BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi system internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan (Berger, 1988). Perubahan global ini menurut Fukuyama (1989 : 48), membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideologi universal, dan dalam kondisi seperti ini, kapitalismelah yang akan menguasainya.
Oleh karena itu, agar suatu bangsa khususnya bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakan jatidiri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian identitas?
2) Apa pengertian nasional/nasionalisme?
3) Bagaimana identitas nasional
C. Tujuan Makalah
- Sebagai media untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai identitas bangsa Indonesia - Sebagai salah satu cara belajar yang lebih fariatif agar tidak menimbulkan kejenuhan dalam proses belajar, dengan cara mencari dan menganalisis informasi dari berbagai sumber dan mengelolanya untuk dalap dijadikan pengetahuan tambahan.
D. Prosedur Penulisan
Dalam pengumpulan data atau keterangan-keterangan yang diperlukan dalam menyusun makalah ini, penyusun menggunakan metode studi pustaka yaitu metode pengumpulan data dengan cara belajar di perpustakaan dengan jalan mengumpulkan catatan yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang ditulis.
BAB II
IDENTITAS NASIONAL
A. IDENTITAS
1. Pengertian Identitas
Secara etimologis,identitas berasal dari kata “identity” yang memiliki arti harfiah: ciri,tanda,atau jati diri yang melekat pada seseorang,kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Dengan demikian identitas berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang dimiliki seorang kelompok, masyarakat bahkan suatu bangsa sehingga dengan identitas itu bisa membedakan dengan yang lain.
Dalam terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku pula pada suatu kelompok.
Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Memperhatikan khaos yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, saya merasa ada perlunya untuk mendalami makna identitas. Karena identitas ternyata adalah biang yang memporakporandakan berbagai negara, memecahbelahkan bangsa-bangsa, dan memposisikan manusia yang paling tidak politis sekali pun di satu sudut ruang berseberangan dengan berbagai perbedaan yang berpotensi konflik. Apa yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah terjadi sejak kita dilahirkan. Tanpa kita sadari ketika kita dilahirkansebuah predikat langsung melekat pada keberadaan kita. Nama kita mengikat kita pada satu keluarga, satu kepercayaan, satu komunitas dan satu bangsa.
Identitas adalah sebentang Mobius yang melilit. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba yang kita wariskan dari leluhurkita sejak zaman Neolitik. Sebaliknya, kita bisa memaknakan identitas dengan parameter yang lebih luas. Identitas, menurut Amin Maalouf, sekaligus inklusif dan eksklusif. Sebagai contoh, sebagai warga Indonesia beretnis Cina, maka saya dianggap warga minoritas. Tetapi sebagai anak turunan Cina, saya termasuk golongan warga terbesar di dunia. Perbedaan perspektif ini tergantung dari sudut referensi mana kita meneropong kedudukan kita. Sebaliknya, sebagai anak turunan Cina, dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut sebuah film tentang seorang pegawai kecil di bagian arsip dan bermukim di kawasan Lebak Bulus, saya menjadi sangat unik, karena tidak ada manusia lain selain saya yang menyandang predikat seperti ini. Tetapi kalau kita meneliti ini lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan bahwa individualitas ini sebenarnya tidak secara keseluruhan murni, karena ia juga bermuatan berbagai elemen eksklusif yang bertautan dengan berbagai manusia, lepas dari kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh, saya berbagi satu hobi membaca dengan berjuta-juta manusia lain. Saya juga punya kesamaan seperti mereka yang suka bakmi, tahu, ataupun kue putu atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.Perumpamaan di atas secara gamblang menunjukkan betapa fleksibel sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro, keberadaan kita mau tidak mau bertautan dengan begitu banyak manusia dari latar yang berbeda-beda dan tidak terbatas oleh demarkasi lokasi ataupun bangsa. Ironisnya, secara individu pun kita tidak mungkin dikelompokkan dalam satu kelompok karena pada dasarnya kita semua sangat berbeda. Ini terbukti beberapa waktu yang lalu oleh penelitian proyek genome manusia, di mana ditegaskan bahwa DNA manusia adalah sebuah keajaiban dari ribuan permutasi yang sama sekali tidak mungkin direplikasi. DNA kita ibaratnya hasil dari sekali tekanan tombol mesin jackpot dengan ratusan ikon yang berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama, sama sekali tidak ada. Ilmu pengetahuan yang tadinya kita harapkan sebagai bintang penyelamat untuk membebaskan kita dari ortodoksi identitas, ternyata malah membuat kita semakin terjerumus dalam jurang pemisah. Pengetahuan, menurut Michel Foucault, hanya bisa membangkitkan lebih banyak pengetahuan. Michel Foucault memberi contoh seperti ini: seorang dokter yang kena flu tahu bagaimana mengobati dirinya dengan memilih obat yang tepat, tapi untuk kesehatan jiwanya ia tidak mampu memberikan preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia membutuhkan lebih dari obat, ia perlu melakukan pelatihan-pelatihan “ tehkne tou biou” untuk mencapai satu titik konversi “metanoai”. Tehkne tou biou ini bukan sebuah antidote, seperti antidote untuk flu, tetapi sebuah perjalanan spiritualitas yang perlu ditekuni dalam hidup masing-masing. Pengetahuan dalam hal ini tidak mampu banyak membantu, karena ia justru mengakibatkan kita terperangkap dalam sejarah, tradisi dan segala embel- embel kepurbaan yang semakin mengikat kita pada satu identitas. Ia tidak mendorong kita untuk lebih mendekat pada realitas kehidupan dalam arti sebenarnya. Alain Badiou dalam bukunya Ethics mengupas apa yang disebutnya sebagai akronim usang. Seperti kata-kata Keadilan, Demokrasi, Cinta, dan dalam hal ini Identitas juga bisa kita masukkan dalam deretan akronim abstrak ini. Sebagai sebuah term kata Identitas seperti juga Keadilan tidak punya makna yang konkret. Karena ia hanya sebuah term abstrak. Badiou ingin menjelaskan kepada kita bahwa ketika sebuah kegiatan dibakukan menjadi sebuah simbol ia kehilangan makna aslinya. Ketika kita mengatakan Keadilan maka makna asli dari kata itu, yaitu berlaku adil, segera kehilangan makna aslinya. Kita tenggelam dalam sebuah semesta makna yang begitu luas sehingga keaslian makna itu sendiri menjadi kabur. Kita lupa bahwa Identitas berangkat dari kata kerja yang punya makna memperkenalkan diri, mengidentifikan diri orang lain, atau menyatukan diri dengan orang lain. Dengan kata lain, dengan merangkul kata identitas kita menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu. Identitas juga bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan orang lain. Identitas manusia selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas dalam hal ini terkandung kesemuan yang menjadi kenyataan ketika kita mengkonfirmasi predikat-predikat dari orang lain. Ini paradoks yang kita bawa dari lahir yang akan terus melekat kecuali kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari tirani penafsiran Yang Lain. Dari penelitian proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama seperti orang lain, sekalipun kita berusaha keras. Keunikan setiap individu sekaligus adalah kekuatan diri dan kelemahannya. Kekuatan karena dengan memahami keunikan itu kita tidak tergoyahkan oleh penafsiran Yang Lain. Kelemahannya adalah ketika kita berupaya untuk mengukuhkan identitas itu.
Seperti jalan menuju kesejahteraan jiwa harus melewati tehkne tou biou, pengasahan subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu bekerja keras. Langkah pertama adalah membebaskan diri dari identitas. Manusia bebas identitas tidak memandang perbatasan negara, perbedaan suku atau pun kepercayaan sebagai jurang pemisah. Karena manusia pada dasarnya terikat dalam kebersamaan yang tak terelakkan, yaitu sebagai kelompok manusia berakal sehat dengan nilai-nilai kebaikan hakiki, mengemban visi yang sama, yakni dunia yang lestari dan damai. Dunia tanpa perbatasan dan identitas memungkinkan manusia untuk berpadu dalam satu komunitas dunia, bahu membahu menyelesaikan persoalan satu kasus demi satu kasus, tidak saling menyalip demi kepentingan bangsa, suku mau pun kepercayaan masing-masing. Alain Badiou menyimpulkan dengan elegan, “Satu bertaut dalam Dua. Kebersamaan berada dalam pergelutan perbedaan.†Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa yang perlu kita lakukan bukan menyatu dengan orang banyak tetapi berusaha keras untuk mengembangkan simpati dan empati pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan. Dari satu individu ke individu yang lain. Tanpa baliho yang meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.
Imajinasi juga sangat berperan dalam pendekatan kita pada Yang Lain. Dalam novelnya Identity, Milan Kundera memberi sebuah contoh bagaimana paras seseorang yang tak dikenal di sebuah kafe meninggalkan impresi yang begitu dalam pada tokoh utama novel sehingga ia berkembang dan menjadi seorang karakter yang terasa begitu akrab, seperti seseorang yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun. Melalui imajinasi, simpati dan empati kita akan terpicu, terlepas dari belenggu pradugaan dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada yang lain.
2. Pentingnya Sebuah Identitas
Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra organisasi. Identitas dapat berasal dari sejarah, visi atau cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Berbicara mengenai identitas sebenarnya itu adalah sebuah definisi diri dan itu bisa di berikan oleh orang lain atau kita yang memberikanya. Pelacakan identitas akan menerangkan tentang siapa kita, karena pelacakan identitas adalah upaya pendefinisian diri. Baik definisi dari orang lain maupun dari kita sendiri. Ketika kita berbicara identitas maka mau tidak mau kita harus melihat ke masa lalu, di dalam konteks, identitas itu bukanlah sebuah proses produksi di ruang vakum tetapi di dalam relasi-relasi kita dengan orang lain. Kemudian kemajemukan adalah yang mencerminkan ketinggalan diri, definisi siapa kita dan yang bukan kita adalah definisi yang di lakukan sendiri dan definisi diri yang di nisbahkan oleh pihak lain yang berelasi dengan kita. Cara kita mendefinisikan diri akan sangat berpengaruh terhadap pikiran, tindakan dan keputusan yang kita ambil. Cerita menarik yang beredar di internet menceritakan tentang seekor anak elang yang dipelihara dan dibesarkan keluarga ayam. Tentu saja keluarga ayam ini mengajarkan kepada sang anak elang tentang segala sesuatu yang menyangkut ke-ayam- an, antara lain ayam memakan biji-bijian, ayam tidak bisa terbang tinggi, ayam hanya bisa begini, dan begitu saja. Pada suatu waktu, si anak elang ini melihat burung elang yang gagah melintas di angkasa. Dengan decak kagum, sang anak elang berkata, “Alangkah gagah dan anggunnya burung itu.” Lalu, keluarga ayam yang mendengar komentar sang anak elang berkata, “Itu adalah burung elang. Ia memang memiliki kemampuan untuk terbang tinggi di angkasa. Sedangkan kita adalah ayam. Ayam hanya bisa terbang rendah dan tak akan pernah terbang tinggi seperti elang. Singkat kata, sang anak elang menerima bulat-bulat apa yang diajarkan keluarga ayam. Ia akhirnya mendefinisikan dirinya sebagai anak ayam. Karena ia mendefinisikan diri sebagai anak ayam, ia pun berpikir, berlaku, dan bertindak seperti anak ayam. Sampai akhir hayat sang anak elang, beraktivitas, bertindak dan mengambil keputusan seperti seekor ayam sesuai definisi yang diyakininya. Coba bayangkan, apa yang terjadi jika sang anak elang ini mencoba mengoptimalkan kemampuannya seperti impiannya untuk terbang tinggi seperti elang yang dilihatnya. Dari ilustrasi diatas kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran berharga mengenai pengaruh definisi identitas diri yang kita yakini. Cara kita mendefinisikan identitas kita akan menentukan masa depan kita melalui cara kita berpikir dan cara kita bertindak. Definisi identitas diri mempengaruhi cara kita berpikir. Sang elang yang mendefinisikan diri sebagai anak ayam akhirnya berpikir dan bertindak seperti anak ayam.
Dalam pemilu legislatif yang baru saja berlangsung di Indonesia, kebanyakan rakyat belum mampu menidentifasikan diri mereka sebagai pemegang kedaulatan. Pada pemilu kali ini, identitas yang terbentuk di wajah rakyat adalah sebagai penjual kedaulatan, hal tersebut terindikasikan melalui banyaknya kasus money politik. Secara bahasa sederhana money politik dipersepsikan sebagai politik uang. Di sini ada dua dimensi, yakni politik dan uang. Politik selama ini diorientasikan pada kekuasaan dan uang dipersepsikan sebagai salah satu kekuatan yang berbasis material. Artinya politik uang merupakan manifestasi dari upaya merebut kekuasaan lewat jalur politik dengan mengandalkan kekuatan uang. Kekuatan uang dalam hal ini adalah proses penentuan pemenang kekuasaan tidak berdasarkan pilihan rasional namun dengan dengan pertimbangan pragmatisme. Di sinilah kemudian stigma negatif melekat dalam persoalan money politik. Jika legislatif yang ihasilkan melalui mekanisme jual beli suara maka akan hadir para politisi yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pedagang. Modal yang mereka keluarkan kepada rakyat harus kembali dalam jangka waktu tertentu dan harus bertambah karena begitulah identitas pedagang, kemudian lahirlah apa yang dinamakan politik dagang sapi. Entah siapa yang memulai istilah tersebut, tapi ketika kita mendengar dan mencoba memahami ternyata politik dagang sapi itu merupakan cara untuk bagi-bagi kedudukan dalam kabinet. Presiden dan Wakil Presiden yang tepilih nanti merupakan pilihan rakyat langsung, karena itu mereka memperoleh mandat yang penuh dari rakyat sebagai pemilih. Karena itu mereka mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari pilihan anggota MPR. Akan tetapi dalam sistim yang berjalan presiden serta pemerintah yang dipimpinnya harus bekerjasama dengan DPR. Dengan demikian pemerintah yang akan disusun oleh persiden terpilih harus pandai-pandi bekerja sama dengan DPR agar program-program mereka disepakati DPR sebelum dapat dilaksanakan. Sebaik apapun program yang diusulkan, kalau DPR tidak menyetujuinya, apapaunalasannya, maka program tersebut tidak dapat dilaksanakan dan pemerintah tidak efektif menjalankan mandat yang diemban dari pemilih. Di dalam media sudah banyak diberitakan bahwa negosiasi antar berbagai partai capres dalam meminang cawapres sekaligus melakukan tawar menawar mengenai pembagian kursi dalam kabinet yang akan datang. Maka harapan akan perbaikan kesejahteraan rakyat yang berjalan beriringan dengan demokratisasi nampaknya hanya angan-angan, karena tidak ada eksekutif dan legislatif yang memikirkan hal tersebut. Jadi, selagi kedaulatan itu masih berada di tangan rakyat, mengidentifikasi diri kemudian melakukan tindakan yang tepat untuk mempergunakannya demi kesejahteraan dalam jangka waktu lima tahun kedepan harus menjadi perhatian serius agar tidak menyesal dikemudian hari.
3. Identitas, fungsi dan peranan sosial manusia ( terjadinya interaksi sosial )
• manusia sebagai makhluk individu
• Manusia sebagai makhluk sosial
• Manusia sebagai makhluk berketuhanan
Untuk mengemban ketiga fungsi, identitas dan peranan sosial tersebut manusia mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan tuhannya. Hal inilah yang mendasari terjadinya interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Pengertian interaksi sosial : Hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara seseorang dengan orang lain dalam situasi sosial tertentu. Di dalam proses interaksi sosial ini juga berlangsung proses berimbang dan berkesinambungan ( adaptif social relationship ).
4. Syarat terbentuknya interaksi sosial :
a. Komunikasi sosial
b. Kontak social
5. Dasar terjadinya interaksi sosial :
• Interaksi sosial didasari oleh adanya kebutuhan ( motivasi ) sosial dankebutuhan individual.
