Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyiratkan perlunya sertifikasi guru.
Disebutkan pula bahwa bahwa guru hendaknya
merupakan sebuah profesi yang menuntut kemampuan profesional, mirip
seperti profesi lain, misalnya, dokter, pengacara, serta akuntan.
Di luar negeri, misalnya di Amerika Serikat hal ini sudah
lama berlangsung. Calon guru belum bisa
mengajar bila belum memiliki sertifikat mengajar. Persyaratan ini sama seperti
profesi dokter, pengacara, atau profesi lain yang membutuhkan kompetensi khusus
yang tidak bisa digantikan orang lain.
Sementara di
Indonesia, sampai saat ini tuntutan tentang adanya sertifikasi guru baru
merupakan wacana. Akta mengajar (bisa
Akta II, III, dan IV) yang biasanya didapat otomatis setelah menempuh
pendidikan keguruan (LPTK) atau mengikuti program akta mengajar secara khusus
bagi tamatan non LPTK, masih menjadi izin legal untuk bisa melamar menjadi
guru. Program Akta itu berbeda dari sertifikasi, sebab mendapatkan
sertifikasi perlu dilengkapi dengan syarat-syarat keprofesian lainnya,
sedangkan Program Akta II, III dan IV sangat melekat dengan produsen yang
mengeluarkan calon guru tersebut, yakni universitas yang memiliki fakultas ilmu
kependidikan dan pengajaran (dahulu IKIP). Kemudian untuk sertifikasi,
dibutuhkan lembaga khusus untuk menilai
apakah kompetensi yang dimiliki seorang calon guru itu telah layak atau tidak untuk menjadi guru
(profesional). Dengan demikian, tujuan
utama sertifikasi adalah untuk menguji apakah guru telah memiliki kemampuan
profesional dan akademik yang memadai atau belum. Dengan sertifikasi guru,
sekolah bisa membedakan antara guru yang baik, dengan yang belum baik dilihat
dari kemampuan profesionalnya. Keberadaan guru yang telah lulus
sertifikasi perlu dipertahankan dan dipromosikan, sedangkan guru yang belum
lulus sertifikasi perlu mendapat pembinaan
melalui berbagai program, seperti pelatihan,
penataran, bimbingan, atau penyetaraan. Semangat sertifikasi harus
diikuti oleh perbaikan sistem pendukung
keprofesian yang lain, seperti, peningkatan sarana pendukung tugas-tugas
profesi guru, dan perbaikan kehidupan guru. Sebab, faktor kualitas dan jaminan
kehidupan guru itu sendiri tak boleh dilupakan
ketika kualitas profesionalisme guru dituntut.
Sertifikasi dan
uji kompetensi dapat diharapkan menjadi
instrumen untuk standarisasi profesionalisme guru. Hal ini sangat positif,
walaupun masih diperlukan kehati-hatian, terutama dalam perencanaan
implementasinya. Depdiknas merumuskan tiga
tujuan utama standardisasi kompetensi
guru sebagai berikut. (1) Memformulasikan peta kemampuan guru secara
nasional yang diperuntukkan bagi perumusan kebijakan program pengembangan dan
peningkatan tenaga kependidikan khususnya guru.
(2) Memformulasikan peta
kebutuhan pembinaan dan peningkatan mutu guru sebagai dasar bagi pelaksanaan
peningkatan kompetensi, peningkatan kualifikasi, dan diklat-diklat tenaga
kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan. (3)
Menumbuhkan kreatifitas guru yang bermutu, inovatif, terampil, mandiri,
dan tanggungjawab, yang dijadikan dasar bagi peningkatan dan pengembangan karir
tenaga kependidikan yang profesional.
Diharapkan pula bahwa
standarisasi kompetensi guru ini dapat bermanfaat dalam memberikan informasi
tentang peta kemampuan guru yang berkelayakan dan tidak berkelayakan baik
secara individual, kelompok, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi, Regional ataupun
Nasional yang dapat diperuntukkan sebagai
(1) bahan perumusan kebijakan program pembinaan, (2) peningkatan
kompetensi dan kualifikasi, melalui
diklat-diklat sesuai dengan hasil uji kompetensi (skill audit),
dan (3) peningkatan dan pengembangan karir dan profesi guru (Depdiknas, 2004).
