Peranan moral akan sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat
tahap peralihan dari kontemplasi ke tahap manipulasi. Pada tahap kontemplasi,
masalah moral berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap
manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah
itu sendiri. Dengan kata lain ketika ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang
dibicarakan adakah tentang aksiologi keilmuan.
Sebelum menentukan sejauh mana peran moral dalam penggunaan ilmu atau teknologi,
ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok
pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai
ontologi dan aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan selanjutnya terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk
tujuan baik atau buruk. Kelompok pertama ini ingin melanjutkan tradisi
kenetralannya secara total seperti pada waktu Galileo. Kelompok kedua,
berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai hanyalah terbatas pada metafisik
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian,
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Hal ini ditegaskan oleh
Charles Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam penggunakan ilmu kita
sejogyanya menggunakan pikiran kita .
Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi, kelompok yang
mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan terjadinya de-humanisasi, di mana
martabat manusia menjadi lebih rendah, manusia akan dijadikan obyek aplikasi
teknologi kelimuan. Hal ini berkaitan peristiwa yang terjadi selama ini, yaitu
: (1) Secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan dengan adanya Perang Dunia II. (2) Ilmu telah berkembang dengan
pesat dan sangat esoterik (hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja)
sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin terjadi bila
terjadi penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaannya yang
paling hakiki seperti pada revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah konflik yang
menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang mana yang tidak dan mana
yang selayaknya. Disinilah, etika memainkan peranannya, etika berkaitan dengan
“apa yang seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk
kita lakukan serta apa yang salah dan apa yang benar. Menurut J.Osdar, oleh
filsuf Yunani kuno, Aristoteles, kata etika dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Kata moral punya arti sama dengan kosakata etika. Kata moral berasal
dari bahasa Latin, yakni mos (jamaknya mores). Artinya kebiasaan, adat. Di sini
kata moral dan etika punya arti sama.
Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu dalam
realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi konflik batin dikemukakan
teori-teori etika yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan koheren
dalam mengambil keputusan–keputusan moral. Teori–teori etika tersebut adalah :
1.
Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan
memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa yang harus
dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang
menguntungkan, melebihi segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan
terbesar bagi jumlah orang terbesar. Manfaat paling besar daru teori ini adalah
bahwa teori ini sangat memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu
dan memperhatikan bagaimana orang terpengaruh. Kelemahan dari teori ini bahwa
lingkungan tidak menyediakan standar untuk mengukur hasilnya.
2. Deontologi,
berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini menganut
bahwa kewajiban dalam menentukan apakah tindakannya bersifat etis atau tidak,
dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan bersifat etis, bila
memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab, Jadi yang paling penting
adalah kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan
memperhatikan segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan menyalahkan moral.
Manfaat paling besar yang dibawakan oleh etika deontologis adalah kejelasan dan
kepastian. Problem terbesar adalah bahwa deontologi tidak peka terhadap
konsekuensi-konsekuensi perbuatan. Dengan hanya berfokus pada kewajiban,
barangkali orang tidak melihat beberapa aspek penting sebuah problem.
3. Etika Hak.
Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral yang ada
didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan dengan hirarkhi hak. Yang
penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi
dengan sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai terutama karena
terkanannya pada nilai moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu
situasi konflik etis. Selain itu teori ini juga menjelaskan bagiaman konflik hak
antar individu. Teori ini menempatkan hak individu dalam pusat perhatian yang
menerangkan bagaimana memecahklan konflik hak yang bisa timbul.
4.
Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan berpijak
pada intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk mengetahui secara
langsung apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya,
bukan berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat
meramalkan kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita tidak dapat
mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita tidak dapat menjelaskan
proses pengambilan keputusan.
Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas
manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan
kepada martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah
satu-satunya makhluk yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan
untuk tujuan lain.
0 comments :
Post a Comment