• Abraham Maslow ( Hierarchi Need Theory )
o Kebutuhan fisiologis ( fisiological needs )
o Kebutuhan rasa aman ( safety needs )
o Kebutuhan cinta dan kasih sayang ( love and belonging needs )
o Kebutuhan penghargaan diri ( self esteem needs )
o Kebutuhan aktualisasi diri ( need of self actualisation )
• David Mc Clelland
o Need for Power ( Motiv berkuasa )
o Need for affiliation ( motif berkumpul / berserikat )
o Need for achivement ( motif berprestasi / menjadi yang terbaik ) semua kebutuhan dan motif tersebut akan terpenuhi bila manusia mampu membangun kontak sosial dan mengembangkan komunikasi sosial sehingga terbentuk interaksi sosial dan akhirnya mewujud dalam social relationship.
6. Faktor Pengarah terbentuknya interaksi sosial
• Faktor Imitasi : ( Gabriel Trade ), seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Imitasi dorongan untuk meniru orang lain.
• Fakroe sugesti : sugesti berlangsung jika seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya kepada orang lain dan diterima.
• Faktor identifikasi
• Faktor Simpati
B. NASIONAL
Nasional atau Nasionalisme adalah pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol, Andalusia, Ottoman, Majapahit, Sriwijaya, Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang bisa kita ketahui melalui buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu. Nasionalisme awalnya berkembang di Eropa. Pada akhir abad 18 di Eropa mulai berlaku suatu paham bahwa setiap bangsa harus membentuk suatu Negara sendiri dan bahwa Negara itu harus meliputi seluruh bangsa masing-masing. Kebanyakan bangsa-bangsa itu memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang membuat mereka berbeda satu sama lain, misalnya persamaan keturunan, persamaan bahsa dan daerah budaya, kesatuan politik, adat istiadat dan tradiri atau juga karena persamaan agama. Gerakan nasionalisme dan cita- cita kebangsaan yang berkembang di eropa pada hakikatnya memiliki sifat cinta kebangsaan. Nasionalisme yang berkembang di Eropa kemudian menjalar ke seluruh dunia. Memasuki awal abad 20 nasionalisme mulai berkembang di negara- negara Asia dan Afrika termasuk Indoensia. Nasionalisme di Asia dan Afrika bukan hanya suatu perjuangan kemerdekaan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tetapi memiliki tujuan yang lebih mendalam,
Ciri-ciri Penting yang Berkaitan dengan Nasionalisme di Asia dan Afrika ;
a. Konsep Ia merupakan sarana untuk menumbuhkan semangat perlawanan terhadap dominasi imperialisme Barat
b. Ia menjadi peletak dasar bafi terciptanya perubahan masyarakat Asiaterutama dalam cara pandang tentang kedaerahan menjadi cara pandang seluruh bangsa.
c. ia ditumbuhkan oleh para pemimpin intelektual yang memperoleh pengaruh positif dari pendidikan Barat seperti pendidikan modern, berpikir kritis, komitmen terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Kaum intelektual menemukan dua aspek yang dapat mereka manfaatkan
• human dignity / martabat manusia
• Ideologi / faham dari Barat seperti liberalisme dan demokrasi
d. Ia terus berkembang karena para pemimpin dan pengikutnya lebih melihat masa depan dibanding masa lalu.
Yang dimaksud dominasi (asal kata dominant= lebih kuat/kuasa) politik adalah suatu penguasaan penuh dalam bidang politik, sehingga pemerintah ada
ditangan penjajah. eksploitasi ekonomi adalah pemerasan yang dilakukan melalui eksploitasi kekayaan alam, monopoli, memeras tenaga kerja penduduk, sedangkan penetrasi (asal kata to penetrate = menyusup/menerobos) kebudayaan adalah suatu pemaksaan kepada penduduk pribumi untuk mengikuti kebudayaan bangsa penjajah. Coba Anda berikan contoh dari tindakan-tindakan tersebut.
Tekanan dan pemaksaan dari pihak penjajah menimbulkan reaksi berupa penolakan dan perlawanan rakyat untuk mengusir penjajah. Jadi dengan adanya kolonialisme dan imperialisme menimbulkan reaksi bangkitnya semangat berkebangsaan. Perasaan senasib sepenanggungan dan menyatukan kehendak dan tekad untuk lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme Indonesia. Nasionalisme tersebut lahir, tumbuh dan berkembang seirama dengan perjalanan sejarah, bahwa perlawanan terhadap penjajah mengalami kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun tidak membuat penjajah angkat kaki dari bumi Indonesia. Mengapa demikian?.Disebabkan belum adanya kesadaran pentingnya persatuan dan kesatuan guna melawan penjajah karena tingkat pendidikan bangsa Indonesia pada saat itu masih rendah. Akhirnya, secara lambat laun kesadaran itu mulai muncul dan berkembang.
1. Pengertian Nasional atau Nasionalisme
a. Penegrtian Leksikal
Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia sekarang adalah tidak beradab, kampungan, kedaerahan, dan sejenisnya.
Kata natio dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka” (The Grolier International Dictionary: 1992).
Pengertian ini jelas mengalami perubahan karena kata nasion dan nasionalisme diadopsi dan dipakai secara positif untuk menggambarkan semangat kebangsaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Di bawah pengaruh semangat pencerahan (enlightenment), kata nasionalisme tidak lagi bermakna negatif atau peyoratif seperti digunakan dalam masyarakat Romawi Kuno. Sejak abad pencerahan (zaman pencerahan atau zaman Fajar Budi berlangsung selama abad 17–18), kata ini mulai dipakai secara positif untuk menunjukkan kesatuan kultural dan kedaulatan politik dari suatu bangsa.
“Kesatuan kultural” dan “kedaulatan politik” merupakan dua kata kunci yang penting untuk memahami nasionalisme. Nasionalisme dalam pengertian kedaulatan kultural akan berbicara mengenai semangat kebangsaan yang timbul dalam diri sekelompok suku atau masyarakat karena mereka memiliki kesamaan kultur. Di sini kita berbicara mengenai nasionalisme bangsa Jerman atau bangsa Korea atau bangsa-bangsa di Eropa Tengah dan Timur yang memiliki kesamaan kultur. Semangat kebang-saan atas dasar kesamaan kultur ini telah terbentuk sebelum terbentuknya suatu negara bangsa.
Mengacu pada pengertian ini, Indonesia jelas tidak menganut paham nasionalisme dalam artian kesamaan kultur. Kita memiliki pluralitas budaya dan etnis yang memustahilkan kita berbicara mengenai semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur. Masih dalam konteks pengertian ini, sebenar-nya wajar saja jika orang Aceh berbicara mengenai nasionalisme Aceh, demikian pula orang Papua, Maluku, Jawa, Batak, Bugis, Makassar, Bali, Flores, dan sebagainya. Nasionalisme yang mereka mak-sudkan tentu saja adalah semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur ini, dan semangat ini tidak bisa dikatakan sebagai salah atau benar. Pengertian kedua adalah nasionalisme dalam arti kedaulatan politik.
Berdasarkan pengertian ini, suatu kelompok masyarakat menentukan sikap politik mereka—atas dasar nasionalisme, entah nasionalisme kultural atau nasionalisme politik—untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah negara yang independen. Itu berarti baik kelom-pok masyarakat yang memiliki kesamaan kultur maupun yang multi kultur dapat memiliki nasionalisme dalam artian kedaulatan politik ini. Menurut pengertian ini, Indonesia termasuk yang memiliki nasionalisme dalam arti kedaulatan politik. Demikian pula halnya dengan negara-negara lain yang memiliki keragaman kultur.
Nasionalisme dalam arti semangat kebangsaan karena kesamaan kultur mula-mula mendasarkan dirinya pada persamaan-persamaan kultur yang utama, misalnya kesamaan darah atau keturunan, suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan.
Ketika berkembang menjadi kedaulatan politik, nasionalisme merangkum atau mengikutsertakan nilai-nilai lainnya seperti adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakatnya serta adanya kepentingan ekonomi. Perkembangan lebih lanjut tentu saja adalah adanya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) dan hak untuk tidak dijajah oleh bangsa lain (freedom from slavery). Dalam sejarah, tampak jelas bahwa hak untuk mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan politik merupakan sebuah kesadaran baru yang dipengaruhi oleh revolusi Prancis tahun 1789. Sementara itu, hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk tidak dijajah bangsa lain telah menjadi dasar nasionalisme dari negara-negara Asia–Afrika dalam membebaskan diri dari penjajahan setelah Perang Dunia II.
b. Pengertian menurut beberapa Tokoh
• Joseph Ernest Renan dari Prancis (1822–1892)
Nasionalisme adalah sekelompok individu yang ingin bersatu dengan individu-individu lain dengan dorongan kemauan dan kebutuhan psikis. Sebagai contoh adalah bangsa Swiss yang terdiri dari berbagai bangsa dan budaya dapat menjadi satu bangsa dan memiliki negara.
• Otto Bauer (Jerman, 1882–1939)
Nasionalisme adalah kesatuan perasaan dan perangai yang timbul karena persamaan nasib, contohnya nasionalisme negaranegara Asia.
• Hans Kohn
Nasionalisme adalah kesetiaan tertinggi yang diberikan individu kepada negara dan bangsa
• Louis Snyder
Nasionalisme adalah hasil dari faktor-faktor politis, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu taraf tertentu dalam sejarah. Sebagai contoh adalah timbulnya nasionalisne di Jepang.
2. Bentuk-bentuk Nasionalisme
a. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)
adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”. Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-jacques rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contact Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia “mengenai kontrak sosial”).
b. Nasionalisme Etnis
adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johan Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”). Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya “Grimm Bersaudara” yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
c. Nasionalisme Budaya
adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.
d. Nasionalisme kenegaraan
ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah ’national state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa adalah Nazisme, serta nasionalime Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Fransquisme sayap kanan di Spanyol, serta sikap ’ Jacobin ’ terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Prancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraann ( equal rights ) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika.
e. Nasionalisme agama
ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.
3. Unsur-unsur Nasionalisme Menurut Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu
a. hasrat untuk mencapai kesatuan,
b. mencapai kemerdekaan,
c. mencapai keaslian,
d. kehormatan bangsa.
Jadi seorang nasionalis sejatinya akan mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya.
4. Aspek-aspek Nasionalisme
a. Aspek politik
Nasionalisme bersifat menumbangkan dominasi politik imperialisme dan bertujuan menghapus pemerintah kolonial.
b. Aspek Sosial Ekonomi
Nasionalisme bersifat menghilangkan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh pemerintah kolonial dan bertujuan menghentikan eksploitasi ekonomi.
c. Aspek Budaya
Nasionalisme bersifat menghilangkan pengaruh kebudayaan asing yang buruk dan bertujuan menghidupkan kebudayaan yang mencerminkan harga diri bangsa setara dengan bangsa lain.
5. Makna Nasionalisme
Istilah nasionalisme digunakan dala rentang arti yang kita gunakan sekarang. Diantara penggunaan – penggunaan itu, yang paling penting adalah :
a. Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa.
b. Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan.
c. Suatu bahasa dan simbolisme bangsa.
d. Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan.
e. Suatu doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme.
Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya. Bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas.
Nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial.
Pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990).
Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa.
Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, Partha Chatterjee memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi.
6. Diskusi Kontemporer
Nasionalisme tidak akan pernah selesai diper-debatkan karena dialah satu-satunya ideologi yang sungguh-sungguh mengikat dan mempersatukan sekelompok masyarakat dalam sebuah perasaan yang sama dan tekad untuk untuk membangun kehidupan bersama. Kalau diperhatikan perdebatan mengenai nasionalisme dewasa ini (kontemporer), dikotomi nasionalisme sebagai identitas kultural atau identitas politis akan terus mewarnai perdebat-an ini.
Lima pemikir di bawah ini diambil sebagai contoh untuk menunjukkan diskusi kontemporer mengenai nasionalisme. Setelah itu, pemikiran- pemikiran mereka akan kita simpulkan. Dari sana kita mencoba memahami pembentukan sebuah negara berdaulat berdasarkan semangat nasionalisme.
• Ernest Gellner
Ernest Gellner memahami nasionalisme seba-gai proses pembentukan kultur suatu bangsa. Gellner mengenal dan membedakan kebudayaan tinggi atau high culture dan kebudayaan rendah atau low culture. Kalau nasionalisme dipahami sebagai proses pembentukan kultur bangsa, maka yang Gellner maksudkan adalah proses pembentukan high culture sebuah bangsa. Dalam proses ini kultur yang sifatnya tinggi tersebut dikodifikasi.
Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. apa yang dimaksud dengan kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah?
2. apa yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan dan menga-pa hal itu perlu dilakukan? Sekali lagi, high culture adalah kebudayaan yang oleh sebuah negara dianggap bernilai tinggi dan pantas dijadikan sebagai kebudayaan nasional.
Menurut Gellner, kriteria sebuah kebudayaan bernilai tinggi atau rendah adalah apakah kebudayaan tersebut rasional atau tidak. Misalnya sikap ramah (hospitality) suatu kelompok masyarakat menerima siapa saja yang datang dalam hidup mereka. Kare-na dapat dipahami secara rasional, sikap ramah dapat diterima menjadi salah satu kebudayaan nasional. Sebaliknya, jika suatu adat, kebiasaan atau hasil karya yang membahayakan hidup orang lain atau menggangu ketenteraman hidup orang lain akan sulit diterima dan diakui sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dalam kasus seperti ini negara bisa saja menolak bahkan melarang kebudayaan seperti itu. Ingat, arti kebudayaan adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Proses pembentukan high culture dalam nasionalisme adalah proses standardisasi kebudayaan nasional. Standardisasi ini selain dapat mengalahkan, memperlemah, atau membunuh kebudayaan-kebudayaan lokal atau kedaerahan, dapat juga membunuh kebudayaan-kebudayaan yang sifatnya etnik yang sebetulnya telah ada sebelum adanya negara.
Negara sebenarnya bukan hanya dapat mengadopsi salah satu kebudayaan etnik yang ada menjadi kebudayaan nasional, tetapi juga menolak atau melarangnya. Misalnya, pemerintah Inggris mengizinkan kebebasan beragama dan beribadah di Inggris, tetapi melarang pengajaran agama Kristen di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Dalam contoh yang paling terakhir, pemerintah Inggris mengizinkan sekolah- sekolah melarang pemakaian jilbab di sekolah bagi siswi muslim dengan alasan supaya semua siswa-siswi dapat berbaur tanpa hambatan atau halangan eksternal dan internal.
Bagaimana dengan Indonesia? Orde Baru sangat mengutamakan kodifikasi atau standardisasi kebudayaan nasional ini. Dalam bidang agama, misalnya. Orde Baru melarang sekte-sekte dari suatu agama bila praktik ritual mereka dipandang mengganggu ketertiban umum dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga dengan bentuk atau ungkapan kebudayaan lainnya. Dalam arti ini praktik-praktik keagamaan dari sekte-sekte tertentu itu bukan merupakan kebudayaan nasional. Pemerintah Orde Baru bahkan berani menentukan agama mana yang resmi dan agama mana yang tidak resmi. Agama yang resmi menurut versi Orde Baru dapat dianggap sebagai high culture, sementara di luar itu adalah low culture.
Yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan adalah proses standardisasi kebudayaan. Dengan kata lain, proses menentukan mana kebudayaan yang dapat menjadi kebudayaan nasional dan mana kebudayaan yang harus ditolak. Kodifikasi ini dilakukan untuk menjamin keberlangsungan hidup suatu bangsa. Meskipun demikian, sering terjadi bahwa kodifikasi ini sengaja dilakukan penguasa atau elit politik tertentu dengan maksud untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dalam arti itu kodifikasi kebudayaan didahului oleh adanya propaganda yang sifatnya sangat ideologis. Menurut Gellner, kodifikasi kultur sebenarnya dimaksud untuk mencegah monopoli penentuan kultur nasional hanya oleh elit atau kelompok tertentu saja. Nah, ini berarti dalam menentukan mana kebudayaan yang tinggi dan mana yang rendah ha-rus mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat. Bagi Gellner, proses kodifikasi dengan mengikut-sertakan masyarakat ini sangat mungkin untuk dilakukan, karena pendidikan massal telah berhasil menyatukan negara dan kebudayaan secara bersama. Setelah terjadinya proses kodifikasi atau standardisasi kebudayaan nasional biasanya diikuti de-ngan pendirian museum-museum, penulisan sejarah negara, pendirian badan-badan ilmiah tertentu yang bertujuan mempropagandakan dan menyebarluaskan pengetahuan resmi (pemerintah).
