(1) Obeserved
behavioral regularities; budaya
organisasi di sekolah ditandai dengan adanya keberaturan cara bertindak dari
seluruh anggota sekolah yang dapat diamati. Keberaturan berperilaku ini dapat
berbentuk acara-acara ritual tertentu, bahasa umum yang digunakan atau
simbol-simbol tertentu, yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh
anggota sekolah.
(2) Norms; budaya organisasi di sekolah ditandai pula
oleh adanya norma-norma yang berisi
tentang standar perilaku dari anggota sekolah, baik bagi siswa maupun guru.
Standar perilaku ini bisa berdasarkan pada kebijakan intern sekolah itu sendiri
maupun pada kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Standar perilaku
siswa terutama berhubungan dengan pencapaian hasil belajar siswa, yang akan
menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus/naik kelas atau tidak.
Standar perilaku siswa tidak hanya berkenaan
dengan aspek kognitif atau akademik semata namun menyangkut seluruh aspek
kepribadian.
Jika kita berpegang
pada Kurikulum Berbasis Kompetensi,
secara umum standar perilaku yang diharapkan dari tamatan Sekolah
Menengah Atas, diantaranya mencakup :
(a) Memiliki keyakinan dan ketaqwaan sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya.
(b) Memiliki nilai dasar humaniora untuk
menerapkan kebersamaan dalam kehidupan.
(c) Menguasai pengetahuan dan keterampilan
akademik serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan.
(d) Mengalihgunakan kemampuan akademik dan keterampilan
hidup dimasyarakat local dan global.
(e) Berekspresi dan menghargai seni.
(f)
Menjaga
kebersihan, kesehatan dan kebugaran jasmani.
(g) Berpartisipasi dan berwawasan kebangsaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis. (Depdiknas, 2002)
Sedangkan berkenaan
dengan standar perilaku guru, tentunya erat kaitannya dengan standar kompetensi
yang harus dimiliki guru, yang akan menopang terhadap kinerjanya. Dalam
perspektif kebijakan pendidikan nasional, pemerintah telah merumuskan empat
jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
(a) Kompetensi
pedagogik yaitu merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang
meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman
terhadap peserta didik; (c)pengembangan kurikulum/ silabus; (d) perancangan
pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f)
evaluasi hasil belajar; dan (g) pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(b) Kompetensi
kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil;
(c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia;
(g) menjadi teladan bagi peserta didik
dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan.
(c) Kompetensi
sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan;
(b) menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c)
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orangtua/wali peserta didik;
dan (d) bergaul secara santun
dengan masyarakat sekitar.
(d) Kompetensi
profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda
keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi
ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran
terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan
(e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan
nilai dan budaya nasional.
(3) Dominant
values; jika dihubungkan dengan
tantangan pendidikan Indonesia dewasa ini
yaitu tentang pencapaian mutu pendidikan, maka budaya organisasi di
sekolah seyogyanya diletakkan dalam kerangka pencapaian mutu pendidikan di
sekolah. Nilai dan keyakinan akan pencapaian mutu pendidikan di sekolah
hendaknya menjadi hal yang utama bagi seluruh warga sekolah. Adapun tentang makna dari mutu pendidikan itu
sendiri, Jiyono sebagaimana disampaikan oleh Sudarwan Danim (2002)
mengartikannya sebagai gambaran keberhasilan pendidikan dalam mengubah tingkah
laku anak didik yang dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Sementara itu, dalam
konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Depdiknas, 2001), mutu
pendidikan meliputi aspek input, proses
dan output pendidikan. Pada aspek input,
mutu pendidikan ditunjukkan melalui tingkat kesiapan dan ketersediaan sumber
daya, perangkat lunak, dan harapan-harapan. Makin tinggi tingkat kesiapan
input, makin tinggi pula mutu input tersebut. Sedangkan pada aspek proses, mutu pendidikan ditunjukkan
melalui pengkoordinasian dan penyerasian
serta pemanduan input sekolah dilakukan secara harmonis, sehingga mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning),
mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Sementara, dari aspek out put, mutu pendidikan dapat dilihat
dari prestasi sekolah, khususnya prestasi siswa, baik dalam bidang akademik
maupun non akademik.
Berbicara
tentang upaya menumbuh-kembangkan budaya mutu di sekolah akan mengingatkan kita
kepada suatu konsep manajemen dengan apa
yang dikenal dengan istilah Total Quality Management (TQM), yang
merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan suatu unit usaha untuk
mengoptimalkan daya saing organisasi
melalui prakarsa perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia,
proses kerja, dan lingkungannya.
