Di
dalam proses pembelajaran, munculnya kesulitan untuk memahami suatu konsep
merupakan hal yang wajar. Ini menggambarkan bahwa anak sedang melakukan proses
berpikir. Mereka berusaha untuk mengintegrasikan informasi baru ke dalam
struktur kognitif yang telah dimilikinya. Skemata atau pengetahuan awal setiap
siswa tidaklah sama sehingga kesulitan yang dihadapi setiap anak pun tidaklah
selalu sama. Sebagai seorang guru atau orang yang membimbing mereka belajar,
sebaiknya kita dapat mengenali dan memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi
oleh anak. Karena jika dibiarkan kesulitan tersebut tidak lagi menjadi sebuah
kewajaran, melainkan suatu masalah yang dapat menghambat perkembangan
intelektual anak.
Kondisi
yang terjadi kini selain karena konsep matematika itu bersifat abstrak,
sebagian besar anak juga tidak mampu menyelesaikan beberapa tahap yang tidak ia
kuasai, semakin lama semakin bertumpuk kemudian muncullah persepsi di dalam
diri anak bahwa mata pelajaran matematika itu sangat sulit. Nilai-nilai rendah
yang diperoleh sebagian besar siswa merupakan bukti nyata bahwa mata pelajaran
matematika memang dirasakan sulit. Ketika fenomena ini diketahui oleh orang tua
atau guru-guru, mereka sering menganggap bahwa nilai yang rendah tersebut
merupakan dampak dari kemalasan anak dalam belajar.
Pada
kenyataanya justru guru tidak menyadari bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi
anak didiknya itu disebabkan oleh kurangnya perhatian, pemahaman dan peran guru
di dalam proses pembelajaran. Selain itu, tak jarang bantuan atau intervensi
yang diberikan guru pun kurang memperhatikan letak kesulitan anak. Terkadang
guru justru memberikan bantuan di saat siswa juga mampu, jelas hal ini akan
membuat anak merasa terganggu. Sedangkan di saat anak merasa memerlukan bantuan
justru diabaikan. Salah satu teori yang membahas mengenai tingkat kesulitan
anak serta konsep pemberian bantuan adalah teori kontruktivisme Vygotsky. Hal inilah yang menjadi latar
belakang penulis untuk menyusun makalah ini dengan judul “Teori
Belajar
Kontruktivisme
Vygotsky”.
Berdasarkan
latar belakang di atas penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu : (1) bagaimana teori perkembangan kognitif
menurut konsep Vygotsky? ; (2) bagaimana
konsep Zona Perkembangan Proximal?; (3) Bagaimana konsep Scaffolding itu?; dan (4) bagaimana penerapan teori belajar
kognitif Vygotsky dalam sistem pembelajaran matematika?
TEORI
BELAJAR KOGNITIF VYGOTSKY
Dalam
prespektif teori kognitif, belajar merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa
behavioral meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata hampir
dalam setiap peristiwa belajar. Perilaku individu bukan semata-mata respon
terhadap yang ada melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang
diatur oleh otaknya. Belajar adalah prases mental yang aktif untuk mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Belajar menurut teori kognitif adalah
perseptual. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya
tentang situasi yang berhubungan dengan
teori belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak
selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Teori kognitif
menekankan belajar sebagai proses internal. Belajar adalah aktivitas yang
melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Menurut
Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan sistem syaraf. Makin bertambah
umur seseorang, makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat
pula kemampuannya. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari
pengalaman, dan kedewasaan akan terjadi melalui tahap-tahap perkembangan
tertentu. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat
tahap yaitu, tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun),
tahap operasional kongkrit (7-11 tahun), dan tahap operasional formal (11 tahun
ke atas).
Sedangkan
menurut Lev Vygotsky (1896-1934) seorang psikolog berkebangsaan Rusia,
perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sejalan dengan teori
sosiogenesis. Artinya, pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal
dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Hal ini tidak berarti bahwa individu
bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky juga menekankan
pentingnya peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Maka
teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut dengan pendekatan
kokonstruktivisme. Maksudnya, perkembangan kognitif seseorang disamping
ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga oleh lingkungan sosial
secara aktif pula.