Pandangan Ernest Gellner bukan tanpa kele-mahan. Kelemahan utama pandangan Gellner adalah bahwa high culture bersifat sangat rasional. Dalam hal ini, rasionalitas tampaknya terlalu diagung-agungkan. Bagaimana dengan low culture? Apakah identitas kebangsaan hanya dibentuk oleh high culture? Apakah low culture seperti praktik-praktik kultik atau ritus-ritus agama tertentu atau praktik-praktik magi dan sebagainya harus dikendalikan dan dilarang karena sifatnya yang tidak rasional. Dewa-sa ini lebih diterima bahwa low culture juga menguntungkan bagi pembentukan identitas kebang-saan.
Dalam arti ini pemerintah atau negara tidak perlu melarang praktik-praktik magi dan perdukunan sejauh praktik-praktik tersebut tidak membahayakan hidup masyarakat itu sendiri. Karena itu, pemikiran sementara orang untuk melarang praktik magi atau membuat perangkat hukum untuk menghukum praktik santet bukan hanya tindak-an yang tidak masuk akal, tetapi juga tindakan yang bodoh. Kalau kamu perhatikan acara-acara televisi kita dewasa ini, banyak sekali dipenuhi dengan acara setan, alam gaib, dan semacam-nya. Menurut kategori Gellner, semua ini adalah low culture, karena tidak rasional. Meskipun demikian, ungkapan kebudayaan seperti ini ikut membentuk identitas kebudayaan Indonesia. Sejauh tidak membahayakan ketertiban umum, ekspresi kebudayaan seperti itu sah-sah saja eksis di bumi pertiwi Indonesia.
• Eric Hobsbawn
Berbeda dengan Gellner yang memahami na-sionalisme sebagai proses pembentukan high cultu-re sebuah bangsa, nasionalisme menurut Eric Hobsbawn dipahami sebagai pembentukan iden-titas kebangsaan. Pertanyaannya, siapa yang mem-bentuk identitas kebangsaan itu? Apakah identitas kebangsaan dibentuk oleh seluruh warga masyarakat atau hanya kelompok elit saja? Hobsbawn berpendapat bahwa yang membentuk identias kebang-saan adalah elit. Masyarakat pada umumnya tidak ikut serta dan tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan identitas kebangsaan.
Dalam proses pembentukan identitas kebangsaan ini elit umumnya menciptakan simbol-simbol yang dapat mendukung tercapainya identitas ke-bangsaan. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa identitas bangsa sebagai bangsa bahari, para elit menciptakan simbol-simbol yang berhubungan dengan dunia bahari. Misalnya, kapal laut, perahu nelayan, patung nelayan, dan sebagainya. Setelah diciptakan, simbol-simbol ini kemudian ditafsirkan oleh para elit. Tafsiran tersebut umumnya meng- gambarkan identitas ideal suatu bangsa. Simbol-simbol dalam bentuk monumen-monumen menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana identitas kebangsaan hendak dibangun. Di Indonesia kita memiliki banyak sekali monumen yang maknanya penuh dengan nilai-nilai kebangsaan. Kalian bisa mendalami apa makna di balik simbol Monumen Nasional (Monas), monumen Pancasila sakti, dan monumen proklamator di Jakarta.
Menurut Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga berusaha menafsirkan tradisi-tradisi sebegitu rupa, dengan dukungan ideologi tertentu, dengan maksud untuk menghubungkan identitas kebangsaan sampai ke masa yang sangat lampau. Penciptaan identitas kebangsaan semacam ini biasanya juga mengedepankan nilai-nilai luhur nenek moyang suatu bangsa yang dapat dijadikan anutan masyarakat dewasa ini.
Misalnya, Indonesia ingin menanamkan nilai-nilai kebangsaan dengan belajar dari nilai-nilai kebangsaan yang ada pada Kerajaan Sriwijaya. Menurut Dr. P.J. Suwarno (Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta: 1993, hlm. 20-21), Sriwijaya yang berpusat di Sumatra, telah mempraktikkan nilai-nilai persatuan, ketuhanan, kemasyarakatan, ekonomi, dan hubungan internasional. Di mata para elit, nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat Kerajaan Sriwijaya ini menjadi bukti bahwa sudah sejak lama bangsa Indonesia memiliki kepribadian atau identitas bangsa yang agung dan luhur.
Tidak hanya itu. Menurut Eric Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga sering mengadakan perayaan-perayaan dan upa-cara-upacara kenegaraan. Melalui perayaan-perayaan semacam inilah para elit menanamkan dalam diri masyarakat akan nilai-nilai luhur bangsanya, misalnya dengan merenungkan kembali jasa-jasa para pahlawan bangsa, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika dalam suatu negara perayaan-perayaan kenegaraan dianggap sebagai bagian yang penting dari proses pembentukan identitas kebangsaan.
Bagi Hobsbawn, massa rakyat menerima begitu saja simbol-simbol dan propaganda-propaganda yang dilancarkan elit. Di sini sering kali orang lupa, bahwa elit melakukan propaganda melalui simbol-simbol dan perayaan-perayaan keagamaan tidak hanya sebatas menyimbolkan perasaan menjadi bagian dari suatu bangsa. Elit melakukan ini juga dengan tujuan melegitimasikan kekuasaan mereka.
Bagaimana kita menyikapi pandangan Eric Hobsbawn ini? Ada duakelemahan utama yang dapat dikemukakan, yakni Pertama, Massa rakyat dianggap bodoh. Rakyat dianggap tidak memiliki sikap kritis dan hanya menerima begitu saja penciptaan simbol-simbol dalam proses pembentukan identitas bangsa. Rakyat juga dianggap bodoh dan mengikuti sa-ja upacara-upacara kenegaraan tanpa mempertanyakan relevansinya. Pandangan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.Kedua, Eric Hobsbawn lupa, bahwa simbol yang dicip-takan oleh para elit sebenarnya bukan semata-mata merepresentasikan sesuatu. Simbol- simbol tersebut juga memberi kemungkinan agar orang lain selain elit atau penguasa menerap-kan makna ke dalam simbol-simbol tersebut.
Dengan demikian, jarang terjadi bahwa simbol-simbol atau upacara kenegaraan hanya memiliki makna tunggal. Bagi para elit, upacara 17 Agustus dapat menjadi momen pembentukan iden-titas bangsa. Akan tetapi bagi sebagian orang, upacara 17 Agustus adalah saat di mana rakyat berpesta makan, minum, dan mengadakan pertandingan olahraga di lingkungan masing-masing tanpa ada hubungan dengan semangat nasionalisme. Di sini Hobsbawn lupa bahwa makna harus bersifat plural, juga dalam produksi identitas kebangsaan. Masyarakat mampu menciptakan simbol dan menafsirkan sesuai kehendak mereka.
• Benedict Anderson
Nama ahli politik yang satu ini cukup dikenal di Indonesia. Dia menulis buku Imagined Community yang amat terkenal. Guru besar ilmu politik dari Cornell University (AS) ini adalah salah seorang Indonesianis garda depan. Benedict Anderson memahami nasionalisme sebagai komunitas khayalan (imagined community) yang disatukan oleh sebuah persahabatan horisontal yang mendalam di mana anggota-anggotanya diyakini mengkonstitusi (menciptakan) sebuah en-titas yang kuat dan utuh.
Bagi Anderson, komunitas khayalan ini ada atau terbentuk karena kekuatan media massa, khususnya media cetak. Media cetak sangat berperan dalam menyebarluaskan diseminasi (penggandaan) gagasan/ide dari bangsa. Anderson menekankan bahwa bacaan atas surat kabar harian atau majalah mingguan yang secara teratur dan sinkronik membentuk para pembacanya untuk berbagi perasaan, gagasan atau serangkaian minat bersama, karena isi dan fokus dari berita. Menurut Anderson, penga-laman kebangsaan berakar setiap hari karena sha-red reading ini.
Mari kita kemukakan sebuah contoh untuk menjelaskan konsep yang abstrak ini. Tanggal 26 Desember 2004 gelombang tsunami menghancurkan Provinsi Nangro Aceh Darussalam dan mene-waskan ratusan ribu orang. Seluruh masyarakat bangsa Indonesia ikut bersedih dan membantu saudaranya yang tertimpa musibah tersebut. Perasaan bahwa Aceh adalah bagian dari saudara kita umumnya ditimbulkan oleh media massa yang kita baca, tonton, atau dengar. Kalian bisa bayangkan apa jadinya kalau bencana itu terjadi pada zaman di mana media massa belum mengalami kemajuan seperti sekarang ini. Barangkali tidak akan muncul banyak orang yang mengetahui dan membantu.
Nah, kira-kira proses pembentukan nasionalisme menurut Benedict Anderson terjadi seperti itu. Suatu komunitas pada akhirnya memiliki perasaan kebangsaan yang sama karena perasaan itu ditimbulkan oleh kesamaan minat dan perhatian mereka. Kesamaan minat dan perhatian it ditimbulkan oleh media cetak (koran dan majalah) yang mereka baca. Kesamaan minat dan perhatian itu pada gilirannya memicu perasaan komunitas tersebut untuk mengkhayalkan sebuah masyarakat tempat mereka hidup bersama sebagai warga masyarakat. Wujud konkret dari komunitas khayalan itu adalah negara.
Konflik antara Indonesia dan Malaysia di perairan Ambalat yang memicu gelombang protes masyarakat Indonesia pun dapat dipahami dengan memakai pemahaman Anderson ini. Harus diakui bahwa kita mengetahui adanya konflik tersebut dari media massa. Media massalah yang menimbulkan perasaan kebangsaan kita. Kehadiran kapal-kapal perang dan tentara Indonesia yang siaga dua puluh empat jam memicu khayalan kita untuk membayangkan sebuah keutuhan wilayah dan kebesaran bangsa Indonesia. Khayalan-khayalan seperti inilah yang menyatukan masyarakat dalam gelombang protes terhadap tindakan sewenang-wenang Malaysia. Di sini memang perasaan lebih memainkan peran daripada pikiran. Nasionalisme sebagai imagined community harus lebih menonjolkan perasaan daripada pikiran.
Bagaimanapun juga, pemikiran Anderson ada kelemahannya juga. Kelemahaman pandangan Anderson adalah bahwa dia hanya menekankan peran media cetak dalam menghasilkan kultur dan identita kebangsaan. Padahal masih ada lagi produksi kultur dan identita kebangsaan melalui ruang musik (music hall) dan teater, musik-musi popular, pesta-pesta, arsitektur, fesyen, juga melalui televisi, film, radio, dan teknologi informasi lainnya.
• Anthony Smith
Masih ingat pandangan Ernest Gellner dan Eric Hobsbawn mengenai nasionalisme? Di atas sudah dikemukakan kelemahan-kelemahan dari pandang-an mereka. Nah, Anthony Smith sendiri mengkhususkan diri untuk mengkritik secara tajam pandangan Gellner dan Hobsbawn tentang sifat nasionalisme. Gellner dan Hobsbawn berpendapat bahwa nasionalisme adalah produk modern, jadi masa-masa sebelum zaman modern belum ada nasionalisme. Bagi Smith, nasionalisme atau perasaan kebang-saan sudah ada jauh sebelum lahirnya suatu bang-sa. Perasaan kebangsaan sudah ada bahkan dalam diri kelompok etnis yang kemudian mendorong me-reka untuk membentuk negara itu sendiri.
Di sini Smith memahami etnisitas sebagai kelompok sosial dengan identitas tertentu dan yang membedakan diri mereka dari orang lain.Umumnya kelompok-kelompok etnis membentuk sendiri batas-batas (boundaries) dan menciptakan simbol-simbol yang menjadi tanda bahwa “kita” (us) berbeda dari “mereka” (they). Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok etnis semacam ini bisa saja membentuk sebuah negara. Kalau ini yang terjadi, maka nasionalismenya bersifat nasionalisme etnik.
Selain berpendapat bahwa perasaan dan identitas kebangsaan sudah ada jauh sebelum terbentuknya sebuah negara, Smith juga berpendapat bahwa nasionalisme berhubungan dengan pembentukan identitas nasional suatu bangsa. Pembentukan identitas nasional dapat terjadi melalui penciptaan simbol-simbol nasional. Bagi dia, simbol-simbol nasional tidak diciptakan sepihak oleh elit, tapi oleh berbagai kelompok yang berbeda. Karena mengikutsertakan banyak kelompok masyarakat dalam penciptaan simbol-simbol nasional, maka sering terjadi konflik dalam proses penciptaan simbol-simbol nasional ini. Konflik-konflik tersebut wajar dan perlu sejauh tidak membawa perpecahan bangsa. Menurut Smith, dalam menciptakan simbol-simbol tersebut tidak ada cetak biru (blue print) yang siap dipakai sebagai contoh. Tidak hanya itu.
Bah-kan dalam proses pembentukan kebudayaan nasio-nal pun tidak ada cetak biru. Karena itu, seluruh lapisan masyarakat benar-benar harus terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan identitas nasional dan kebudayaan bangsanya.
Jika terjadi bahwa dalam proses pembentukan identitas bangsa melalui penciptaan simbol-simbol tersebut tidak ada serangakaian simbol yang dapat diterima bersama, maka pada saat ini kelompok-kelompok sosial yang ada harus memilih simbol-simbol yang multipel dengan maksud supaya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dapat didorong untuk menerima dan mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol tersebut.
Menurut Smith, dapat saja terjadi bahwa ada kebudayaan dari etnis tertentu yang diterima sebagai kebudayaan nasional asal memenuhi persyaratan. Syaratnya adalah kebudayaan dari etnis tersebut harus masuk akal dan kredibel. Perhatikan di sini bahwa masuk akal tidak sama dengan rasional. Sesuatu yang masuk akal belum tentu rasional, sementara sesuatu yang rasional sudah tentu masuk akal. Ziarah ke kuburan dan bersemedi untuk meminta “berkat dan pertolongan” dari arwah nenek moyang atau tokoh-tokoh terkenal yang sudah mati memang tidak rasional, tetapi masuk akal. Karena itu upacara seperti ini dapat menjadi ekspresi dari kebudayaan nasional Indonesia Dengan pandangan semacam ini Smith sebetulnya memiliki pemahaman yang sangat baik mengenai kebudayaan. Bagi dia, kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Sifat dinamis ini ada karena proses pembentukannya tidak mengikuti cetak biru tertentu, tetapi proses bersama dari seluruh anggota masyarakat. Selain itu, kebudayaan suatu bangsa terdiri dari macam-macam unsur, an-tara lain unsur repository (kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada sekarang dan masih terpelihara), unsur warisan antargenerasi, serangkaian tradisi, dan pembentukan secara aktif makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri. Unsur yang terakhir ini—pembentukan secara aktif makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri—terejawan-tah dalam nilai-nilai, mitos-mitos, dan simbol-simbol yang pantas untuk menyatukan sekelompok orang dengan pengalaman-pengalaman dan kenangan- kenangan yang sama dan yang membeda-kan me-reka dari kelompok luar.
Sebagai kritik terhadap pandangan Gellner dan Hobsbawn, pandangan Anthony Smith nyaris sempurna; karena itu tidak perlu dikritik. Kita akan kembali ke pandangan-pandangannya ketika membica-rakan proyeksi nasionalisme Indonesia dan pembentukan negara Republik Indonesia.
• Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo
Sebagai sejarawan, Prof. Sartono Kartodirdjo tentu saja merefleksikan nasionalisme dari pers-pektif Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, nasionalisme Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang.
Dalam artikelnya berjudul Kebangkitan Nasional dan Nasionalisme Indonesia (Lihat: http://202.159. 18.43/jsi/1sartono.htm), Sartono berpendapat bahwa nasionalisme pertama-tama adalah penemuan identitas diri. Ini merupakan tingkat yang paling primordial di mana kelompok masyarakat tertentu berusaha merumuskan identitas dirinya berhadapan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Identitas diri tersebut, begitu selesai dirumuskan, akan menempatkan kelompok sosial tersebut sebagai yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Dengan demikian, proses penemuan identitas diri sekaligus menjadi proses penetapan boundaries yang membedakan “kelompok kita” dari “kelompok mereka”.
