URGENSI PENDEKATAN IMAN DAN TAQWA DALAM PENINGKATAN KOMPETENSI GURU

Written By putrajunio on Friday, July 4, 2014 | 9:02 PM

Sistem pendidikan yang dibutuhkan sekarang adalah sistem pendidikan yang berbasiskan nilai-nilai spiritual (IMTAQ), sudah saatnya kita meninggalkan sistem pendidikan yang sudah lama dipraktekan selama ini yang cenderung semi sekuler, mata pelajaran agama tidak menjadi bagian yang penting, hal ini terbukti dengan dibatasinya alokasi waktu mata pelajaran agama (proporsinya tidak sebanding dengan ilmu lainya) dan khasanah agama tidak menjadi pondasi keilmuan dari mata pelajaran lainya, dalam prakteknya seolah adanya dikotomi paradigma antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum.

Sistem pendidikan yang berbasis IMTAQ dalam pengertian penulis adalah sistem pendidikan dimana semua mata pelajaran dilandasi oleh khasanah ilmu agama sebagai sumber nilai illahiah yang universal dan komprehenship (kurikulum berbasis IMTAQ) disertai pembentukan corporate culture di semua lingkungan /lembaga pendidikan yang bernuansa religus, selain educatif dan ilmiah. Untuk bisa mewujudkanya tentunya perlu adanya daya dukung yang utuh dari seluruh stakeholder pendidikan, dalam sekala mikro (pelakasanaan di lingkungan lembaga pendidikan/sekolah), hal tersebut bisa diwujudkan dengan didukung oleh faktor pendukung utama yang memadai, dalam hal ini SDM sekolah, dimana kepala sekolah dan komite sekolah sebagai motornya harus memiliki kompetensi yang memadai, komitmen yang kuat, ketauladanan dalam memimpin dan keistiqomahan dalam sikap dan prilaku yang terwujud dalam segala bentuk kebijakanya (4K).

Sedangkan dalam skala makro, terwujudnya sistem pendidikan berbasis IMTAQ akan bisa terwujud apabila secara yuridis diperkuat dengan diundangkanya sistem ini oleh Legislatif serta di dukung oleh faktor anggaran pendidikan yang memadai.

Terwujudnya sistem pendidikan berbasis IMTAQ setidaknya bisa menjadi solusi jangka panjang atas problematika ummat dewasa ini, khususnya yang terkait dengan akhlak generasi muda (remaja) sekarang, kita ketahui bahwa remaja (se-usia sekolah) sekarang sudah banyak terpengaruh oleh budaya barat, penjajahan ala barat melalui food, fation dan fun serta gerakan dakwah melalui tontotan di televisi yang banyak mengajarkan gaya hidup sekuler sudah banyak memakan korban.
Konsep iman dan takwa dalam Islam bisa dipandang dari sudut teologis-religi dan sosial-humanis.
Konsep teologis keimanan dikenal dengan konsep tauhid yang sifatnya doktriner, yaitu kepercayaan tunggal terhadap keesaan Allah SWT. Menutut Syekh Mahmud Syaltout (1984) unsur pertama dalam keimanan adalah mempercayai wujud dan wahdaniyat Allah dalam menciptakan, mengurus, dan mengatur segala urusan. Oleh karena itu, keimanan ini memiliki makna sosial yang dalam istilah M. Amin Rais sebagai “tauhid sosial”. Istilah ini tidak lain menggambarkan sebuah kondisi prilaku yang sesuai dengan ajaran tauhid (keimanan). Konsep “tauhid sosial’ ini diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang dalam bahasa agama disebut amal shaleh (sejumlah perbuatan baik yang sesuai aturan agama).

Istilah takwa sekurangnya disebutkan pada 15 tempat dalam Al Qur’an (Ali Audah, 1991), belum termasuk bentuk-bentuk lainnya. Dalam telaah akar kata, istilah takwa memiliki pengertian melindungi diri (QS Ali Imran, 3:28). Pengertian ini memiliki pengertian yang sama dengan makna iman dan islam. Prof. Izutzu, sebagaimana ditulis Fazlur Rahman (1990), seorang neomodernisme, konsep takwa di atas dijadikan landasan berpikir untuk menyatakan bahwa orang Arab pra-Islam merupakan masyarakat yang congkak dan sombong. Maka, dengan datangnya Al Qur’an dengan konsep takwa, musnahlah semua kesombongan dan kecongkakkan tersebut.

Fazlur Rahman (1990) menjelaskan istilah takwa dalam dua dimensi. Pertama, dalam konteks Islam dan iman, takwa merupakan perpaduan keduanya, baik antara keimanan maupun penyerahan diri. Al Qur’an menyebut hal itu di saat orang-orang memperebutkan kiblat (arah shalat) ketika Allah memutuskan untuk menghadap ke Masjid al Haram (QS. al Baqarah, 2:277). Kedua, takwa merupakan idealitas yang harus dituju, namun pada sebagian besarnya, takwa hanya bisa dicapai pada batas tertentu saja (QS. al Maidah, 5:8).