Pada
dasarnya Vigotsky setuju dengan teori Piaget bahwa perkembangan kognitif
terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda,
akan tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak
menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambara realitasya sendirian,
karena menurut Vygotsky suatu pengetahuan tidak hanya didapat oleh anak itu
sendiri melainkan mendapat bantuan dari lingkungannya juga.
Karya
Vygotsky didasarkan pada pada tiga ide utama, yiatu :
a. intelektual berkembang pada saat
individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan
apa yang mereka ketahui;
b. interaksi dengan orang lain
memperkaya perkembangan intelektual; dan
c. utama guru adalah bertindak sebagai
seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.
Sumbangan
psikologi kognitif berakar dari teori-teori yang menjelaskan bagaimana otak
bekerja dan bagaimana individu memperoleh dan memproses informasi. Pandangan
yang ditawarkan Vygotsky dan para ahli psikologi kognitif yang lebih mutakhir
adalah penting dalam memahami penggunaan-penggunaan strategi belajar karena
tiga alasan. Pertama, mereka menggarisbawahi peran penting pengetahuan dalam
proses belajar. Dua, mereka membantu kita memahami pengetahuan dan perbedaan
antara berbagai jenis pengetahuan. Tiga, mereka membantu menjelaskan bagaimana
pengetahuan diperoleh manusia dan diproses didalam sistem memori otak.
Vygotsky
juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari
orang-orang yang sudah terampil didalam bidang-bidang tersebut. Penekanan
Vygotsky pada peran kebudayaan dan sosial didalam perkembangan kognitif berbeda
dengan teori Peaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian. Karena
Peaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual.
Sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak anak
lain dalam memudahkan perkembangan anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir
dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia
luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tidak banyak memiliki fungsi
mental yang lebih tinggi. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi
semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Vygotsky juga
menekankan sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna
bagi aktivitas kognitif melalu instuisi seperti sekolah, penemuan seperti
komputer. Interaksi intuisional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku
dan sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki
suatu pengaruh yang lebih langsung pada kefungsian mental anak. Menurut
Vygotsky keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang
melalui interaksi sosial langsung. Melalui pengoranisasian
pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada dalam suatu latar belakang
kebudayaan ini. Perkembangan anak menjadi matang.
ZONE OF PROXIMAL DEVELOPMENT
Vygotsky
mengemukakan konsepnya tentang zona perkembangan proksimal (Zone Of Proximal Development), yiatu :
"the distance between the actual
developmental level as determined by independent problem solving and the level
of potential development as determined through problem solving under adult
guidance, or in collaboration with more capable peers " (Fauzi, 2009).
Menurutnya,
perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat yaitu,
tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat
perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah secara mandiri. Sedangkan tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau
ketika berkolaborasi dengan teman sebayanya yang lebih berkompeten. Jarak
antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan
potensial ini disebut zona perkembangan proksimal atau yang kita kenal dengan Zone of Proximal Development (ZPD). Zona
perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan
yang belum matang yang masih berada di dalam proses pematangan.
Kemampuan-kemampuan ini akan menjadi matang apabila berinteraksi dengan orang
dewasa atau berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih berkompeten.
Gagasan
Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari perkembangan teori
belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan mengoptimalkan
perkembangan kognitif anak. Beberapa konsep kunci yang perlu dicatat adalah
bahwa perkembangan dan belajar bersifat saling terkait, perkembangan kemampuan
seseorang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, dan sebagian bentuk
fundamental dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial.
Berpijak
pada konsep zona proksimal, maka sebelum terjadi internalisasi atau sebelum
kemampuan potensial terbentuk, anak perlu dibantu dalam proses belajarnya.
Orang dewasa atau teman sebaya yang lebih berkompeten perlu membantu dengan berbagai cara seperti
memberikan contoh, memberikan feedback, menarik
kesimpulan, diskusi, dan sebagainya dalam rangka perkembangan kemampuannya.