Dalam konteks Indonesia, proses penemuan identitas diri ini muncul pertama-tama karena pengalaman negatif dijajah oleh Belanda. Penjajahan Belanda telah menghasilkan diskriminasi yang melembaga yang menimbulkan rasa inferioritas dalam diri orang Indonesia sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari Belanda secara sengaja mendiskriminasi orang-orang Indonesia melalui pakaian, bahasa, tempat tinggal, dan simbol-simbol otoritas lainnya.
Menurut Sartono, pengalaman didiskriminasi seperti ini telah mendorong kaum terpelajar Indonesia untuk membentuk organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908. Pembentukan BO ini sendiri adalah antitesis terhadap sikap diskrimi-natif Belanda sekaligus menjadi momen merumus-kan identitas kebangsaan Indonesia.
Wujud tertinggi dari proses pencarian dan perumusan identitas kebangsaan ini adalah munculnya nasionalisme politik yang lebih jelas arah dan tujuannya. Nasionalisme politik mengusung proyek kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan yang hendak dicapai. Nah, begitu kesadaran kebangsaan seperti ini muncul, kesadaran ini sendiri langsung membedakan bangsa Indonesia dari bangsa Belanda. Nasionalisme politik kemudian diikuti dengan langkah-langkah praktis-konkret upaya memperjuangkan kemerdekaan. Seluruh perjuangan organisasi politik dan tentara Indonesia bermula dari penemuan identitas kebangsaan semacam ini. Dalam arti ini BO memainkan peran yang sangat penting sebagai organisasi yang mengintegrasikan kaum kaum terpelajar dengan kaum elit lainnya dan sebagai simbol identitas kolektif masyarakat. Boedi Oetomo mendefinisikan identitas kolektif bangsa Indonesia, yakni ingin hidup merdeka dan bermartabat.
C. IDENTITAS NASIONAL
Pada hakikatnya manusia hidup tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain. Pada akhirnya manusia hidup secara berkelompok-kelompok. Manusia dalam bersekutu atau berkelompok akan membentuk suatu organisasi yang berusaha mengatur dan mengarahkan tercapainya tujuan hidup yang besar. Dimulai dari lingkungan terkecil sampai pada lingkungan terbesar.
Pada mulanya manusia hidup dalam kelompok keluarga. Selanjutnya mereka membentuk kelompok lebih besar lagi sperti suku, masyarakat dan bangsa. Kemudian manusia hidup bernegara. Mereka membentuk negara sebagai persekutuan hidupnya. Negara merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh kelompok manusia yang memiliki cita-cita bersatu, hidup dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang sama. Negara dan bangsa memiliki pengertian yang berbeda. Apabila negara adalah organisasi kekuasaan dari persekutuan hidup manusia maka bangsa lebih menunjuk pada persekutuan hidup manusia itu sendiri. Di dunia ini masih ada bangsa yang belum bernegara. Demikian pula orang-orang yang telah bernegara yang pada mulanya berasal dari banyak bangsa dapat menyatakan dirinya sebagai suatu bangsa. Baik bangsa maupun negara memiliki ciri khas yang membedakan bangsa atau negara tersebut dengan bangsa atau negara lain di dunia.
Ciri khas sebuah bangsa merupakan identitas dari bangsa yang bersangkutan. Ciri khas yang dimiliki negara juga merupakan identitas dari negara yang bersangkutan. Identitas-identitas yang disepakati dan diterima oleh bangsa menjadi identitas nasional bangsa.Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.
Konsekuensi dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu : Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “. Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32:
• Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
• Negara menghormatio dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk
membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan
arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam
khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana
dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.
1. Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “nasional”.
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain.
Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.
Jadi, pegertian Identitas Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yang harus dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali “rule of law”, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.
2. Unsur - Unsur Identitas Nasional
Identitas Nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Ke-majemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa.
a. Suku Bangsa
adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kclompok etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.
b. Agama
bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di Nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, tetapi sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
c. Kebudayaan
adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dala bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
d. Bahasa
merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia. Dari unsur-unsur identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
a. Identitas Fundamental,
yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan ldeologi Negara.
b. Identitas Instrumental,
yang berisi UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya".
c. Identitas Alamiah
yang meliputi Negara Kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, serta agama dan kepercayaan (agama). Menurut sumber lain (http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa: Satu jati diri dengan dua identitas:
a. Identitas Primordial
• Orang dengan berbagai latar belakang etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo, maluku, dsb.
• Orang dengan berbagai latar belakang agama : Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan sebagainya.
b. Identitas Nasional
• Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
• Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut.
Istilah Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideology universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya.
Dalam kondisi seperti ini, negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya, negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, cirri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangfsa Indian di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
3. Identitas Nasional Indonesia
a. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
b. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
c. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
d. Lambang Negara yaitu Pancasila
e. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
f. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
g. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
h. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
i. Konsepsi Wawasan Nusantara
j. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional
4. Faktor-Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi:
a. Faktor Objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis
b. Faktor Subjektif, yaitu faktor historis, social, politik, dan kebudayaan
yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002) Menurut Robert de Ventos, dikutip Manuel Castelles dalam bukunya “The Power of Identity” (Suryo, 2002), munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis ada 4 faktor penting, yaitu:
a. Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya.
b. Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi,lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara.
c. Faktor penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional
d. Faktor reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.
Faktor pembentukan Identitas Bersama. Proses pembentukan bangsa-negara membutuhkan identitas-identitas untuk menyataukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa, yaitu :
a. Primordial
b. Sakral
c. Tokoh
d. Bhinneka Tunggal Ika
e. Sejarah
f. Perkembangan Ekonomi
g. Kelembagaan
Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai
berikut :
a. Adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun
b. Adanya keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan
c. Adanya kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke
d. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa
5. Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Alenia II Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Tujuan Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :
a. Melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan Kehidupan bangsa
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai , demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa dan berahklak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengausai ilmu pengetahuandan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Setelah tidak adanya GBHN makan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka mengenah (RPJM) Nasional 2004-2009, disebutkan bahwa Visi
pembangunan nasional adalah :
a. Terwujudnya kehidupan masyarakat , bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
b. Terwujudnya masyarakat , bangsa dan negara yang menjujung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
c. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
6. Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memilki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menujufase nasionalisme modern, diletakanlan prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup berbangsa dan bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila. Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan pula bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi, filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas Nasional. Menurut sumber lain :
(http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52)
disebutkan bahwa: kegagalan dalam menjalankan dan medistribusikan output berbagia agenda pembangnan nasional secaralebih adil akan berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa. Pada titik inilah semangat Nasionalisme akan menjadi slah satu elemen utama dalam memperkuat eksistensi Negara/Bangsa. Study Robert I Rotberg secara eksplisit mengidentifikasikan salah satu karakteristik penting Negara gagal (failed states) adalah ketidakmampuan negara mengelola identitas Negara yang tercermin dalam semangat nasionalisme dalam menyelesaikan berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra dan interstatewar secara hamper bersamaan. Penataan, pengelolaan, bahkan pengembangan nasionalisme dalam identitas nasional, dengan demikian akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara kuat (strong state). Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan telah meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik antar negara bahkan nasionalisme sebuah negara. Alhasil, konflik komunal menjadi fenomena umum yang terjadi diberbagai belahan dunia, khususnya negara- negara berkembang. Konflik-konflik serupa juga melanda Indonesia. Dalam konteks Indonesia, konflik-konflik ini kian diperuncing karekteristik geografis Indonesia. Berbagai tindakan kekerasan (separatisme) yang dipicu sentimen etnonasionalis yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia bahkan menyedot perhatian internasional. Nasionalisme bukan saja dapat dipandang sebagai sikap untuk siap mengorbankan jiwa raga guna mempertahankan Negara dan kedaulatan nasional, tetapi juga bermakna sikap kritis untuk member kontribusi positif terhadap segala aspek pembangunan nasional. Dengan kata lain, sikap nasionalisame membutuhkan sebuah wisdom dalam mlihat segala kekurangan yang masih kita miliki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan sekaligus kemauan untuk terus mengoreksi diri demi tercapainya cita-cita nasional. Makna falsafah dalam pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
a. Alinea pertama menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan , karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Maknanya, kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan penjajahan bertentangan dengan hak asasi manusia.
b. Alinea kedua menyebutkan: “ dan perjuangan kemerdekaaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kepada depan gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,berdaulat, adil, dan makmur. Maknanya: adanya masa depan yang harus diraih (cita-cita).
c. Alinea ketiga menyebutkan: “ atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Maknanya, bila Negara ingin mencapai cita-cita maka kehidupan berbangsa dan bernegara harus mendapat ridha Allah SWT yang merupakan dorongan spiritual.
d. Alinea keempat menyebutkan: “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, menmcerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam susunan Negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea ini mempertegas cita-cita yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia melalui wadah Negara kesatuan republik Indonesia.
7. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Globalisasi
Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya. Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinya adalah identitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalaM Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya,
yaitu : “Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia “ yang diberi penjelasan :
” Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat Bebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan- bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32
a. Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
b. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas- batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.
Aspask-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ni menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
a. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
b. Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
c. Berkembangnya turisme dan pariwisata.
d. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
e. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
f. Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
Munculnya arus globalisme yang dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih dalam tahap berkembang kita memang tidak suka dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa menghindarinya. Globalisasi harus kita jalani ibarat kita menaklukan seekor kuda liar kita yang berhasil menunggangi kuda tersebut atau kuda tersebut yang malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab tantangan globalisasi adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila dalam setiap kita berpikir dan bertindak. Persolan utama Indonesia dalam mengarungi lautan Global ini adalah masih banyaknya kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa persoalan diatas apabila kita mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa terjaga.
8. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Integrasi Nasional Indonesia Berbagai peristiwa sejarah di negeri ini telah menunjukkan bahwa hanya persatuan dan kesatuanlah yang membawa negeri Indonesia ini menjadi negeri yang besar. Besarnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tidaklah mengalami proses kejayaan yang cukup lama, karena pada waktu itu persatuan cenderung dipaksakan melalui ekspansi perang dengan menundukkan Negara- Negara tetangga.
Sangat berbeda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang sebelum proklamasi tersebut telah didasari keinginan kuat dari seluruh elemen bangsa Indonesia untuk bersatu dengan mewujudkan satu cita-cita yaitu bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928). Dilihat dari banyak ragamnya suku, bangsa, ras, bahasa dan corak budayayang ada membuat bangsa ini menjadi rentan pergesekan, oleh karena itu para pendiri Indonesia telah menciptakan Pancasila sebagai dasar bernegara. Dilihat d ari bentuknya Pancasila merupakan pengalaman sejarah masa lalu untuk menuju sebuah cita-cita yang luhur. Pancasila dilambangkan seekor burung Garuda yang mana burung tersebut dalam kisah pewayangan melambangkan anak yang berjuang mencari air suci untuk ibunya, sedangkan pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika berartikan berbeda tetapi tetap satu. Kemudian tergantung di dada burung tersebut sebuah perisai yang mana biasanya perisai adalah alat untuk menahan serangan perang pada jaman dulu, jadi kalau diartikan untuk menjaga integritas bangsa Indonesia baik itu ancaman dari dalam maupun dari luar yaitu dengan menggunakan perisai yang didalam nya terkandung lima sila. Dalam pidato bahasa Inggris di Washingt n Sukarno telah mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari bangsa Amerika yang mana Sukarno pada waktu itu mengenalkan ideologi Indonesia yaitu Pancasila. Panca berarti Lima dan sila berarti landasan atau dasar yang mana dasar pertama Negara Indonesia ini dalah berdasar Ketuhanan, kedua berdasar Kemanusiaan, ketiga persatuan , dan keempat adalah demokrasi, serta kelima adalah keadilan social. Seringkali bangsa kita ini mengalami disintegrasi dan kemudian bersatu kembali konon kata beberapa tokoh adalah berkat kesaktian Pancasila. Sampai pemerintah juga menetapkan hari kesaktian pancasila tanggal 1 Oktober. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Pancasila hingga saat ini masih kuat relevansinya bagi sebuah ideology Negara seperti Indonesia ini. Untuk itu dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
BAB III
KESIMPULAN
Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif). Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain. Istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu. Sedangkan bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagi suatu “kesatuan nasional”. Oleh karena itu, agar suatu bangsa khususnya bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakan jatidiri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi dewasa ini mendapat tantangan yang sangat kuat, terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalis Revolution, era globalisasi dewasa ini ideologi kapitalislah yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi system internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan (Berger, 1988). Perubahan global ini menurut Fukuyama (1989 : 48), membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideologi universal, dan dalam kondisi seperti ini, kapitalismelah yang akan menguasainya.
Oleh karena itu, agar suatu bangsa khususnya bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakan jatidiri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian identitas?
2) Apa pengertian nasional/nasionalisme?
3) Bagaimana identitas nasional
C. Tujuan Makalah
- Sebagai media untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai identitas bangsa Indonesia - Sebagai salah satu cara belajar yang lebih fariatif agar tidak menimbulkan kejenuhan dalam proses belajar, dengan cara mencari dan menganalisis informasi dari berbagai sumber dan mengelolanya untuk dalap dijadikan pengetahuan tambahan.
D. Prosedur Penulisan
Dalam pengumpulan data atau keterangan-keterangan yang diperlukan dalam menyusun makalah ini, penyusun menggunakan metode studi pustaka yaitu metode pengumpulan data dengan cara belajar di perpustakaan dengan jalan mengumpulkan catatan yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang ditulis.
BAB II
IDENTITAS NASIONAL
A. IDENTITAS
1. Pengertian Identitas
Secara etimologis,identitas berasal dari kata “identity” yang memiliki arti harfiah: ciri,tanda,atau jati diri yang melekat pada seseorang,kelompok atau sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Dengan demikian identitas berarti ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang dimiliki seorang kelompok, masyarakat bahkan suatu bangsa sehingga dengan identitas itu bisa membedakan dengan yang lain.
Dalam terminologi antropologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian ini identitas tidak terbatas pada individu semata, tetapi berlaku pula pada suatu kelompok.
Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Memperhatikan khaos yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, saya merasa ada perlunya untuk mendalami makna identitas. Karena identitas ternyata adalah biang yang memporakporandakan berbagai negara, memecahbelahkan bangsa-bangsa, dan memposisikan manusia yang paling tidak politis sekali pun di satu sudut ruang berseberangan dengan berbagai perbedaan yang berpotensi konflik. Apa yang membedakan kita atas nama kepercayaan, suku, dan bangsa, sudah terjadi sejak kita dilahirkan. Tanpa kita sadari ketika kita dilahirkansebuah predikat langsung melekat pada keberadaan kita. Nama kita mengikat kita pada satu keluarga, satu kepercayaan, satu komunitas dan satu bangsa.