Depdiknas (2004) melalui
Direktorat P2TK dan KPT mewacanakan kerangka pelaksanaan sistem sertifikasi
kompetensi guru, baik untuk lulusan S1 kependidikan ataupun lulusan S1
nonkependidikan diwacanakan sebagai berikut.
(1) Lulusan program sarjana kependidikan sudah mengalami pembentukan
kompetensi mengajar (PKM). Oleh karena itu, mereka hanya memerlukan uji
kompetensi yang dilaksanakan oleh
pendidikan tinggi yang memiliki Program Pengadaan Tenaga Kependidikan
(PPTK) terakreditasi dan ditunjuk oleh Ditjen Dikti, Depdiknas (Depdiknas,
2004). (2) Lulusan program sarjana
non-kependidikan harus terlebih dahulu mengikuti proses pembentukan kompetensi
mengajar (PKM) pada perguruan tinggi yang memiliki PPTK secara
terstruktur. Setelah dinyatakan lulus dalam pembentukan kompetensi mengajar,
baru lulusan S1 non-kependidikan boleh mengikuti uji sertifikasi. Sedangkan
lulusan program sarjana kependidikan tentu sudah mengalami proses pembentukan
kompetensi mengajar (PKM), tetapi tetap diwajibkan mengikuti uji kompetensi
untuk memperoleh sertifikat kompetensi. (3) Penyelenggaraan program PKM dipersyaratkan
berstatus lembaga LPTK yang terakreditasi. Sedangkan untuk pelaksanaan uji
kompetensi sebagai bentuk audit atau evaluasi kompetensi mengajar guru
harus dilaksanakan oleh LPTK terakreditasi yang ditunjuk dan ditetapkan
oleh Ditjen Dikti, Depdiknas (Depdiknas, 2004).
(4) Peserta uji kompetensi yang
telah dinyatakan lulus, baik yang berasal dari lulusan program sarjana
kependidikan ataupun sarjana non-kependidikan diberikan sertifikat kompetensi
sebagai bukti yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk melakukan praktik
dalam bidang profesi guru pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu. (5) Peserta uji kompetensi yang berasal dari guru
yang sudah melaksanakan tugas dalam interval waktu tertentu (10—15) tahun
sebagai bentuk kegiatan penyegaran dan pemutakhiran kembali sesuai dengan
tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persyaratan dunia kerja.
Di samping itu, uji kompetensi juga diperlukan bagi
yang tidak melakukan tugas profesinya sebagai guru dalam jangka waktu
tertentu. Bentuk aktivitas
uji kompetensi untuk kelompok ini adalah dalam kategori resertifikasi. Termasuk
dipersyaratkan mengikuti resertifikasi bagi guru yang ingin menambah
kemampuan dan kewenangan baru (Depdiknas,2004; bandingkan juga dengan
Mukadis, 2004).
Ok. memang beda kalau yang bakat guru dengan yang bukan, kalau yang bakat guru kreatif, inovatifnya dikelas ikhlas dalam pembelajarannya dan meningkatkan hasil pembelajaran yang baik, tapi sebagian yang bukan dasar keguruan, mereka melaksanakan kegiatan pembelajaran tu sepertinya ke prinsif ekonomi, prosenya mengajar kurang melatih pengembangan potensi peserta didik, yang hasilnya kebanyakan dibawah rata-rata/kkm yang dimomokan peserta didiknya. maaf ya ini bukan ptk
ReplyDeleteinfo ini cuman untuk yang PNS..Yang gtt/non pns disekolah negeri jangan berharap..karena terbentur dengan sk bupati..Mengabdi Oke..Jangan merasa susah kerena itu adalah suatu resiko atas keputusan yang telah kita tetapkan beberapa tahun yang lalu..semoga kita tak Mati suri hari ini,,,,WASSALAM
ReplyDelete