KONSEP
SCAFFOLDING
Teori Scaffolding pertama
kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Jerome Bruner, seorang psikolog kognitif. Dia
menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-anak muda dalam akuisisi bahasa. Anak-anak pertama kali
mulai belajar berbicara melalui bantuan orang tua mereka, secara naluriah
anak-anak telah memiliki struktur untuk belajar barbahasa. Scaffolding
merupakan interaksi antara orang-orang dewasa dan anak-anak yang memungkinkan
anak-anak untuk melaksanakan sesuatu di luar usaha mandiri-nya. Cazden
menyatakan bahwa “scaffolding sebagai kerangka kerja sementara untuk
aktivitas dalam penyelesaian” (Budiningsih, 2008).
Konstruksi scaffolding
terjadi pada peserta didik yang tidak dapat mengartikulasikan atau menjelajahi
belajar secara mandiri. Scaffolding dipersiapkan oleh pembelajar untuk
tidak mengubah sifat atau tingkat kesulitan dari tugas, melainkan dengan scaffolding
yang disediakan memungkinkan peserta didik untuk berhasil menyelesaikan tugas.
Istilah scaffolding digunakan pertama kali oleh
Wood, dkk (Budiningsih, 2008), dengan pengertian “dukungan pembelajar kepada
peserta didik untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat
diselesaikannya sendiri”. Pengertian dari Wood ini sejalan dengan pengertian ZPD (Zone of Proximal Development)
dari Vygotsky. Peserta didik yang banyak tergantung pada dukungan pembelajar
untuk mendapatkan pemahaman berada di luar daerah ZPD-nya, sedang peserta didik yang bebas atau tidak tergantung dari
dukungan pembelajar telah berada dalam daerah ZPD-nya. Menurut Vygotsky,
“peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir
tingkat yang lebih tinggi ketika mendapat bimbingan (scaffolding) dari
seorang yang lebih ahli atau melalui teman sejawat yang memiliki kemampuan
lebih tinggi” (Martinis, 1960, 2010).
Larkin
(Cahyono, 2010) menyatakan bahwa scaffolding adalah salah satu prinsip pembelajaran yang
efektif yang memungkinkan para pembelajar untuk mengakomodasikan kebutuhan
peserta didik masing-masing.
Penulis
sendiri mendefinisikan scaffolding
sebagai bantuan yang besar kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran
dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
tersebut untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri dan mengambil alih tanggung
jawab pekerjaan itu. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan menguraikan masalah kedalam bentuk lain yang memungkinkan
siswa dapat mandiri. Dengan diberikan bantuan misalnya dengan
contoh, diskusi, hints atau
pertanyaan, siswa dapat menuju kemampuan potensialnya, dan jika anak telah
sampai pada tingkat yang lebih sulit lagi, maka bantuan pun dapat kembali
diberikan begitu seterusnya. Sehingga siswa tidak akan merasa terganggu dan
merasa diabaikan.
Pengaruh
karya Vygotsky dan Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith
(Fauzi, 2009) :
a.
Walaupun
Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang
dewasa dalam pembelajaran anak-anak dari pada peran yang diusulkan Piaget,
keduanya tidak mendukung pengajaran diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka
justru menyatakan walaupun anak dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus
aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoristis ini
berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru
menyediakan scaffolding bagi anak.
b.
Secara
khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh pada perkembangan kognitif anak. Berlawanan dengan pembelajaran
lewat penemuan individu (individual discoveri learning) kerja kelompok secara
kooperatif tampaknya mempercepat perkembangan anak.
c. Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas
menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya, yaitu seorang anak mengajari anak
lainnya yang agak tertinggal di dalam pelajaran. Satu anak bisa lebih efektif
membimbing anak lainnya melewati ZPD
karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah
melihat kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.