Identitas adalah sebentang Mobius yang melilit. Di satu sisi, ia mengukuhkan kebersamaan satu kelompok, keselarasan visi dan ambisi, namun atas atas nama kemajuan, prestasi dan kebersamaan, ia juga mampu secara brutal menghancurkan pihak yang dinilai mengancam azas-azas yang mengukuhkan kelompoknya. Tindakan anarkis dianggap sah karena ia membela kedaulatan kelompok. Tak ayal lagi, inilah insting survival purba yang kita wariskan dari leluhurkita sejak zaman Neolitik. Sebaliknya, kita bisa memaknakan identitas dengan parameter yang lebih luas. Identitas, menurut Amin Maalouf, sekaligus inklusif dan eksklusif. Sebagai contoh, sebagai warga Indonesia beretnis Cina, maka saya dianggap warga minoritas. Tetapi sebagai anak turunan Cina, saya termasuk golongan warga terbesar di dunia. Perbedaan perspektif ini tergantung dari sudut referensi mana kita meneropong kedudukan kita. Sebaliknya, sebagai anak turunan Cina, dilahirkan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, menulis tiga novel dalam bahasa Inggris, membesut sebuah film tentang seorang pegawai kecil di bagian arsip dan bermukim di kawasan Lebak Bulus, saya menjadi sangat unik, karena tidak ada manusia lain selain saya yang menyandang predikat seperti ini. Tetapi kalau kita meneliti ini lebih dalam, maka kita akan menyimpulkan bahwa individualitas ini sebenarnya tidak secara keseluruhan murni, karena ia juga bermuatan berbagai elemen eksklusif yang bertautan dengan berbagai manusia, lepas dari kepercayaan, suku maupun kebangsaan. Sebagai contoh, saya berbagi satu hobi membaca dengan berjuta-juta manusia lain. Saya juga punya kesamaan seperti mereka yang suka bakmi, tahu, ataupun kue putu atau dengan mereka yang suka lagu-lagu Jeff Buckley.Perumpamaan di atas secara gamblang menunjukkan betapa fleksibel sebenarnya identitas itu. Dalam skala makro, keberadaan kita mau tidak mau bertautan dengan begitu banyak manusia dari latar yang berbeda-beda dan tidak terbatas oleh demarkasi lokasi ataupun bangsa. Ironisnya, secara individu pun kita tidak mungkin dikelompokkan dalam satu kelompok karena pada dasarnya kita semua sangat berbeda. Ini terbukti beberapa waktu yang lalu oleh penelitian proyek genome manusia, di mana ditegaskan bahwa DNA manusia adalah sebuah keajaiban dari ribuan permutasi yang sama sekali tidak mungkin direplikasi. DNA kita ibaratnya hasil dari sekali tekanan tombol mesin jackpot dengan ratusan ikon yang berbeda. Kemungkinan untuk memreplikasi susunan DNA yang sama, sama sekali tidak ada. Ilmu pengetahuan yang tadinya kita harapkan sebagai bintang penyelamat untuk membebaskan kita dari ortodoksi identitas, ternyata malah membuat kita semakin terjerumus dalam jurang pemisah. Pengetahuan, menurut Michel Foucault, hanya bisa membangkitkan lebih banyak pengetahuan. Michel Foucault memberi contoh seperti ini: seorang dokter yang kena flu tahu bagaimana mengobati dirinya dengan memilih obat yang tepat, tapi untuk kesehatan jiwanya ia tidak mampu memberikan preskripsi untuk dirinya. Karena untuk mengobati jiwanya ia membutuhkan lebih dari obat, ia perlu melakukan pelatihan-pelatihan “ tehkne tou biou” untuk mencapai satu titik konversi “metanoai”. Tehkne tou biou ini bukan sebuah antidote, seperti antidote untuk flu, tetapi sebuah perjalanan spiritualitas yang perlu ditekuni dalam hidup masing-masing. Pengetahuan dalam hal ini tidak mampu banyak membantu, karena ia justru mengakibatkan kita terperangkap dalam sejarah, tradisi dan segala embel- embel kepurbaan yang semakin mengikat kita pada satu identitas. Ia tidak mendorong kita untuk lebih mendekat pada realitas kehidupan dalam arti sebenarnya. Alain Badiou dalam bukunya Ethics mengupas apa yang disebutnya sebagai akronim usang. Seperti kata-kata Keadilan, Demokrasi, Cinta, dan dalam hal ini Identitas juga bisa kita masukkan dalam deretan akronim abstrak ini. Sebagai sebuah term kata Identitas seperti juga Keadilan tidak punya makna yang konkret. Karena ia hanya sebuah term abstrak. Badiou ingin menjelaskan kepada kita bahwa ketika sebuah kegiatan dibakukan menjadi sebuah simbol ia kehilangan makna aslinya. Ketika kita mengatakan Keadilan maka makna asli dari kata itu, yaitu berlaku adil, segera kehilangan makna aslinya. Kita tenggelam dalam sebuah semesta makna yang begitu luas sehingga keaslian makna itu sendiri menjadi kabur. Kita lupa bahwa Identitas berangkat dari kata kerja yang punya makna memperkenalkan diri, mengidentifikan diri orang lain, atau menyatukan diri dengan orang lain. Dengan kata lain, dengan merangkul kata identitas kita menjadi lupa melakukan hal-hal yang berlaku untuk makna itu. Identitas juga bercermin pada Yang Lain (The Other). Ia tidak bisa lepas dari pengakuan/pengukuhan orang lain. Identitas manusia selama hidupnya dicerminkan oleh seperangkat opini orang lain. Identitas dalam hal ini terkandung kesemuan yang menjadi kenyataan ketika kita mengkonfirmasi predikat-predikat dari orang lain. Ini paradoks yang kita bawa dari lahir yang akan terus melekat kecuali kita melakukan sesuatu untuk membebaskan diri dari tirani penafsiran Yang Lain. Dari penelitian proyek genome manusia, kita diajarkan bahwa kita tidak mungkin bisa sama seperti orang lain, sekalipun kita berusaha keras. Keunikan setiap individu sekaligus adalah kekuatan diri dan kelemahannya. Kekuatan karena dengan memahami keunikan itu kita tidak tergoyahkan oleh penafsiran Yang Lain. Kelemahannya adalah ketika kita berupaya untuk mengukuhkan identitas itu.
Seperti jalan menuju kesejahteraan jiwa harus melewati tehkne tou biou, pengasahan subjektivitas, maka untuk menjangkau orang lain kita juga perlu bekerja keras. Langkah pertama adalah membebaskan diri dari identitas. Manusia bebas identitas tidak memandang perbatasan negara, perbedaan suku atau pun kepercayaan sebagai jurang pemisah. Karena manusia pada dasarnya terikat dalam kebersamaan yang tak terelakkan, yaitu sebagai kelompok manusia berakal sehat dengan nilai-nilai kebaikan hakiki, mengemban visi yang sama, yakni dunia yang lestari dan damai. Dunia tanpa perbatasan dan identitas memungkinkan manusia untuk berpadu dalam satu komunitas dunia, bahu membahu menyelesaikan persoalan satu kasus demi satu kasus, tidak saling menyalip demi kepentingan bangsa, suku mau pun kepercayaan masing-masing. Alain Badiou menyimpulkan dengan elegan, “Satu bertaut dalam Dua. Kebersamaan berada dalam pergelutan perbedaan.†Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa yang perlu kita lakukan bukan menyatu dengan orang banyak tetapi berusaha keras untuk mengembangkan simpati dan empati pada orang lain tanpa kekalutan historis, suku, maupun kepercayaan. Dari satu individu ke individu yang lain. Tanpa baliho yang meneriakkan slogan kebesaran ini dan itu.
Imajinasi juga sangat berperan dalam pendekatan kita pada Yang Lain. Dalam novelnya Identity, Milan Kundera memberi sebuah contoh bagaimana paras seseorang yang tak dikenal di sebuah kafe meninggalkan impresi yang begitu dalam pada tokoh utama novel sehingga ia berkembang dan menjadi seorang karakter yang terasa begitu akrab, seperti seseorang yang sudah dikenalnya selama bertahun-tahun. Melalui imajinasi, simpati dan empati kita akan terpicu, terlepas dari belenggu pradugaan dan keterbatasan identitas sehingga kita bisa bebas melebur pada yang lain.
2. Pentingnya Sebuah Identitas
Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra organisasi. Identitas dapat berasal dari sejarah, visi atau cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Berbicara mengenai identitas sebenarnya itu adalah sebuah definisi diri dan itu bisa di berikan oleh orang lain atau kita yang memberikanya. Pelacakan identitas akan menerangkan tentang siapa kita, karena pelacakan identitas adalah upaya pendefinisian diri. Baik definisi dari orang lain maupun dari kita sendiri. Ketika kita berbicara identitas maka mau tidak mau kita harus melihat ke masa lalu, di dalam konteks, identitas itu bukanlah sebuah proses produksi di ruang vakum tetapi di dalam relasi-relasi kita dengan orang lain. Kemudian kemajemukan adalah yang mencerminkan ketinggalan diri, definisi siapa kita dan yang bukan kita adalah definisi yang di lakukan sendiri dan definisi diri yang di nisbahkan oleh pihak lain yang berelasi dengan kita. Cara kita mendefinisikan diri akan sangat berpengaruh terhadap pikiran, tindakan dan keputusan yang kita ambil. Cerita menarik yang beredar di internet menceritakan tentang seekor anak elang yang dipelihara dan dibesarkan keluarga ayam. Tentu saja keluarga ayam ini mengajarkan kepada sang anak elang tentang segala sesuatu yang menyangkut ke-ayam- an, antara lain ayam memakan biji-bijian, ayam tidak bisa terbang tinggi, ayam hanya bisa begini, dan begitu saja. Pada suatu waktu, si anak elang ini melihat burung elang yang gagah melintas di angkasa. Dengan decak kagum, sang anak elang berkata, “Alangkah gagah dan anggunnya burung itu.” Lalu, keluarga ayam yang mendengar komentar sang anak elang berkata, “Itu adalah burung elang. Ia memang memiliki kemampuan untuk terbang tinggi di angkasa. Sedangkan kita adalah ayam. Ayam hanya bisa terbang rendah dan tak akan pernah terbang tinggi seperti elang. Singkat kata, sang anak elang menerima bulat-bulat apa yang diajarkan keluarga ayam. Ia akhirnya mendefinisikan dirinya sebagai anak ayam. Karena ia mendefinisikan diri sebagai anak ayam, ia pun berpikir, berlaku, dan bertindak seperti anak ayam. Sampai akhir hayat sang anak elang, beraktivitas, bertindak dan mengambil keputusan seperti seekor ayam sesuai definisi yang diyakininya. Coba bayangkan, apa yang terjadi jika sang anak elang ini mencoba mengoptimalkan kemampuannya seperti impiannya untuk terbang tinggi seperti elang yang dilihatnya. Dari ilustrasi diatas kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran berharga mengenai pengaruh definisi identitas diri yang kita yakini. Cara kita mendefinisikan identitas kita akan menentukan masa depan kita melalui cara kita berpikir dan cara kita bertindak. Definisi identitas diri mempengaruhi cara kita berpikir. Sang elang yang mendefinisikan diri sebagai anak ayam akhirnya berpikir dan bertindak seperti anak ayam.
Dalam pemilu legislatif yang baru saja berlangsung di Indonesia, kebanyakan rakyat belum mampu menidentifasikan diri mereka sebagai pemegang kedaulatan. Pada pemilu kali ini, identitas yang terbentuk di wajah rakyat adalah sebagai penjual kedaulatan, hal tersebut terindikasikan melalui banyaknya kasus money politik. Secara bahasa sederhana money politik dipersepsikan sebagai politik uang. Di sini ada dua dimensi, yakni politik dan uang. Politik selama ini diorientasikan pada kekuasaan dan uang dipersepsikan sebagai salah satu kekuatan yang berbasis material. Artinya politik uang merupakan manifestasi dari upaya merebut kekuasaan lewat jalur politik dengan mengandalkan kekuatan uang. Kekuatan uang dalam hal ini adalah proses penentuan pemenang kekuasaan tidak berdasarkan pilihan rasional namun dengan dengan pertimbangan pragmatisme. Di sinilah kemudian stigma negatif melekat dalam persoalan money politik. Jika legislatif yang ihasilkan melalui mekanisme jual beli suara maka akan hadir para politisi yang mengidentifikasikan dirinya sebagai pedagang. Modal yang mereka keluarkan kepada rakyat harus kembali dalam jangka waktu tertentu dan harus bertambah karena begitulah identitas pedagang, kemudian lahirlah apa yang dinamakan politik dagang sapi. Entah siapa yang memulai istilah tersebut, tapi ketika kita mendengar dan mencoba memahami ternyata politik dagang sapi itu merupakan cara untuk bagi-bagi kedudukan dalam kabinet. Presiden dan Wakil Presiden yang tepilih nanti merupakan pilihan rakyat langsung, karena itu mereka memperoleh mandat yang penuh dari rakyat sebagai pemilih. Karena itu mereka mempunyai kedudukan yang lebih kuat dari pilihan anggota MPR. Akan tetapi dalam sistim yang berjalan presiden serta pemerintah yang dipimpinnya harus bekerjasama dengan DPR. Dengan demikian pemerintah yang akan disusun oleh persiden terpilih harus pandai-pandi bekerja sama dengan DPR agar program-program mereka disepakati DPR sebelum dapat dilaksanakan. Sebaik apapun program yang diusulkan, kalau DPR tidak menyetujuinya, apapaunalasannya, maka program tersebut tidak dapat dilaksanakan dan pemerintah tidak efektif menjalankan mandat yang diemban dari pemilih. Di dalam media sudah banyak diberitakan bahwa negosiasi antar berbagai partai capres dalam meminang cawapres sekaligus melakukan tawar menawar mengenai pembagian kursi dalam kabinet yang akan datang. Maka harapan akan perbaikan kesejahteraan rakyat yang berjalan beriringan dengan demokratisasi nampaknya hanya angan-angan, karena tidak ada eksekutif dan legislatif yang memikirkan hal tersebut. Jadi, selagi kedaulatan itu masih berada di tangan rakyat, mengidentifikasi diri kemudian melakukan tindakan yang tepat untuk mempergunakannya demi kesejahteraan dalam jangka waktu lima tahun kedepan harus menjadi perhatian serius agar tidak menyesal dikemudian hari.
3. Identitas, fungsi dan peranan sosial manusia ( terjadinya interaksi sosial )
• manusia sebagai makhluk individu
• Manusia sebagai makhluk sosial
• Manusia sebagai makhluk berketuhanan
Untuk mengemban ketiga fungsi, identitas dan peranan sosial tersebut manusia mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan tuhannya. Hal inilah yang mendasari terjadinya interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Pengertian interaksi sosial : Hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara seseorang dengan orang lain dalam situasi sosial tertentu. Di dalam proses interaksi sosial ini juga berlangsung proses berimbang dan berkesinambungan ( adaptif social relationship ).
4. Syarat terbentuknya interaksi sosial :
a. Komunikasi sosial
b. Kontak social
5. Dasar terjadinya interaksi sosial :
• Interaksi sosial didasari oleh adanya kebutuhan ( motivasi ) sosial dankebutuhan individual.
• Abraham Maslow ( Hierarchi Need Theory )
o Kebutuhan fisiologis ( fisiological needs )
o Kebutuhan rasa aman ( safety needs )
o Kebutuhan cinta dan kasih sayang ( love and belonging needs )
o Kebutuhan penghargaan diri ( self esteem needs )
o Kebutuhan aktualisasi diri ( need of self actualisation )
• David Mc Clelland
o Need for Power ( Motiv berkuasa )
o Need for affiliation ( motif berkumpul / berserikat )
o Need for achivement ( motif berprestasi / menjadi yang terbaik ) semua kebutuhan dan motif tersebut akan terpenuhi bila manusia mampu membangun kontak sosial dan mengembangkan komunikasi sosial sehingga terbentuk interaksi sosial dan akhirnya mewujud dalam social relationship.
6. Faktor Pengarah terbentuknya interaksi sosial
• Faktor Imitasi : ( Gabriel Trade ), seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Imitasi dorongan untuk meniru orang lain.
• Fakroe sugesti : sugesti berlangsung jika seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya kepada orang lain dan diterima.
• Faktor identifikasi
• Faktor Simpati
B. NASIONAL
Nasional atau Nasionalisme adalah pilar utama dalam berbangsa dan bernegara. Sebuah negara yang tidak ditopang dengan pilar nasionalisme yang kokoh, akan menjadi rapuh, kemudian runtuh, dan akhirnya tinggal sejarah. Kejayaan Bangsa Romawi, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Mongol, Andalusia, Ottoman, Majapahit, Sriwijaya, Gowa, dan Mataram, kini hanya tinggal kenangan yang bisa kita ketahui melalui buku sejarah dan sisa-sisa peninggalannya. Tentu kita tidak berharap Republik Indonesia yang tercinta ini mengalami nasib yang sama dengan bangsa-bangsa pendahulunya itu. Nasionalisme awalnya berkembang di Eropa. Pada akhir abad 18 di Eropa mulai berlaku suatu paham bahwa setiap bangsa harus membentuk suatu Negara sendiri dan bahwa Negara itu harus meliputi seluruh bangsa masing-masing. Kebanyakan bangsa-bangsa itu memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang membuat mereka berbeda satu sama lain, misalnya persamaan keturunan, persamaan bahsa dan daerah budaya, kesatuan politik, adat istiadat dan tradiri atau juga karena persamaan agama. Gerakan nasionalisme dan cita- cita kebangsaan yang berkembang di eropa pada hakikatnya memiliki sifat cinta kebangsaan. Nasionalisme yang berkembang di Eropa kemudian menjalar ke seluruh dunia. Memasuki awal abad 20 nasionalisme mulai berkembang di negara- negara Asia dan Afrika termasuk Indoensia. Nasionalisme di Asia dan Afrika bukan hanya suatu perjuangan kemerdekaan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tetapi memiliki tujuan yang lebih mendalam,
Ciri-ciri Penting yang Berkaitan dengan Nasionalisme di Asia dan Afrika ;
a. Konsep Ia merupakan sarana untuk menumbuhkan semangat perlawanan terhadap dominasi imperialisme Barat
b. Ia menjadi peletak dasar bafi terciptanya perubahan masyarakat Asiaterutama dalam cara pandang tentang kedaerahan menjadi cara pandang seluruh bangsa.
c. ia ditumbuhkan oleh para pemimpin intelektual yang memperoleh pengaruh positif dari pendidikan Barat seperti pendidikan modern, berpikir kritis, komitmen terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Kaum intelektual menemukan dua aspek yang dapat mereka manfaatkan
• human dignity / martabat manusia
• Ideologi / faham dari Barat seperti liberalisme dan demokrasi
d. Ia terus berkembang karena para pemimpin dan pengikutnya lebih melihat masa depan dibanding masa lalu.
