republik  Indonesia  yang  berkedaulatan  rakyat  dan berdasarkan  kepada:  ketuhanan  yang  maha  esa,  kemanusiaan  yang  adil dan  beradab,  persatuan  Indonesia  dan  kerakyatan  yang  dipimpin  oleh hikmat  kebijaksanaan  dalam  permusyawaratan/perwakilan,  serta  dengan mewujudkan  keadilan  sosial  bagi  seluruh  rakyat  Indonesia.  Alinea  ini mempertegas cita-cita yang  harus  dicapai oleh bangsa Indonesia  melalui wadah Negara kesatuan republik Indonesia.

7.  Keterkaitan Identitas Nasional dengan Globalisasi
Identitas  nasional  pada  hakikatnya  merupakan  manifestasi  nilai-nilai budaya  yang  tumbuh  dan  berkembang  dalam  berbagai  aspek  kehidupan  suatu  bangsa  dengan  ciri-ciri  khas.  Dengan  ciri-ciri  khas  tersebut,  suatu  bangsa  berbeda  dengan  bangsa  lain  dalam  hidup  dan  kehidupannya. Diletakkan  dalam  konteks  Indonesia,  maka  Identitas  Nasional  itu merupakan  manifestasi  nilai-nilai  budaya  yang  sudah  tumbuh  dan  berkembang  sebelum  masuknya  agama-agama  besar  di  bumi  nusantara  ini  dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan  Pancasila  dan  roh  Bhinneka  Tunggal  Ika  sebagai  dasar  dan  arah  pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dengan  perkataan  lain,  dapat  dikatakan  bahwa  hakikat  identitas  asional  kita sebagai  bangsa di dalam hidup dan kehidupan  berbangsa  dan bernegara  adalah  Pancasila  yang  aktualisasinya  tercermin  dalam  berbagai  penataan kehidupan  kita  dalam  arti  luas,  misalnya  dalam  Pembukaan  beserta  UUD  kita,  sistem  pemerintahan  yang  diterapkan,  nilai-nilai  etik,  moral,  tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perlu dikemukaikan  bahwa  nilai-nilai  budaya  yang  tercermin  sebagai  Identitas Nasional  tadi  bukanlah  barang  jadi  yang  sudah  selesai  dalam  kebekuan  normatif  dan  dogmatis,  melainkan  sesuatu  yang  terbuka-cenderung  terus  menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang  dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi  dan  implikasinya  adalah  identitas  nasional  juga  sesuatu   yang  terbuka,  dinamis,  dan  dialektis  untuk  ditafsir  dengan  diberi  makna  baru  agar  tetap  relevan  dan  funsional  dalam  kondisi  aktual  yang berkembang dalam masyarakat.   Krisis  multidimensi  yang  kini  sedang  melanda  masyarakat  kita  menyadarkan  bahwa  pelestarian  budaya  sebagai  upaya  untuk mengembangkan  Identitas Nasional  kita  telah ditegaskan  sebagai komitmen konstitusional  sebagaimana dirumuskan oleh  para pendiri negara kita dalaM Pembukaan,  khususnya  dalam  Pasal  32  UUD  1945  beserta  penjelasannya,
yaitu : “Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia “ yang diberi penjelasan :
”  Kebudayan  bangsa  ialah  kebudayaan  yang  timbul  sebagai  buah  usaha budaya  rakyat  Indonesia  seluruhnya.  Kebudayaan  lama  dan  asli  terdapat Bebagi  puncak-puncak  kebudayaan  di  daerah-daerah  seluruh  Indonesia, terhitung  sebagai  kebudayaan  bangsa.  Usaha  kebudayaan  harus  menuju  ke arah  kemajuan  adab,  budaya  dan  persatuan  dengan  tidak  menolak  bahan- bahan  baru  dari  kebudayaan  asing  yang  dapat  memperkembangkan  atau memperkaya  kebudayaan  bangsa  sendiri  serta  mempertinggi  derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Kemudian  dalam  UUD  1945  yang  diamandemen  dalam  satu  naskah disebutkan dalam Pasal 32
a.  Negara  memajukan  kebudayan  Nasional  Indonesia  di  tengah  peradaban
dunia  dengan  menjamin  kebebasan  masyarakat  dalam  memeliharra  dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
b.  Negara  menghormati  dan  memelihara  bahasa  daerah  sebagai  kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina  dan mengembangkan  identitas nasional kita telah  diberi dasar dan arahnya,  terlepas  dari  apa  dan  bagaimana  kebudayaan  itu  dipahami  yang  dalam khasanah  ilmiah terdapat  tidak  kurang  dari  166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.
Kata  "globalisasi"  diambil  dari  kata  global,  yang  maknanya  ialah   universal.  Globalisasi belum memiliki  definisi  yang  mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition),  sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya.  Ada  yang  memandangnya  sebagai  suatu  proses  sosial,  atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara  di  dunia  makin  terikat  satu  sama  lain,  mewujudkan  satu  tatanan kehidupan  baru  atau  kesatuan  ko-eksistensi  dengan  menyingkirkan  batas- batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.Globalisasi  mempengaruhi  hampir semua  aspek  yang ada di  masyarakat,  termasuk  diantaranya  aspek  budaya.  Kebudayaan  dapat  diartikan  sebagai nilai-nilai  (values)  yang  dianut  oleh  masyarakat  ataupun  persepsi  yang   dimiliki  oleh  warga  masyarakat  terhadap  berbagai  hal.  Baik  nilai-nilai maupun  persepsi  berkaitan  dengan  aspek-aspek  kejiwaan/psikologis,  yaitu apa  yang  terdapat  dalam  alam  pikiran.
Aspask-aspek  kejiwaan  ini  menjadi   penting  artinya  apabila  disadari,  bahwa  tingkah  laku  seseorang  sangat  dipengaruhi  oleh  apa  yang  ada  dalam  alam  pikiran  orang  yang  bersangkutan.  Sebagai  salah  satu  hasil  pemikiran  dan  penemuan  seseorang  adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.  Globalisasi  sebagai  sebuah  gejala  tersebarnya  nilai-nilai  dan  budaya tertentu  keseluruh  dunia  (sehingga  menjadi  budaya  dunia  atau  world culture)  telah  terlihat  semenjak  lama.  Cikal  bakal  dari  persebaran  budaya  dunia  ini  dapat  ditelusuri  dari  perjalanan  para  penjelajah  Eropa  Barat  ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun,  perkembangan  globalisasi  kebudayaan  secara  intensif  terjadi  pada  awal  ke-20  dengan  berkembangnya  teknologi  komunikasi.  Kontak  melalui media  menggantikan  kontak fisik  sebagai  sarana utama komunikasi antarbangsa.  Perubahan  tersebut  menjadikan  komunikasi  antarbangsa  lebih mudah  dilakukan,  hal   ni  menyebabkan  semakin  cepatnya  perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
a.  Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
b.  Penyebaran  prinsip  multikebudayaan (multiculturalism),  dan  kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
c.  Berkembangnya turisme dan pariwisata.
d.  Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
e.  Berkembangnya  mode  yang  berskala  global,  seperti  pakaian,  film  dan lain lain.
f.  Bertambah  banyaknya  event-event  berskala  global,  seperti  Piala  Dunia FIFA.
Munculnya arus globalisme yang dalam hal ini  bagi sebuah Negara  yang sedang  berkembang akan  mengancam  eksistensinya sebagai  sebuah  bangsa. Sebagai  bangsa  yang  masih  dalam  tahap  berkembang  kita  memang  tidak suka  dengan  globalisasi  tetapi  kita  tidak  bisa  menghindarinya.  Globalisasi harus kita  jalani  ibarat kita  menaklukan  seekor  kuda  liar  kita yang  berhasil menunggangi  kuda  tersebut  atau  kuda  tersebut  yang  malah  menunggangi kita.  Mampu  tidaknya  kita  menjawab  tantangan  globalisasi  adalah bagaimana  kita  bisa  memahami  dan  malaksanakan  Pancasila  dalam  setiap kita berpikir dan bertindak. Persolan  utama  Indonesia  dalam  mengarungi  lautan  Global  ini  adalah masih  banyaknya  kemiskinan,  kebodohan  dan  kesenjangan  sosial  yang  masih  lebar.  Dari  beberapa  persoalan  diatas  apabila  kita  mampu  memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa  menjalankan  dalam  kehidupan sehari-hari, maka globalisasi  akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa terjaga.