Komputer
juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dalam
prespektif pengikut Vygotsky - Bruner, perintah-perintah di layar komputer
merupakan scaffolding. Ketika anak
menggunakan perangkat lunak atau software pendidikan, komputer menggunakan
bantuan atau petunjuk scara detail seperti yang diisyaratkan sesuai kedudukan
anak dalam ZPD. Tidak dipungkiri lagi
beberapa anak dikelas lebih terampil dalam menggunakan komputer sebagai tutor
bagi teman sebayanya. Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer guru bisa
bebas mencurahkan perhatiannya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan
dan menyiapkan scaffolding yang
sesuai bagi masing-masing anak.
IMPLEMENTASI
ZPD DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Berdasarkan teori Zone of Proximal Development dari
Vygotsky serta teori scaffolding dari
Bruner, proses
perubahan dari tahapan perkembangan aktual ke perkembangan potensial bisa
terjadi sebagai akibat adanya interaksi antara individu dengan individu lain
yang mempunyai kemampuan lebih. Oleh karena itu, guru memegang peranan penting
dalam menciptakan suasana pembelajaran yang dapat menunjang peningkatan
pemahaman siswa sehingga siswa mampu mencapai perkembangan potensialnya. Ketika
siswa telah mampu mencapai perkembangan potensialnya, maka siswa tersebut telah
mampu berpikir matematika tingkat tinggi.
Agar
implementasi pembelajaran dapat mencapai hasil yang memuaskan, maka teori
pembelajaran Vygotsky-Bruner yakni ZPD dan
scaffolding perlu dijadikan sebagai
landasan utama. Hal yang tak kalah penting, di dalam perencanaan guru perlu
menyiapkan bahan ajar yang tepat dan relevan. Bahan ajar yang digunakan harus
dirancang oleh guru ke dalam bentuk soal pemecahan masalah yang memungkinkan
disajikan di awal pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hoffman
dan Ritchie (1997) (Lie, 2010) bahwa Scaffolding selalu digunakan untuk mendukung
pembelajaran berbasis masalah (PBL).
Setelah
guru menyiapkan perencanaan pembelajaran dengan matang, selanjutnya guru mulai
mengatur pelaksanaan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Langkah-langkah
kegiatan pembelajaran sebagai berikut:
a.
Kegiatan
Awal
1)
Guru
mengkondisikan siswa untuk siap memulai pembelajaran
2)
Guru
melakukan apersepsi dan memberikan motivasi kepada siswa
3)
Mengajukan
suatu konteks permasalahan
b.
Kegiatan
Inti
1)
Setelah
siswa memahami konteks permasalahan, kemudian siswa diberi lembar kegiatan
2)
Pada
15 menit pertama siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan jawaban secara
individual. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah permasalahan yang
diajukan
3)
Kemudian
±25menit selanjutnya siswa diminta untuk menyelesaikan jawaban secara
berkelompok heterogen (2-4 orang). Hal ini dimaksudkan agar anak dapat
berinteraksi dan saling bertukar pemikiran. Secara tidak langsung dalam
kegiatan ini intervensi dapat terjadi antara siswa dengan siswa lain di dalam
satu kelompok. Disamping itu, guru juga dapat melakukan teknik scaffolding dengan tepat selama proses
kegiatan.
4)
Perwakilan
kelompok mempresentasikan hasil pekerjaan mereka
c.
Kegiatan
Akhir
1)
Guru
bersama siswa menyimpulkan materi yang dipelajari
2)
Guru
menutup pembelajaran
d.
Penilaian
Penilaian
prestasi aspek kognitif dilakukan melalui pemberian pre tes dan pos tes yang
harus dikerjakan oleh siswa pada awal tindakan dan akhir pelaksanaan tindakan.
Penilaian prestasi belajar aspek afektif pada pembelajaran ini dapat dilihat
dari kegiatan siswa ketika bekerja sama di dalam kelompok, keaktifan di dalam
kelpmpok serta keberanian bertanya dan menjawab.
Sedangkan untuk penilaian prestasi
belajar aspek psikomotorik pada pembelajaran ini dapat dilihat dari kemampuan
siswa memasukkan rumus atau konsep matematika ke dalam penyelesaian masalah
serta kemampuanya di dalam mengaplikasikan pengetahuan ke dalam kegiatan
sehari-hari. Pada dasarnya penilaian ditujukan untuk melihat sampai dimana
tingkat keberhasilan teknik scaffolding dalam
meningkatkan perkembangan siswa dari perkembangan aktualnya ke perkembangan
potensialnya. Sehingga ia mampu berpikir tingkat tinggi.