Deskripsi iman dan takwa di atas hanyalah memperjelas bahwa pentingnya pendidikan dalam konteks keislaman dan moralitas adalah terbinanya hubungan vertikal di samping secara manusiawi dan sosial. Maka sebuah konsep pendidikan atau pembinaan yang dilandasi keimanan dan ketakwaan, bukan hanya menghasilkan output yang memiliki tanggung jawab sosial (pribadi, masyarakat, bangsa) namun juga memiliki tanggung jawab moral (kepada Tuhan).

Konsep pendidikan berbasis nilai-nilai agama atau iman dan takwa (IMTAQ) merupakan derivasi dari visi pendidikan Jawa Barat sekaligus sebagai bagian dari kegiatan preventif dan kuratif terhadap fenomena saat ini dan antisipasi masa mendatang. Disadari bahwa perkembangan dunia global bukan hanya menghasilkan produktivitas manusia dalam mempermudah cara hidupnya, namun telah berakibat buruk terhadap pola dan tata hubungan kemanusiaan. Misalnya kehadirian televisi di satu sisi telah memberi nilai tambah informasi dan hiburan kepada masyarakat, namun tayangan televisi telah pula mendorong tumbuhnya tindakan destruktif di masyarakat. Bahkan dari berbagai kemajuan muncul dekadensi moral yang mengglobal juga saat ini.

Menurut Zakiah Darajat (1973:12) kemerosotan moral (dekadensi moral) terjadi karena berbagai faktor, antara lain:
1. Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat.
2. Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari sisi ekonomi, sosial dan politik.
3. Pendidikan moral tidak terlaksana sebagaimana mestinya, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat.
4. Suasana rumah tangga yang kurang harmonis.
5. Diperkenalkannya secara populer berbagai obat dan alat anti kelamin.
6. Banyaknya tulisan, gambar, siaran, kesenian yang tidak mengindahkan dasar-dasar tuntunan moral.
7. Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang dengan cara yang baik, dan yang membawa pada pembinaan moral.
8. Tidak ada atau kurangnya markas-markas bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak dan pemuda.

Dalam temuan penelitian terhadap masyarakat Barat, dikemukakan bahwa akibat samping dari gaya hidup modern adalah munculnya berbagai problem sosial yang cukup kompleks, seperti (a) keadaan fisik dan psikis; (b) kehidupan yang serba rumit; (c) kekhawatiran dan kecemasan akan masa depan; (d) makin tidak manusiawinya hubungan antarindividu; (e) rasa terasing dari anggota keluarga dan anggota masyarakat lainnya; (f) renggangnya hubungan tali persaudaraan; (g) terjadinya penyimpangan moral dan sistem sosial dan (h) hilangnya identitas diri (Rusdi Muslim, Suara Pembaruan, 9 Oktober 1993).

Gejala yang paling mengkhawatirkan dari dekadensi modal adalah tindakan destruktif generasi muda, termasuk pelajar. Beberapa tindakan penyimpangan tersebut berupa tindakan kekerasan dan penyimpangan prilaku seksual. Di kota-kota besar, bersamaan dengan mengglobalnya budaya, generasi muda semakin rentan terhadap nilai, moral, etika dan agama. 

Kenyataan ini bukan hanya menjadi komoditas isu sosial yang menjadi wacana, namun hendaknya menyadarkan kita bahwa pendidikan kita belum cukup mampu membentengi generasi muda (remaja) dari prilaku-prilaku destruktif yang mereka konsumsi dari berbagai sumber informasi. Pendidikan harus diarahkan pada pembinaan iman dan takwa atau moral pelajar sehingga pelajar memiliki tanggung jawab terhadap masa depan dirinya, bangsa dan negara.

Dalam konteks ini, pendidikan agama yang jumlah jamnya terbatas dengan SDM guru yang terbatas juga tidak cukup mampu menghalagi globalisasi prilaku tersebut. Perlu ada kesadaran penuh dari semua komponen pendidikan, termasuk birokrasi pendidikan. Program yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan sangat diperlukan oleh para pelajar dalam membentengi dirinya.
Di sekolah unsur yang paling dominan dalam pembinaan moral adalah guru sebagai tenaga pendidik. Masalah disiplin menjadi persoalan yang dikhawatirkan guru, terutama guru baru (William van Till, 1971:457).


Untuk mewujudkan konsep pendidikan yang berlandaskan pada peningkatan iman dan taqwa peserta didik, maka guru memegang peran central dan strategis, upaya penciptaan sistem pendidikan yang berbasiskan nilai-nilai spiritual (IMTAQ), perlu dimulai dengan pembentukan sosok guru yang kaffah dan menjadi contoh bagi lingkunganya, sehingga menjadi sangat urgen untuk adanya strategi atau pola pembinaan berkelanjutan terhadap nilai-nilai IMTAQ Guru dewasa ini.

Bagikan ke :

Facebook Google+ Twitter Digg Technorati Reddit

Ditulis Oleh : putrajunio ~ The Secret Blog

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul URGENSI PENDEKATAN IMAN DAN TAQWA DALAM PENINGKATAN KOMPETENSI GURU yang ditulis oleh The Secret Blog yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.

Blog, Updated at: 9:02 PM

0 comments :

Post a Comment

The Secret Blog © 2014. All Rights Reserved.
SEOCIPS Areasatu