8.  Keterkaitan Identitas Nasional dengan Integrasi Nasional Indonesia Berbagai  peristiwa  sejarah  di negeri  ini  telah menunjukkan bahwa  hanya  persatuan  dan  kesatuanlah  yang  membawa  negeri  Indonesia  ini  menjadi  negeri  yang  besar.  Besarnya  kerajaan  Sriwijaya  dan  Majapahit  tidaklah mengalami  proses  kejayaan  yang  cukup  lama,  karena  pada  waktu  itu persatuan  cenderung  dipaksakan  melalui  ekspansi  perang  dengan menundukkan Negara- Negara tetangga.
Sangat  berbeda  dengan  proklamasi  kemerdekaan  Indonesia  17  Agustus 1945  yang  sebelum  proklamasi  tersebut  telah  didasari  keinginan  kuat  dari seluruh  elemen  bangsa  Indonesia  untuk  bersatu  dengan  mewujudkan  satu cita-cita  yaitu  bertanah  air  satu  tanah  air  Indonesia,  berbangsa  satu  bangsa Indonesia  dan  menggunakan  bahasa  melayu  sebagai  bahasa  persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928). Dilihat dari banyak ragamnya suku, bangsa, ras, bahasa dan corak budayayang  ada  membuat  bangsa  ini  menjadi  rentan  pergesekan,  oleh  karena  itu para pendiri Indonesia telah menciptakan Pancasila sebagai dasar bernegara.  Dilihat  d ari  bentuknya  Pancasila  merupakan  pengalaman  sejarah  masa  lalu  untuk  menuju  sebuah  cita-cita  yang  luhur.  Pancasila  dilambangkan seekor burung Garuda yang mana burung tersebut dalam kisah pewayangan  melambangkan  anak  yang  berjuang  mencari  air  suci  untuk  ibunya,  sedangkan  pita  bertuliskan  Bhineka  Tunggal  Ika  berartikan  berbeda  tetapi tetap  satu.  Kemudian  tergantung  di  dada  burung  tersebut  sebuah  perisai yang  mana  biasanya  perisai  adalah  alat  untuk  menahan  serangan  perang  pada  jaman  dulu,  jadi  kalau  diartikan  untuk  menjaga  integritas  bangsa Indonesia  baik  itu  ancaman  dari  dalam  maupun  dari  luar  yaitu  dengan menggunakan perisai yang didalam nya terkandung lima sila. Dalam pidato bahasa  Inggris  di Washingt n  Sukarno  telah  mendapatkan apresiasi  yang  luar  biasa  dari  bangsa  Amerika  yang  mana  Sukarno  pada waktu  itu  mengenalkan  ideologi  Indonesia  yaitu  Pancasila.  Panca  berarti Lima  dan  sila  berarti  landasan atau  dasar  yang mana  dasar  pertama Negara Indonesia  ini  dalah  berdasar  Ketuhanan,  kedua  berdasar  Kemanusiaan, ketiga  persatuan  ,  dan  keempat  adalah  demokrasi,  serta  kelima  adalah keadilan social. Seringkali  bangsa  kita  ini  mengalami  disintegrasi  dan  kemudian  bersatu kembali  konon  kata  beberapa  tokoh  adalah  berkat  kesaktian  Pancasila. Sampai  pemerintah  juga  menetapkan  hari  kesaktian  pancasila  tanggal  1 Oktober.  Hal  ini  menunjukan  bahwa  sebenarnya  Pancasila  hingga  saat  ini masih kuat relevansinya bagi sebuah ideology Negara seperti Indonesia ini. Untuk itu dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional  kita  sebagai  bangsa  di  dalam  hidup  dan  kehidupan  berbangsa  dan bernegara  adalah  Pancasila  yang  aktualisasinya  tercermin  dalam  berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD  kita,  sistem  pemerintahan  yang  diterapkan,  nilai-nilai  etik,  moral, tradisi,  bahasa,  mitos,  ideologi,  dan  lain  sebagainya  yang  secara  normatif diterapkan  di  dalam  pergaulan,  baik  dalam  tataran  nasional  maupun internasional.