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut
Vygotsky suatu pengetahuan tidak hanya didapat oleh anak itu sendiri melainkan
mendapat bantuan dari lingkungannya juga. Karya Vygotsky didasarkan pada
pada tiga ide utama, yiatu : (1)
intelektual berkembang
pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide
tersebut dengan apa yang mereka ketahui; (2) interaksi dengan orang lain
memperkaya perkembangan intelektual; dan (3) peran utama guru adalah bertindak
sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.
Zona
perkembangan proksimal atau Zone of
Proximal Development adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual (kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah
secara mandiri) dengan tingkat perkembangan potensial (kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di bawah
bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebayanya yang
lebih berkompeten).
Scaffolding adalah dukungan pembelajar kepada
peserta didik untuk membantunya menyelesaikan proses belajar yang tidak dapat
diselesaikannya sendiri.
Penilaian
prestasi aspek kognitif dilakukan melalui pemberian pre tes dan pos tes.
penilaian aspek afektif dapat dilihat dari keaktifan siswa didalam kelompoknya.
Sedangkan penilaian aspek psikomotoriknya dapat dilihat dari kemampuan siswa
dalam menggunakan pengetahuannya didalam pemecahan masalah.
Rekomendasi
Berdasarkan
uraian pada makalah ini, maka dikemukakan beberapa rekomendasi, yaitu :
a. pada makalah ini baru dibahas mengenai implementasi teori belajar
kontruktivisme Vygotsky dengan menggunakan model pemecahan masalah. Oleh karena
itu, perlu dikembangan lagi sehingga dapat menciptakan model pengembangan ZPD yang diintergrasikan dengan teori
APOS dalam pendekatan tidak langsung;
b. pemberian scaffolding secara tepat ini
mampu meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Dengan demikian,
teknik ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan
oleh guru di dalam proses pembelajaran;
c. dalam hal ini, bahan ajar yang
relevan, penyajian masalah serta pemberian bantuan harus sangat diperhatikan
oleh guru. Oleh karena itu yang perlu dipertimbangkan oleh guru adalah kualitas
konteks permasalahan yang relevan dan tepat serta waktu dan sasaran yang tepat
untuk melakuakn teknik scaffolding.
PUSTAKA
Budiningsih, C. Asri. (2008).
Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Cahyono, Adi Nur. (2010). Vygotskian
Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of Proximal Development
(ZPD. [Online]. Tersedia : http://adinegara. blogspot.com/04/10/03/vygotskian-perspective-proses-scaffolding-untuk-mencapai-zone-of-proximal-development-(ZPD)_adinegara.compeduli& berkajfgjhgrya.html[29 Maret 2011]
Fauzi, Rifqi. (2009). Konsep
Vygotsky. Tersedia: http://rifqie-yupss.blogspot.com /20/09/03/konsep-vygotsky-tentang-perkembangan.html[29 Maret
2011]
Lie, Anita. (2010). Cooperative
Learning-Mempraktikkan Coopertative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta:
Grasindo.
Martinis1960.(2010).
Model Pembelajaran Scaffolding. Tersedia:
http://martinis1960. wordpress.com/2010/07/29/model-pembelajaran-scaffolding [29
Maret 2011]
Saomah,
Aas. (2011). Implikasi Teori Belajar
Terhadap Pendidikan Literasi.[Online]. Tersedia:http://ebookbrowse.com/implementasi-teori-belajar-dalam-pendidikan-
literasi-pdf-d121750117
Suryadi, Didi. (2005). Disertasi
Pengggunaan Pendekatan Pembelajaran tidak langsung serta Pendekatan Gabungan
Langsung dan tidak Langsugn dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Matematik Tingkat Tinggi. Bandung: Tidak Diterbitkan.
0 comments :
Post a Comment