Yang dimaksud dominasi (asal kata dominant= lebih kuat/kuasa) politik adalah suatu penguasaan penuh dalam bidang politik, sehingga pemerintah ada
ditangan penjajah. eksploitasi ekonomi adalah pemerasan yang dilakukan melalui eksploitasi kekayaan alam, monopoli, memeras tenaga kerja penduduk, sedangkan penetrasi (asal kata to penetrate = menyusup/menerobos) kebudayaan adalah suatu pemaksaan kepada penduduk pribumi untuk mengikuti kebudayaan bangsa penjajah. Coba Anda berikan contoh dari tindakan-tindakan tersebut.
Tekanan dan pemaksaan dari pihak penjajah menimbulkan reaksi berupa penolakan dan perlawanan rakyat untuk mengusir penjajah. Jadi dengan adanya kolonialisme dan imperialisme menimbulkan reaksi bangkitnya semangat berkebangsaan. Perasaan senasib sepenanggungan dan menyatukan kehendak dan tekad untuk lepas dari penjajah merupakan inti dari nasionalisme Indonesia. Nasionalisme tersebut lahir, tumbuh dan berkembang seirama dengan perjalanan sejarah, bahwa perlawanan terhadap penjajah mengalami kegagalan. Berbagai upaya telah dilakukan, namun tidak membuat penjajah angkat kaki dari bumi Indonesia. Mengapa demikian?.Disebabkan belum adanya kesadaran pentingnya persatuan dan kesatuan guna melawan penjajah karena tingkat pendidikan bangsa Indonesia pada saat itu masih rendah. Akhirnya, secara lambat laun kesadaran itu mulai muncul dan berkembang.
1. Pengertian Nasional atau Nasionalisme
a. Penegrtian Leksikal
Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Padanan dengan bahasa Indonesia sekarang adalah tidak beradab, kampungan, kedaerahan, dan sejenisnya.
Kata natio dari Bahasa Latin ini kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa turunan Latin seperti Perancis yang menerjemahkannya sebagai nation, yang artinya bangsa atau tanah air. Juga Bahasa Italia yang memakai kata nascere yang artinya “tanah kelahiran”. Bahasa Inggris pun menggunakan kata nation untuk menyebut “sekelompok orang yang dikenal atau diidentifikasi sebagai entitas berdasarkan aspek sejarah, bahasa, atau etnis yang dimiliki oleh mereka” (The Grolier International Dictionary: 1992).
Pengertian ini jelas mengalami perubahan karena kata nasion dan nasionalisme diadopsi dan dipakai secara positif untuk menggambarkan semangat kebangsaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Di bawah pengaruh semangat pencerahan (enlightenment), kata nasionalisme tidak lagi bermakna negatif atau peyoratif seperti digunakan dalam masyarakat Romawi Kuno. Sejak abad pencerahan (zaman pencerahan atau zaman Fajar Budi berlangsung selama abad 17–18), kata ini mulai dipakai secara positif untuk menunjukkan kesatuan kultural dan kedaulatan politik dari suatu bangsa.
“Kesatuan kultural” dan “kedaulatan politik” merupakan dua kata kunci yang penting untuk memahami nasionalisme. Nasionalisme dalam pengertian kedaulatan kultural akan berbicara mengenai semangat kebangsaan yang timbul dalam diri sekelompok suku atau masyarakat karena mereka memiliki kesamaan kultur. Di sini kita berbicara mengenai nasionalisme bangsa Jerman atau bangsa Korea atau bangsa-bangsa di Eropa Tengah dan Timur yang memiliki kesamaan kultur. Semangat kebang-saan atas dasar kesamaan kultur ini telah terbentuk sebelum terbentuknya suatu negara bangsa.
Mengacu pada pengertian ini, Indonesia jelas tidak menganut paham nasionalisme dalam artian kesamaan kultur. Kita memiliki pluralitas budaya dan etnis yang memustahilkan kita berbicara mengenai semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur. Masih dalam konteks pengertian ini, sebenar-nya wajar saja jika orang Aceh berbicara mengenai nasionalisme Aceh, demikian pula orang Papua, Maluku, Jawa, Batak, Bugis, Makassar, Bali, Flores, dan sebagainya. Nasionalisme yang mereka mak-sudkan tentu saja adalah semangat kebangsaan atas dasar persamaan kultur ini, dan semangat ini tidak bisa dikatakan sebagai salah atau benar. Pengertian kedua adalah nasionalisme dalam arti kedaulatan politik.
Berdasarkan pengertian ini, suatu kelompok masyarakat menentukan sikap politik mereka—atas dasar nasionalisme, entah nasionalisme kultural atau nasionalisme politik—untuk memperjuangkan terbentuknya sebuah negara yang independen. Itu berarti baik kelom-pok masyarakat yang memiliki kesamaan kultur maupun yang multi kultur dapat memiliki nasionalisme dalam artian kedaulatan politik ini. Menurut pengertian ini, Indonesia termasuk yang memiliki nasionalisme dalam arti kedaulatan politik. Demikian pula halnya dengan negara-negara lain yang memiliki keragaman kultur.
Nasionalisme dalam arti semangat kebangsaan karena kesamaan kultur mula-mula mendasarkan dirinya pada persamaan-persamaan kultur yang utama, misalnya kesamaan darah atau keturunan, suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan.
Ketika berkembang menjadi kedaulatan politik, nasionalisme merangkum atau mengikutsertakan nilai-nilai lainnya seperti adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam kelompok atau masyarakatnya serta adanya kepentingan ekonomi. Perkembangan lebih lanjut tentu saja adalah adanya hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) dan hak untuk tidak dijajah oleh bangsa lain (freedom from slavery). Dalam sejarah, tampak jelas bahwa hak untuk mengambil bagian secara aktif dalam kehidupan politik merupakan sebuah kesadaran baru yang dipengaruhi oleh revolusi Prancis tahun 1789. Sementara itu, hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk tidak dijajah bangsa lain telah menjadi dasar nasionalisme dari negara-negara Asia–Afrika dalam membebaskan diri dari penjajahan setelah Perang Dunia II.
b. Pengertian menurut beberapa Tokoh
• Joseph Ernest Renan dari Prancis (1822–1892)
Nasionalisme adalah sekelompok individu yang ingin bersatu dengan individu-individu lain dengan dorongan kemauan dan kebutuhan psikis. Sebagai contoh adalah bangsa Swiss yang terdiri dari berbagai bangsa dan budaya dapat menjadi satu bangsa dan memiliki negara.
• Otto Bauer (Jerman, 1882–1939)
Nasionalisme adalah kesatuan perasaan dan perangai yang timbul karena persamaan nasib, contohnya nasionalisme negaranegara Asia.
• Hans Kohn
Nasionalisme adalah kesetiaan tertinggi yang diberikan individu kepada negara dan bangsa
• Louis Snyder
Nasionalisme adalah hasil dari faktor-faktor politis, ekonomi, sosial dan intelektual pada suatu taraf tertentu dalam sejarah. Sebagai contoh adalah timbulnya nasionalisne di Jepang.
2. Bentuk-bentuk Nasionalisme
a. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil)
adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”, “perwakilan politik”. Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-jacques rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudul Du Contact Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia “mengenai kontrak sosial”).
b. Nasionalisme Etnis
adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johan Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”). Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya “Grimm Bersaudara” yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
c. Nasionalisme Budaya
adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya.
d. Nasionalisme kenegaraan
ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah ’national state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa adalah Nazisme, serta nasionalime Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Fransquisme sayap kanan di Spanyol, serta sikap ’ Jacobin ’ terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Prancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraann ( equal rights ) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika.
e. Nasionalisme agama
ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama.
3. Unsur-unsur Nasionalisme Menurut Dr. Frederick Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, mengidentifikasi 4 (empat) unsur nasionalisme, yaitu
a. hasrat untuk mencapai kesatuan,
b. mencapai kemerdekaan,
c. mencapai keaslian,
d. kehormatan bangsa.
Jadi seorang nasionalis sejatinya akan mengutamakan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan pribadi dan golongannya.
4. Aspek-aspek Nasionalisme
a. Aspek politik
Nasionalisme bersifat menumbangkan dominasi politik imperialisme dan bertujuan menghapus pemerintah kolonial.
b. Aspek Sosial Ekonomi
Nasionalisme bersifat menghilangkan kesenjangan sosial yang diciptakan oleh pemerintah kolonial dan bertujuan menghentikan eksploitasi ekonomi.
c. Aspek Budaya
Nasionalisme bersifat menghilangkan pengaruh kebudayaan asing yang buruk dan bertujuan menghidupkan kebudayaan yang mencerminkan harga diri bangsa setara dengan bangsa lain.
5. Makna Nasionalisme
Istilah nasionalisme digunakan dala rentang arti yang kita gunakan sekarang. Diantara penggunaan – penggunaan itu, yang paling penting adalah :
a. Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa.
b. Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan.
c. Suatu bahasa dan simbolisme bangsa.
d. Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan.
e. Suatu doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme.
Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).
Perspektif etnonasionalisme yang membuka wacana tentang asal-muasal nasionalisme berdasarkan hubungan kekerabatan dan kesamaan budaya. Bahwa nasionalisme adalah penemuan bangsa Eropa yang diciptakan untuk mengantisipasi keterasingan yang merajalela dalam masyarakat modern (Elie Kedourie, 1960). Nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas.
Nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Nasionalisme berada di titik persinggungan antara politik, teknologi, dan transformasi sosial.
Pemahaman komprehensif tentang nasionalisme sebagai produk modernitas hanya dapat dilakukan dengan juga melihat apa yang terjadi pada masyarakat di lapisan paling bawah ketika asumsi, harapan, kebutuhan, dan kepentingan masyarakat pada umumnya terhadap ideologi nasionalisme memungkinkan ideologi tersebut meresap dan berakar secara kuat (Eric Hobsbawm, 1990).
Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Imagined Communities, Anderson berargumen bahwa nasionalisme masyarakat pascakolonial di Asia dan Afrika merupakan hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa.
Menurut Plamenatz, nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, Partha Chatterjee memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi.
6. Diskusi Kontemporer
Nasionalisme tidak akan pernah selesai diper-debatkan karena dialah satu-satunya ideologi yang sungguh-sungguh mengikat dan mempersatukan sekelompok masyarakat dalam sebuah perasaan yang sama dan tekad untuk untuk membangun kehidupan bersama. Kalau diperhatikan perdebatan mengenai nasionalisme dewasa ini (kontemporer), dikotomi nasionalisme sebagai identitas kultural atau identitas politis akan terus mewarnai perdebat-an ini.
Lima pemikir di bawah ini diambil sebagai contoh untuk menunjukkan diskusi kontemporer mengenai nasionalisme. Setelah itu, pemikiran- pemikiran mereka akan kita simpulkan. Dari sana kita mencoba memahami pembentukan sebuah negara berdaulat berdasarkan semangat nasionalisme.
• Ernest Gellner
Ernest Gellner memahami nasionalisme seba-gai proses pembentukan kultur suatu bangsa. Gellner mengenal dan membedakan kebudayaan tinggi atau high culture dan kebudayaan rendah atau low culture. Kalau nasionalisme dipahami sebagai proses pembentukan kultur bangsa, maka yang Gellner maksudkan adalah proses pembentukan high culture sebuah bangsa. Dalam proses ini kultur yang sifatnya tinggi tersebut dikodifikasi.
Ada dua pertanyaan yang dapat diajukan antara lain :
1. apa yang dimaksud dengan kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah?
2. apa yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan dan menga-pa hal itu perlu dilakukan? Sekali lagi, high culture adalah kebudayaan yang oleh sebuah negara dianggap bernilai tinggi dan pantas dijadikan sebagai kebudayaan nasional.
Menurut Gellner, kriteria sebuah kebudayaan bernilai tinggi atau rendah adalah apakah kebudayaan tersebut rasional atau tidak. Misalnya sikap ramah (hospitality) suatu kelompok masyarakat menerima siapa saja yang datang dalam hidup mereka. Kare-na dapat dipahami secara rasional, sikap ramah dapat diterima menjadi salah satu kebudayaan nasional. Sebaliknya, jika suatu adat, kebiasaan atau hasil karya yang membahayakan hidup orang lain atau menggangu ketenteraman hidup orang lain akan sulit diterima dan diakui sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dalam kasus seperti ini negara bisa saja menolak bahkan melarang kebudayaan seperti itu. Ingat, arti kebudayaan adalah keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia.
Proses pembentukan high culture dalam nasionalisme adalah proses standardisasi kebudayaan nasional. Standardisasi ini selain dapat mengalahkan, memperlemah, atau membunuh kebudayaan-kebudayaan lokal atau kedaerahan, dapat juga membunuh kebudayaan-kebudayaan yang sifatnya etnik yang sebetulnya telah ada sebelum adanya negara.
Negara sebenarnya bukan hanya dapat mengadopsi salah satu kebudayaan etnik yang ada menjadi kebudayaan nasional, tetapi juga menolak atau melarangnya. Misalnya, pemerintah Inggris mengizinkan kebebasan beragama dan beribadah di Inggris, tetapi melarang pengajaran agama Kristen di sekolah dasar dan sekolah lanjutan. Dalam contoh yang paling terakhir, pemerintah Inggris mengizinkan sekolah- sekolah melarang pemakaian jilbab di sekolah bagi siswi muslim dengan alasan supaya semua siswa-siswi dapat berbaur tanpa hambatan atau halangan eksternal dan internal.
Bagaimana dengan Indonesia? Orde Baru sangat mengutamakan kodifikasi atau standardisasi kebudayaan nasional ini. Dalam bidang agama, misalnya. Orde Baru melarang sekte-sekte dari suatu agama bila praktik ritual mereka dipandang mengganggu ketertiban umum dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga dengan bentuk atau ungkapan kebudayaan lainnya. Dalam arti ini praktik-praktik keagamaan dari sekte-sekte tertentu itu bukan merupakan kebudayaan nasional. Pemerintah Orde Baru bahkan berani menentukan agama mana yang resmi dan agama mana yang tidak resmi. Agama yang resmi menurut versi Orde Baru dapat dianggap sebagai high culture, sementara di luar itu adalah low culture.
Yang dimaksud dengan kodifikasi kebudayaan adalah proses standardisasi kebudayaan. Dengan kata lain, proses menentukan mana kebudayaan yang dapat menjadi kebudayaan nasional dan mana kebudayaan yang harus ditolak. Kodifikasi ini dilakukan untuk menjamin keberlangsungan hidup suatu bangsa. Meskipun demikian, sering terjadi bahwa kodifikasi ini sengaja dilakukan penguasa atau elit politik tertentu dengan maksud untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dalam arti itu kodifikasi kebudayaan didahului oleh adanya propaganda yang sifatnya sangat ideologis. Menurut Gellner, kodifikasi kultur sebenarnya dimaksud untuk mencegah monopoli penentuan kultur nasional hanya oleh elit atau kelompok tertentu saja. Nah, ini berarti dalam menentukan mana kebudayaan yang tinggi dan mana yang rendah ha-rus mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat. Bagi Gellner, proses kodifikasi dengan mengikut-sertakan masyarakat ini sangat mungkin untuk dilakukan, karena pendidikan massal telah berhasil menyatukan negara dan kebudayaan secara bersama. Setelah terjadinya proses kodifikasi atau standardisasi kebudayaan nasional biasanya diikuti de-ngan pendirian museum-museum, penulisan sejarah negara, pendirian badan-badan ilmiah tertentu yang bertujuan mempropagandakan dan menyebarluaskan pengetahuan resmi (pemerintah).