Berkaitan dengan bagaimana TQM dijalankan, Gotsch dan Davis sebagaimana
dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan bahwa
aplikasi TQM didasarkan atas kaidah-kaidah : (1) Fokus pada pelanggan;
(2) obsesi terhadap kualitas; (3) pendekatan ilmiah; (4) komitmen jangka
panjang; (5) kerjasama tim; (6) perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan;
(7) diklat dan pengembangan; (8) kebebasan terkendali; kesatuan tujuan; dan
(10) keterlibatan dan pemberdayaan karyawan secara optimal.
Dengan
mengutip pemikiran Scheuing dan Christopher, dikemukakan pula empat prinsip
utama dalam mengaplikasikan TQM, yaitu:
(1) kepuasan pelanggan, (2)
respek terhadap setiap orang; (3) pengelolaan berdasarkan fakta, dan (4)
perbaikan secara terus menerus.(Sudarwan Danim, 2002)
Selanjutnya,
dalam konteks Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Depdiknas (2001) telah memerinci tentang elemen-elemen yang terkandung dalam budaya
mutu di sekolah, yakni : (a) informasi kualitas harus digunakan untuk
perbaikan; bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas
tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (reward) atau sanksi (punishment);
(d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis kerja sama;
(e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal
jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga sekolah merasa
memiliki sekolah.
Di
lain pihak, Jann E. Freed et. al. (1997) dalam tulisannya tentang A Culture for Academic Excellence:
Implementing the Quality Principles in Higher Education. dalam ERIC
Digest memaparkan tentang upaya membangun budaya keunggulan akademik pada
pendidikan tinggi, dengan menggunakan prinsip-prinsip Total Quality Management, yang mencakup : (1) vision,
mission, and outcomes driven; (2) systems
dependent; (3) leadership: creating a quality culture; (4) systematic individual development; (4)
decisions based on fact; (5) delegation of decision making; (6) collaboration;
(7) planning for change; dan (8) leadership: supporting a quality
culture. Dikemukakan pula bahwa “when the quality principles are
implemented holistically, a culture for academic excellence is created.. Dari pemikiran Jan E.Freed et. al. di atas,
kita dapat menarik benang merah bahwa untuk dapat membangun budaya keunggulan
akademik atau budaya mutu pendidikan
betapa pentingnya kita untuk dapat mengimplementasikan prinsip-prinsip Total Quality Management, dan
menjadikannya sebagai nilai dan keyakinan bersama dari setiap anggota sekolah.
(4)
Philosophy; budaya organisasi ditandai
dengan adanya keyakinan dari seluruh anggota organisasi dalam memandang tentang
sesuatu secara hakiki, misalnya tentang waktu, manusia, dan sebagainya, yang
dijadikan sebagai kebijakan organisasi.
Jika kita mengadopsi filosofi dalam dunia bisnis yang memang telah terbukti memberikan keunggulan
pada perusahaan, di mana filosofi ini diletakkan pada upaya memberikan kepuasan
kepada para pelanggan, maka sekolah pun seyogyanya memiliki keyakinan akan
pentingnya upaya untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Dalam konteks
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah, Depdiknas (2001) mengemukakan
bahwa :
“ pelanggan, terutama siswa harus merupakan fokus dari semua kegiatan
di sekolah. Artinya, semua in put - proses yang dikerahkan di sekolah tertuju
utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik . Konsekuensi logis
dari ini semua adalah bahwa penyiapan in put, proses belajar mengajar harus
benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan siswa.”
(5)
Rules; budaya organisasi ditandai dengan adanya ketentuan dan
aturan main yang mengikat seluruh anggota organisasi. Setiap sekolah memiliki
ketentuan dan aturan main tertentu, baik yang bersumber dari kebijakan sekolah
setempat, maupun dari pemerintah, yang mengikat seluruh warga sekolah dalam
berperilaku dan bertindak dalam organisasi. Aturan umum di sekolah ini dikemas dalam bentuk tata- tertib sekolah
(school discipline), di dalamnya berisikan tentang apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan oleh warga sekolah, sekaligus dilengkapi pula dengan
ketentuan sanksi, jika melakukan pelanggaran. Joan Gaustad (1992) dalam
tulisannya tentang School Discipline
yang dipublikasikan dalam ERIC Digest 78 mengatakan bahwa
: “ School discipline has two main
goals: (1) ensure the safety of staff and students, and (2) create an
environment conducive to learning.
(6) Organization climate; budaya organisasi ditandai dengan
adanya iklim organisasi. Hay
Resources Direct (2003) mengemukakan
bahwa “organizational climate
is the perception of how it feels to work in a particular environment. It is
the "atmosphere of the workplace" and people’s perceptions of
"the way we do things here.”
Di sekolah terjadi
interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik
lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan ini akan dipersepsi dan dirasakan
oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam
hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif
dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan
lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997) menyebutkan bahwa:
“ Lingkungan kerja
yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan
dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu,
dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan
ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan
sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok,
kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju,
kekeluargaan dan sebagainya. “
0 comments :
Post a Comment