BAB III
KESIMPULAN
Identitas  bagi  kebanyakan  orang  adalah  selembar  kartu  nama  yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Secara  etimologis,  kata  nation  berakar  dari  kata  Bahasa  Latin  natio.  Kata natio  sendiri  memiliki  akar  kata  nasci,  yang  dalam  penggunaan  klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif). Identitas  Nasional   secara  terminologis  adalah  suatu ciri yang  dimiliki oleh suatu  bangsa  yang  secara  filosofis  membedakan  bangsa  tersebut  dengan  bangsa yang  lain.  Istilah  kepribadian  sebagai  suatu  identitas  adalah  keseluruhan  atau totalitas  dari  faktor-faktor  biologis,  psikologis  dan  sosiologis  yang  mendasari tingkah  laku  individu.  Sedangkan  bangsa  pada  hakikatnya  adalah  sekelompok besar  manusia  yang  mempunyai  persamaan  nasib  dalam  proses  sejarahnya, sehingga  mempunyai  persamaan  watak  atau  karakter  yang  kuat  untuk  bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagi suatu “kesatuan nasional”. Oleh  karena  itu, agar  suatu  bangsa  khususnya  bangsa  Indonesia tetap  eksis dalam  menghadapi  globalisasi  maka  harus  tetap  meletakan  jatidiri  dan  identitas nasional  yang  merupakan  kepribadian  bangsa  Indonesia  sebagai  dasar pengembangan  kreatifitas  budaya  globalisasi.  Sebagaimana  terjadi  di  berbagai negara  di  dunia,  justru  dalam  era  globalisasi  dengan  penuh  tantangan  yang cenderung  menghancurkan  nasionalisme,  muncullah  kebangkitan  kembali kesadaran nasional.

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Ditulis Oleh : putrajunio ~ The Secret Blog

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) TENTANG IDENTITAS NASIONAL yang ditulis oleh The Secret Blog yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 5:13 PM

0 comments :

Post a Comment

The Secret Blog © 2014. All Rights Reserved.
SEOCIPS Areasatu