Pandangan Ernest Gellner bukan tanpa kele-mahan. Kelemahan utama pandangan Gellner adalah bahwa high culture bersifat sangat rasional. Dalam hal ini, rasionalitas tampaknya terlalu diagung-agungkan. Bagaimana dengan low culture? Apakah identitas kebangsaan hanya dibentuk oleh high culture? Apakah low culture seperti praktik-praktik kultik atau ritus-ritus agama tertentu atau praktik-praktik magi dan sebagainya harus dikendalikan dan dilarang karena sifatnya yang tidak rasional. Dewa-sa ini lebih diterima bahwa low culture juga menguntungkan bagi pembentukan identitas kebang-saan.
Dalam arti ini pemerintah atau negara tidak perlu melarang praktik-praktik magi dan perdukunan sejauh praktik-praktik tersebut tidak membahayakan hidup masyarakat itu sendiri. Karena itu, pemikiran sementara orang untuk melarang praktik magi atau membuat perangkat hukum untuk menghukum praktik santet bukan hanya tindak-an yang tidak masuk akal, tetapi juga tindakan yang bodoh. Kalau kamu perhatikan acara-acara televisi kita dewasa ini, banyak sekali dipenuhi dengan acara setan, alam gaib, dan semacam-nya. Menurut kategori Gellner, semua ini adalah low culture, karena tidak rasional. Meskipun demikian, ungkapan kebudayaan seperti ini ikut membentuk identitas kebudayaan Indonesia. Sejauh tidak membahayakan ketertiban umum, ekspresi kebudayaan seperti itu sah-sah saja eksis di bumi pertiwi Indonesia.
• Eric Hobsbawn
Berbeda dengan Gellner yang memahami na-sionalisme sebagai proses pembentukan high cultu-re sebuah bangsa, nasionalisme menurut Eric Hobsbawn dipahami sebagai pembentukan iden-titas kebangsaan. Pertanyaannya, siapa yang mem-bentuk identitas kebangsaan itu? Apakah identitas kebangsaan dibentuk oleh seluruh warga masyarakat atau hanya kelompok elit saja? Hobsbawn berpendapat bahwa yang membentuk identias kebang-saan adalah elit. Masyarakat pada umumnya tidak ikut serta dan tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan identitas kebangsaan.
Dalam proses pembentukan identitas kebangsaan ini elit umumnya menciptakan simbol-simbol yang dapat mendukung tercapainya identitas ke-bangsaan. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa identitas bangsa sebagai bangsa bahari, para elit menciptakan simbol-simbol yang berhubungan dengan dunia bahari. Misalnya, kapal laut, perahu nelayan, patung nelayan, dan sebagainya. Setelah diciptakan, simbol-simbol ini kemudian ditafsirkan oleh para elit. Tafsiran tersebut umumnya meng- gambarkan identitas ideal suatu bangsa. Simbol-simbol dalam bentuk monumen-monumen menjadi contoh yang sangat jelas bagaimana identitas kebangsaan hendak dibangun. Di Indonesia kita memiliki banyak sekali monumen yang maknanya penuh dengan nilai-nilai kebangsaan. Kalian bisa mendalami apa makna di balik simbol Monumen Nasional (Monas), monumen Pancasila sakti, dan monumen proklamator di Jakarta.
Menurut Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga berusaha menafsirkan tradisi-tradisi sebegitu rupa, dengan dukungan ideologi tertentu, dengan maksud untuk menghubungkan identitas kebangsaan sampai ke masa yang sangat lampau. Penciptaan identitas kebangsaan semacam ini biasanya juga mengedepankan nilai-nilai luhur nenek moyang suatu bangsa yang dapat dijadikan anutan masyarakat dewasa ini.
Misalnya, Indonesia ingin menanamkan nilai-nilai kebangsaan dengan belajar dari nilai-nilai kebangsaan yang ada pada Kerajaan Sriwijaya. Menurut Dr. P.J. Suwarno (Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta: 1993, hlm. 20-21), Sriwijaya yang berpusat di Sumatra, telah mempraktikkan nilai-nilai persatuan, ketuhanan, kemasyarakatan, ekonomi, dan hubungan internasional. Di mata para elit, nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat Kerajaan Sriwijaya ini menjadi bukti bahwa sudah sejak lama bangsa Indonesia memiliki kepribadian atau identitas bangsa yang agung dan luhur.
Tidak hanya itu. Menurut Eric Hobsbawn, dalam membentuk identitas kebangsaan, para elit juga sering mengadakan perayaan-perayaan dan upa-cara-upacara kenegaraan. Melalui perayaan-perayaan semacam inilah para elit menanamkan dalam diri masyarakat akan nilai-nilai luhur bangsanya, misalnya dengan merenungkan kembali jasa-jasa para pahlawan bangsa, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika dalam suatu negara perayaan-perayaan kenegaraan dianggap sebagai bagian yang penting dari proses pembentukan identitas kebangsaan.
Bagi Hobsbawn, massa rakyat menerima begitu saja simbol-simbol dan propaganda-propaganda yang dilancarkan elit. Di sini sering kali orang lupa, bahwa elit melakukan propaganda melalui simbol-simbol dan perayaan-perayaan keagamaan tidak hanya sebatas menyimbolkan perasaan menjadi bagian dari suatu bangsa. Elit melakukan ini juga dengan tujuan melegitimasikan kekuasaan mereka.
Bagaimana kita menyikapi pandangan Eric Hobsbawn ini? Ada duakelemahan utama yang dapat dikemukakan, yakni Pertama, Massa rakyat dianggap bodoh. Rakyat dianggap tidak memiliki sikap kritis dan hanya menerima begitu saja penciptaan simbol-simbol dalam proses pembentukan identitas bangsa. Rakyat juga dianggap bodoh dan mengikuti sa-ja upacara-upacara kenegaraan tanpa mempertanyakan relevansinya. Pandangan semacam ini sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.Kedua, Eric Hobsbawn lupa, bahwa simbol yang dicip-takan oleh para elit sebenarnya bukan semata-mata merepresentasikan sesuatu. Simbol- simbol tersebut juga memberi kemungkinan agar orang lain selain elit atau penguasa menerap-kan makna ke dalam simbol-simbol tersebut.
Dengan demikian, jarang terjadi bahwa simbol-simbol atau upacara kenegaraan hanya memiliki makna tunggal. Bagi para elit, upacara 17 Agustus dapat menjadi momen pembentukan iden-titas bangsa. Akan tetapi bagi sebagian orang, upacara 17 Agustus adalah saat di mana rakyat berpesta makan, minum, dan mengadakan pertandingan olahraga di lingkungan masing-masing tanpa ada hubungan dengan semangat nasionalisme. Di sini Hobsbawn lupa bahwa makna harus bersifat plural, juga dalam produksi identitas kebangsaan. Masyarakat mampu menciptakan simbol dan menafsirkan sesuai kehendak mereka.
• Benedict Anderson
Nama ahli politik yang satu ini cukup dikenal di Indonesia. Dia menulis buku Imagined Community yang amat terkenal. Guru besar ilmu politik dari Cornell University (AS) ini adalah salah seorang Indonesianis garda depan. Benedict Anderson memahami nasionalisme sebagai komunitas khayalan (imagined community) yang disatukan oleh sebuah persahabatan horisontal yang mendalam di mana anggota-anggotanya diyakini mengkonstitusi (menciptakan) sebuah en-titas yang kuat dan utuh.
Bagi Anderson, komunitas khayalan ini ada atau terbentuk karena kekuatan media massa, khususnya media cetak. Media cetak sangat berperan dalam menyebarluaskan diseminasi (penggandaan) gagasan/ide dari bangsa. Anderson menekankan bahwa bacaan atas surat kabar harian atau majalah mingguan yang secara teratur dan sinkronik membentuk para pembacanya untuk berbagi perasaan, gagasan atau serangkaian minat bersama, karena isi dan fokus dari berita. Menurut Anderson, penga-laman kebangsaan berakar setiap hari karena sha-red reading ini.
Mari kita kemukakan sebuah contoh untuk menjelaskan konsep yang abstrak ini. Tanggal 26 Desember 2004 gelombang tsunami menghancurkan Provinsi Nangro Aceh Darussalam dan mene-waskan ratusan ribu orang. Seluruh masyarakat bangsa Indonesia ikut bersedih dan membantu saudaranya yang tertimpa musibah tersebut. Perasaan bahwa Aceh adalah bagian dari saudara kita umumnya ditimbulkan oleh media massa yang kita baca, tonton, atau dengar. Kalian bisa bayangkan apa jadinya kalau bencana itu terjadi pada zaman di mana media massa belum mengalami kemajuan seperti sekarang ini. Barangkali tidak akan muncul banyak orang yang mengetahui dan membantu.
Nah, kira-kira proses pembentukan nasionalisme menurut Benedict Anderson terjadi seperti itu. Suatu komunitas pada akhirnya memiliki perasaan kebangsaan yang sama karena perasaan itu ditimbulkan oleh kesamaan minat dan perhatian mereka. Kesamaan minat dan perhatian it ditimbulkan oleh media cetak (koran dan majalah) yang mereka baca. Kesamaan minat dan perhatian itu pada gilirannya memicu perasaan komunitas tersebut untuk mengkhayalkan sebuah masyarakat tempat mereka hidup bersama sebagai warga masyarakat. Wujud konkret dari komunitas khayalan itu adalah negara.
Konflik antara Indonesia dan Malaysia di perairan Ambalat yang memicu gelombang protes masyarakat Indonesia pun dapat dipahami dengan memakai pemahaman Anderson ini. Harus diakui bahwa kita mengetahui adanya konflik tersebut dari media massa. Media massalah yang menimbulkan perasaan kebangsaan kita. Kehadiran kapal-kapal perang dan tentara Indonesia yang siaga dua puluh empat jam memicu khayalan kita untuk membayangkan sebuah keutuhan wilayah dan kebesaran bangsa Indonesia. Khayalan-khayalan seperti inilah yang menyatukan masyarakat dalam gelombang protes terhadap tindakan sewenang-wenang Malaysia. Di sini memang perasaan lebih memainkan peran daripada pikiran. Nasionalisme sebagai imagined community harus lebih menonjolkan perasaan daripada pikiran.
Bagaimanapun juga, pemikiran Anderson ada kelemahannya juga. Kelemahaman pandangan Anderson adalah bahwa dia hanya menekankan peran media cetak dalam menghasilkan kultur dan identita kebangsaan. Padahal masih ada lagi produksi kultur dan identita kebangsaan melalui ruang musik (music hall) dan teater, musik-musi popular, pesta-pesta, arsitektur, fesyen, juga melalui televisi, film, radio, dan teknologi informasi lainnya.
• Anthony Smith
Masih ingat pandangan Ernest Gellner dan Eric Hobsbawn mengenai nasionalisme? Di atas sudah dikemukakan kelemahan-kelemahan dari pandang-an mereka. Nah, Anthony Smith sendiri mengkhususkan diri untuk mengkritik secara tajam pandangan Gellner dan Hobsbawn tentang sifat nasionalisme. Gellner dan Hobsbawn berpendapat bahwa nasionalisme adalah produk modern, jadi masa-masa sebelum zaman modern belum ada nasionalisme. Bagi Smith, nasionalisme atau perasaan kebang-saan sudah ada jauh sebelum lahirnya suatu bang-sa. Perasaan kebangsaan sudah ada bahkan dalam diri kelompok etnis yang kemudian mendorong me-reka untuk membentuk negara itu sendiri.
Di sini Smith memahami etnisitas sebagai kelompok sosial dengan identitas tertentu dan yang membedakan diri mereka dari orang lain.Umumnya kelompok-kelompok etnis membentuk sendiri batas-batas (boundaries) dan menciptakan simbol-simbol yang menjadi tanda bahwa “kita” (us) berbeda dari “mereka” (they). Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok etnis semacam ini bisa saja membentuk sebuah negara. Kalau ini yang terjadi, maka nasionalismenya bersifat nasionalisme etnik.
Selain berpendapat bahwa perasaan dan identitas kebangsaan sudah ada jauh sebelum terbentuknya sebuah negara, Smith juga berpendapat bahwa nasionalisme berhubungan dengan pembentukan identitas nasional suatu bangsa. Pembentukan identitas nasional dapat terjadi melalui penciptaan simbol-simbol nasional. Bagi dia, simbol-simbol nasional tidak diciptakan sepihak oleh elit, tapi oleh berbagai kelompok yang berbeda. Karena mengikutsertakan banyak kelompok masyarakat dalam penciptaan simbol-simbol nasional, maka sering terjadi konflik dalam proses penciptaan simbol-simbol nasional ini. Konflik-konflik tersebut wajar dan perlu sejauh tidak membawa perpecahan bangsa. Menurut Smith, dalam menciptakan simbol-simbol tersebut tidak ada cetak biru (blue print) yang siap dipakai sebagai contoh. Tidak hanya itu.
Bah-kan dalam proses pembentukan kebudayaan nasio-nal pun tidak ada cetak biru. Karena itu, seluruh lapisan masyarakat benar-benar harus terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan identitas nasional dan kebudayaan bangsanya.
Jika terjadi bahwa dalam proses pembentukan identitas bangsa melalui penciptaan simbol-simbol tersebut tidak ada serangakaian simbol yang dapat diterima bersama, maka pada saat ini kelompok-kelompok sosial yang ada harus memilih simbol-simbol yang multipel dengan maksud supaya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dapat didorong untuk menerima dan mengidentifikasikan dirinya dengan simbol-simbol tersebut.
Menurut Smith, dapat saja terjadi bahwa ada kebudayaan dari etnis tertentu yang diterima sebagai kebudayaan nasional asal memenuhi persyaratan. Syaratnya adalah kebudayaan dari etnis tersebut harus masuk akal dan kredibel. Perhatikan di sini bahwa masuk akal tidak sama dengan rasional. Sesuatu yang masuk akal belum tentu rasional, sementara sesuatu yang rasional sudah tentu masuk akal. Ziarah ke kuburan dan bersemedi untuk meminta “berkat dan pertolongan” dari arwah nenek moyang atau tokoh-tokoh terkenal yang sudah mati memang tidak rasional, tetapi masuk akal. Karena itu upacara seperti ini dapat menjadi ekspresi dari kebudayaan nasional Indonesia Dengan pandangan semacam ini Smith sebetulnya memiliki pemahaman yang sangat baik mengenai kebudayaan. Bagi dia, kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Sifat dinamis ini ada karena proses pembentukannya tidak mengikuti cetak biru tertentu, tetapi proses bersama dari seluruh anggota masyarakat. Selain itu, kebudayaan suatu bangsa terdiri dari macam-macam unsur, an-tara lain unsur repository (kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada sekarang dan masih terpelihara), unsur warisan antargenerasi, serangkaian tradisi, dan pembentukan secara aktif makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri. Unsur yang terakhir ini—pembentukan secara aktif makna dan imaji-imaji oleh masyarakat itu sendiri—terejawan-tah dalam nilai-nilai, mitos-mitos, dan simbol-simbol yang pantas untuk menyatukan sekelompok orang dengan pengalaman-pengalaman dan kenangan- kenangan yang sama dan yang membeda-kan me-reka dari kelompok luar.
Sebagai kritik terhadap pandangan Gellner dan Hobsbawn, pandangan Anthony Smith nyaris sempurna; karena itu tidak perlu dikritik. Kita akan kembali ke pandangan-pandangannya ketika membica-rakan proyeksi nasionalisme Indonesia dan pembentukan negara Republik Indonesia.
• Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo
Sebagai sejarawan, Prof. Sartono Kartodirdjo tentu saja merefleksikan nasionalisme dari pers-pektif Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, nasionalisme Indonesia timbul sebagai reaksi terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang.
Dalam artikelnya berjudul Kebangkitan Nasional dan Nasionalisme Indonesia (Lihat: http://202.159. 18.43/jsi/1sartono.htm), Sartono berpendapat bahwa nasionalisme pertama-tama adalah penemuan identitas diri. Ini merupakan tingkat yang paling primordial di mana kelompok masyarakat tertentu berusaha merumuskan identitas dirinya berhadapan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya. Identitas diri tersebut, begitu selesai dirumuskan, akan menempatkan kelompok sosial tersebut sebagai yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Dengan demikian, proses penemuan identitas diri sekaligus menjadi proses penetapan boundaries yang membedakan “kelompok kita” dari “kelompok mereka”.
Dalam konteks Indonesia, proses penemuan identitas diri ini muncul pertama-tama karena pengalaman negatif dijajah oleh Belanda. Penjajahan Belanda telah menghasilkan diskriminasi yang melembaga yang menimbulkan rasa inferioritas dalam diri orang Indonesia sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari Belanda secara sengaja mendiskriminasi orang-orang Indonesia melalui pakaian, bahasa, tempat tinggal, dan simbol-simbol otoritas lainnya.
Menurut Sartono, pengalaman didiskriminasi seperti ini telah mendorong kaum terpelajar Indonesia untuk membentuk organisasi Boedi Oetomo (BO) pada tanggal 20 Mei 1908. Pembentukan BO ini sendiri adalah antitesis terhadap sikap diskrimi-natif Belanda sekaligus menjadi momen merumus-kan identitas kebangsaan Indonesia.
Wujud tertinggi dari proses pencarian dan perumusan identitas kebangsaan ini adalah munculnya nasionalisme politik yang lebih jelas arah dan tujuannya. Nasionalisme politik mengusung proyek kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan yang hendak dicapai. Nah, begitu kesadaran kebangsaan seperti ini muncul, kesadaran ini sendiri langsung membedakan bangsa Indonesia dari bangsa Belanda. Nasionalisme politik kemudian diikuti dengan langkah-langkah praktis-konkret upaya memperjuangkan kemerdekaan. Seluruh perjuangan organisasi politik dan tentara Indonesia bermula dari penemuan identitas kebangsaan semacam ini. Dalam arti ini BO memainkan peran yang sangat penting sebagai organisasi yang mengintegrasikan kaum kaum terpelajar dengan kaum elit lainnya dan sebagai simbol identitas kolektif masyarakat. Boedi Oetomo mendefinisikan identitas kolektif bangsa Indonesia, yakni ingin hidup merdeka dan bermartabat.
C. IDENTITAS NASIONAL
Pada hakikatnya manusia hidup tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain. Pada akhirnya manusia hidup secara berkelompok-kelompok. Manusia dalam bersekutu atau berkelompok akan membentuk suatu organisasi yang berusaha mengatur dan mengarahkan tercapainya tujuan hidup yang besar. Dimulai dari lingkungan terkecil sampai pada lingkungan terbesar.
Pada mulanya manusia hidup dalam kelompok keluarga. Selanjutnya mereka membentuk kelompok lebih besar lagi sperti suku, masyarakat dan bangsa. Kemudian manusia hidup bernegara. Mereka membentuk negara sebagai persekutuan hidupnya. Negara merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh kelompok manusia yang memiliki cita-cita bersatu, hidup dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang sama. Negara dan bangsa memiliki pengertian yang berbeda. Apabila negara adalah organisasi kekuasaan dari persekutuan hidup manusia maka bangsa lebih menunjuk pada persekutuan hidup manusia itu sendiri. Di dunia ini masih ada bangsa yang belum bernegara. Demikian pula orang-orang yang telah bernegara yang pada mulanya berasal dari banyak bangsa dapat menyatakan dirinya sebagai suatu bangsa. Baik bangsa maupun negara memiliki ciri khas yang membedakan bangsa atau negara tersebut dengan bangsa atau negara lain di dunia.
Ciri khas sebuah bangsa merupakan identitas dari bangsa yang bersangkutan. Ciri khas yang dimiliki negara juga merupakan identitas dari negara yang bersangkutan. Identitas-identitas yang disepakati dan diterima oleh bangsa menjadi identitas nasional bangsa.Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.
Konsekuensi dan implikasinyaadalahidentitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya, yaitu : Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “. Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32:
• Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
• Negara menghormatio dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk
membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan
arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam
khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana
dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.
1. Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis , identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “nasional”.
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain.
Kata “nasional” merujuk pada konsep kebangsaan. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identiti yang memiliki pengerian harfiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.
Jadi, pegertian Identitas Nsaional adalah pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yang harus dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali “rule of law”, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.
2. Unsur - Unsur Identitas Nasional
Identitas Nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Ke-majemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu suku bangsa, agama, kebudayaan, dan bahasa.
a. Suku Bangsa
adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kclompok etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.
b. Agama
bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di Nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi negara, tetapi sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
c. Kebudayaan
adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dala bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
d. Bahasa
merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbitrer dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia. Dari unsur-unsur identitas Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
a. Identitas Fundamental,
yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan ldeologi Negara.
b. Identitas Instrumental,
yang berisi UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan "Indonesia Raya".
c. Identitas Alamiah
yang meliputi Negara Kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya, serta agama dan kepercayaan (agama). Menurut sumber lain (http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa: Satu jati diri dengan dua identitas:
a. Identitas Primordial
• Orang dengan berbagai latar belakang etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali, timo, maluku, dsb.
• Orang dengan berbagai latar belakang agama : Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan sebagainya.
b. Identitas Nasional
• Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
• Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut.
Istilah Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalisme telah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang menentukan nasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak langsung juga nasib, social, politik dan kebudayaan. Perubahan global ini menurut Fakuyama membawa perubahan suatu ideologi, yaitu dari ideologi partikular kearah ideology universal dan dalam kondisi seperti ini kapitalismelah yang akan menguasainya.
Dalam kondisi seperti ini, negara nasional akan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnya didasari oleh negara-negara dengan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya, negara-negara kebangsaan lambat laun akan semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan tersebut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri. Menurut Toyenbee, cirri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalam menghadapi pengaruh budaya asing akan menghadapi Challence dan response. Jika Challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut akan punah dan hal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangfsa Indian di Amerika. Namun demikian jika Challance kecil sementara response besar maka bangsa tersebut tidak akan berkembang menjadi bangsa yang kreatif. Oleh karena itu agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
3. Identitas Nasional Indonesia
a. Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia
b. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
c. Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya
d. Lambang Negara yaitu Pancasila
e. Semboyan Negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
f. Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila
g. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
h. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
i. Konsepsi Wawasan Nusantara
j. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai Kebudayaan Nasional
4. Faktor-Faktor Pendukung Kelahiran Identitas Nasional Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa Indonesia meliputi:
a. Faktor Objektif, yang meliputi faktor geografis-ekologis dan demografis
b. Faktor Subjektif, yaitu faktor historis, social, politik, dan kebudayaan
yang dimiliki bangsa Indonesia (Suryo, 2002) Menurut Robert de Ventos, dikutip Manuel Castelles dalam bukunya “The Power of Identity” (Suryo, 2002), munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi historis ada 4 faktor penting, yaitu:
a. Faktor primer, mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya.
b. Faktor pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi,lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara.
c. Faktor penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional
d. Faktor reaktif, pada dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dari penjajahan bangsa lain.
Faktor pembentukan Identitas Bersama. Proses pembentukan bangsa-negara membutuhkan identitas-identitas untuk menyataukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa, yaitu :
a. Primordial
b. Sakral
c. Tokoh
d. Bhinneka Tunggal Ika
e. Sejarah
f. Perkembangan Ekonomi
g. Kelembagaan
Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai
berikut :
a. Adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing lebih kurang selama 350 tahun
b. Adanya keinginan bersama untuk merdeka , melepaskan diri dari belenggu penjajahan
c. Adanya kesatuan tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke
d. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa
5. Cita- Cita, Tujuan dan Visi Negara Indonesia.
Bangsa Indonesia bercita-cita mewujudkan negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan rumusan singkat, negara Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Alenia II Pembukaan UUD 1945 yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Tujuan Negara Indonesia selanjutnya terjabar dalam alenia IV Pembukaan UUD 1945. Secara rinci sbagai berikut :
a. Melindungi seganap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan Kehidupan bangsa
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial Adapun visi bangsa Indonesia adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai , demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa dan berahklak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, mengausai ilmu pengetahuandan teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Setelah tidak adanya GBHN makan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka mengenah (RPJM) Nasional 2004-2009, disebutkan bahwa Visi
pembangunan nasional adalah :
a. Terwujudnya kehidupan masyarakat , bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai.
b. Terwujudnya masyarakat , bangsa dan negara yang menjujung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
c. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
6. Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat internasional, memilki sejarah serta prinsip dalam hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa Indonesia berkembang menujufase nasionalisme modern, diletakanlan prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup berbangsa dan bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila. Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara berakar pada pandangan hidup yang bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan pula bahwa pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi, filsafat pancasila itu bukan muncul secara tiba-tiba dan dipaksakan suatu rezim atau penguasa melainkan melalui suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas Nasional. Menurut sumber lain :
(http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52)
disebutkan bahwa: kegagalan dalam menjalankan dan medistribusikan output berbagia agenda pembangnan nasional secaralebih adil akan berdampak negatif pada persatuan dan kesatuan bangsa. Pada titik inilah semangat Nasionalisme akan menjadi slah satu elemen utama dalam memperkuat eksistensi Negara/Bangsa. Study Robert I Rotberg secara eksplisit mengidentifikasikan salah satu karakteristik penting Negara gagal (failed states) adalah ketidakmampuan negara mengelola identitas Negara yang tercermin dalam semangat nasionalisme dalam menyelesaikan berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan ini dapat memicu intra dan interstatewar secara hamper bersamaan. Penataan, pengelolaan, bahkan pengembangan nasionalisme dalam identitas nasional, dengan demikian akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara kuat (strong state). Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan telah meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik antar negara bahkan nasionalisme sebuah negara. Alhasil, konflik komunal menjadi fenomena umum yang terjadi diberbagai belahan dunia, khususnya negara- negara berkembang. Konflik-konflik serupa juga melanda Indonesia. Dalam konteks Indonesia, konflik-konflik ini kian diperuncing karekteristik geografis Indonesia. Berbagai tindakan kekerasan (separatisme) yang dipicu sentimen etnonasionalis yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia bahkan menyedot perhatian internasional. Nasionalisme bukan saja dapat dipandang sebagai sikap untuk siap mengorbankan jiwa raga guna mempertahankan Negara dan kedaulatan nasional, tetapi juga bermakna sikap kritis untuk member kontribusi positif terhadap segala aspek pembangunan nasional. Dengan kata lain, sikap nasionalisame membutuhkan sebuah wisdom dalam mlihat segala kekurangan yang masih kita miliki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan sekaligus kemauan untuk terus mengoreksi diri demi tercapainya cita-cita nasional. Makna falsafah dalam pembukaan UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
a. Alinea pertama menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan , karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Maknanya, kemerdekaan adalah hak semua bangsa dan penjajahan bertentangan dengan hak asasi manusia.
b. Alinea kedua menyebutkan: “ dan perjuangan kemerdekaaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kepada depan gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka,berdaulat, adil, dan makmur. Maknanya: adanya masa depan yang harus diraih (cita-cita).
c. Alinea ketiga menyebutkan: “ atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Maknanya, bila Negara ingin mencapai cita-cita maka kehidupan berbangsa dan bernegara harus mendapat ridha Allah SWT yang merupakan dorongan spiritual.
d. Alinea keempat menyebutkan: “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, menmcerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam susunan Negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Alinea ini mempertegas cita-cita yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia melalui wadah Negara kesatuan republik Indonesia.
7. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Globalisasi
Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri khas tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya. Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka Identitas Nasional itu merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelum masuknya agama-agama besar di bumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan Nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional. Perlu dikemukaikan bahwa nilai-nilai budaya yang tercermin sebagai Identitas Nasional tadi bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka-cenderung terus menerus bersemi sejalan dengan hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinya adalah identitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis, dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat. Krisis multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalaM Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta penjelasannya,
yaitu : “Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia “ yang diberi penjelasan :
” Kebudayan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli terdapat Bebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan- bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Kemudian dalam UUD 1945 yang diamandemen dalam satu naskah disebutkan dalam Pasal 32
a. Negara memajukan kebudayan Nasional Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memeliharra dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
b. Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dengan demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan Klukhohn di tahun 1952.
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas- batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.
Aspask-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ni menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan
a. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
b. Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
c. Berkembangnya turisme dan pariwisata.
d. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
e. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
f. Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
Munculnya arus globalisme yang dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang akan mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih dalam tahap berkembang kita memang tidak suka dengan globalisasi tetapi kita tidak bisa menghindarinya. Globalisasi harus kita jalani ibarat kita menaklukan seekor kuda liar kita yang berhasil menunggangi kuda tersebut atau kuda tersebut yang malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab tantangan globalisasi adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila dalam setiap kita berpikir dan bertindak. Persolan utama Indonesia dalam mengarungi lautan Global ini adalah masih banyaknya kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa persoalan diatas apabila kita mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa menjalankan dalam kehidupan sehari-hari, maka globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih bisa terjaga.
8. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Integrasi Nasional Indonesia Berbagai peristiwa sejarah di negeri ini telah menunjukkan bahwa hanya persatuan dan kesatuanlah yang membawa negeri Indonesia ini menjadi negeri yang besar. Besarnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tidaklah mengalami proses kejayaan yang cukup lama, karena pada waktu itu persatuan cenderung dipaksakan melalui ekspansi perang dengan menundukkan Negara- Negara tetangga.
Sangat berbeda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang sebelum proklamasi tersebut telah didasari keinginan kuat dari seluruh elemen bangsa Indonesia untuk bersatu dengan mewujudkan satu cita-cita yaitu bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928). Dilihat dari banyak ragamnya suku, bangsa, ras, bahasa dan corak budayayang ada membuat bangsa ini menjadi rentan pergesekan, oleh karena itu para pendiri Indonesia telah menciptakan Pancasila sebagai dasar bernegara. Dilihat d ari bentuknya Pancasila merupakan pengalaman sejarah masa lalu untuk menuju sebuah cita-cita yang luhur. Pancasila dilambangkan seekor burung Garuda yang mana burung tersebut dalam kisah pewayangan melambangkan anak yang berjuang mencari air suci untuk ibunya, sedangkan pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika berartikan berbeda tetapi tetap satu. Kemudian tergantung di dada burung tersebut sebuah perisai yang mana biasanya perisai adalah alat untuk menahan serangan perang pada jaman dulu, jadi kalau diartikan untuk menjaga integritas bangsa Indonesia baik itu ancaman dari dalam maupun dari luar yaitu dengan menggunakan perisai yang didalam nya terkandung lima sila. Dalam pidato bahasa Inggris di Washingt n Sukarno telah mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari bangsa Amerika yang mana Sukarno pada waktu itu mengenalkan ideologi Indonesia yaitu Pancasila. Panca berarti Lima dan sila berarti landasan atau dasar yang mana dasar pertama Negara Indonesia ini dalah berdasar Ketuhanan, kedua berdasar Kemanusiaan, ketiga persatuan , dan keempat adalah demokrasi, serta kelima adalah keadilan social. Seringkali bangsa kita ini mengalami disintegrasi dan kemudian bersatu kembali konon kata beberapa tokoh adalah berkat kesaktian Pancasila. Sampai pemerintah juga menetapkan hari kesaktian pancasila tanggal 1 Oktober. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Pancasila hingga saat ini masih kuat relevansinya bagi sebuah ideology Negara seperti Indonesia ini. Untuk itu dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam tataran nasional maupun internasional.
BAB III
KESIMPULAN
Identitas bagi kebanyakan orang adalah selembar kartu nama yang mengukuhkan keberadaan mereka dengan sebuah nama, profesi dan kedudukan. Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cendrung memiliki makna negatif (peyoratif). Identitas Nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain. Istilah kepribadian sebagai suatu identitas adalah keseluruhan atau totalitas dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu. Sedangkan bangsa pada hakikatnya adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama serta mendiami suatu wilayah tertentu sebagi suatu “kesatuan nasional”. Oleh karena itu, agar suatu bangsa khususnya bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasi maka harus tetap meletakan jatidiri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimana terjadi di berbagai negara di dunia, justru dalam era globalisasi dengan penuh tantangan yang cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesadaran nasional.
0 comments :
Post a Comment